Dalam sebuah
kehidupan, manusia memang tak pernah luput dari kesalahan. Begitupun dengan
mahasiswa PBI.B/4 yang melakukan kesalahan besar dalam membuat Critical review.
Wajar! Itulah kata yang muncul di benak saya, karena kita masih dalam proses
belajar dan di sana masih banyak ruang untuk melakukan perbaikan. Kelemahan
terbesar kita dalam Critical review meliputi:
1. Mahasiswa terperangkap dengan hal-hal sepele terutama penempatan
tanda baca yang tidak tepat.
2. Mereka tidak
akrab atau tidak memahami kata kunci yang disebut dalam classroom discourse.
3. Hanya
menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan titik tegas
sudut pandang mereka sebagai kritikus.
4. Generic
structure tidak dibangun dengan baik.
5. Pola
referensi yang hilang.
Beranjak
pada pembahasan mengenai teks, teks terbagi ke dalam dua bentuk yaitu physical
beibg (fisik) dan semiotic being (simbol). Teks merupakan bentuk fisik namun
teks hadir dalam beberapa bentuk untuk menjadi semiotic. Teks juga berfungsi
sebagai alat komunikasi atau sesuatu yang diproduksi oleh manusia. Teks dapat
ditulis melalui berbagai benda baik melalui kertas, kayu, batu dan sebagainya..
sedangkan secara semiotic, teks dapat diartikan dalam bentuk tulisan (writing),
berbicara (speech), gambar (picture), music dan simbol lainnya. (Lehtonen,
2000)
Setiap teks
selalu memiliki konteks yang mengelilingi dan menembus teks itu sendiri baik
secara temporal, lokal, dan link dengan teks-teks lain, serta dengan
praktek-praktek manusia lainnya. Sebanyak makna tanda-tanda linguistik
bergantung pada posisi mereka dalam kaitannya dengan tanda-tanda
lain, makna dari teks yang ada pada akhirnya tidak mungkin dipisahkan dari
konteks. Karena teks sebagai bentuk semiotic tidak akan ada tanpa pembaca
(readers), intertexts, situasi dan fungsi yang setiap saat terhubung dengan
teks. (Lehtonen,2000)
Dalam
pemikiran tradisonal tentang teks, dan konteks terlihat terpisah “background”
dari teks, yang dalam peran jenis tertentu informasi tambahan bisa menjadi
bantuan dalam memahami teks itu sendiri. Dalam jenis pengertian konteks, itu
jatuh ke pembaca (readers) menjadi penerima pasif. Pembaca adalah decoder
gagasan yang disertakan dalam teks untuk mengeksploitasi pengetahuan
kontekstualnya dalam mengungkapkan makna yang tetap. Teks mempunyai teka-teki
silang dengan hanya satu solusi, dan konteks pada gilirannya adalah sejumlah
buku referensi bahwa pemecah teka-teki berkonsultasi untuk menemukan solusi
yang tepat. (Lehtonen,2000)
Setiap teks selalu memiliki konteks yang mengelilingi dan menembus teks
itu sendiri baik secara temporal, local, dan link dengan teks-teks lain serta
dengan praktek-praktek manusia lainnya. Sebanyak makna tanda-tanda linguistic
bergantung pada posisi mereka dalam kaitannya dengan tanda-tanda lain, makna
dari teks yang ada pada akhirnya tidak mungkin dipisahkan dari konteks. Karena
teks sebagai bentuk semiotic tidak aka nada tanpa pembaca (readers), intertext,
situasi dan fungsi yang setiap saat
terhubung dengan teks. (Lehtonen, 2000)
Dalam pemikiran tradisional tentang teks dan konteks terlihat terpisah
“background” dari teks, yang dalam peran jenis tertentu informasi tambahan bisa
menjadi bantuan dalam memahami teks itu sendiri. Dalam jenis pengertian
konteks, itu jatuh ke pe3mbaca (readers) menjadi penerima pasif. Pembaca adalah
decoder gagasan yang disertakan dalam teks untuk mengeksploitasi pengetahuan
kontekstualnya dalam mengungkapkan makna yang tetap. Teks menyerupai teka-teki
silang dengan hanya satu solusi, dan konteks pada gilirannya adalah sejumlah
buku referensi bahwa pemecah teka-teki berkonsultasi untuk menemukan solusi
yang tepat. (Lehtonen,2000).
Namun, sebelumnya Letonen berpendapat bahwa teks pada kenyataan tidak
seperti jenis puzzle untuk dipecahkan. Selain itu pembaca tidak pernah
menemukan teks yang mereka baca sendiri: selalu ada jumlah teks dan factor hadirnya
interaksi teks dan pembaca lainnya. Hal ini dapat diilustrasikan melalui experiment
the French discourse analyst Michel Pecheux terhadap prilaku siswa-siswanya
pada awal 1980-an. Pecheux membuat dua kelompok siswa membaca teks yang sama
yang berkaitan dengan ilmu ekonomi namun mengtakan salah satu kelompok bahwa teks tersbut memiliki
kecenderungan bersifat riberal didalamnya sementara iya mengatakan kepa
kelompok lain bahwa teks ditulis secara konservatif. Kedua kelompok manafsirkan
teks dengan cara yang benar-benar berlawanan, karena mereka didekati dengan
kerangka kerja konseptual yang berbeda dan harapan yang berbeda. Dalam contoh
ini, kita dapat melihat bahwa kita tidak pernah menemukan teks tanpa hipotesis
tertentu dan kerangka kerja konseptual dengan bantuan beberapa pengertian yang
kita produksi dalam teks.
Sifat seluruh konsep ‘konteks’ harus benar-benar dievaluasi kembali. Konteks
tidak ada sebelum penulis atau teks, juga tidak ada diluar mereka secara
harfiah konteks adalah sesame teks yang selalu ada bersama dengan teks yang
mereka konteks. Dengan demikian, teks merupakan bahan baku dari makna yang sama
(meaning), yang mengaktifkan dan juga memproksi sumber daya membaca kontekstual:
sumber linguistik konsepsi realitas, nilai, kepercayaan, dan sebaginya.
Menurut Gay Cook, yang dikutip dalam (lehtonen,2000), konteks mencangkup
semua hal berikut:
1.
Suntance: materpi fisik yang membawa atau
relay teks.
2.
Music and picture.
3.
Paralanguage: prilaku berarti yang
menyertai bahasa, seperti kualitas suara, gerak tubuh, ekspresi wajah,
sentuhan, dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf secara tertulis.
4.
Situation: sifat dan hubungan objek dengan
orang-orang disekitar teks, seperti ayng dirasakan oleh participants.
5.
Co-texts teks: teks yang mendahului atau
yang mengikuti dibawah analisis, dan peserta yang menilai memiliki wacana yang
sama.
6.
Intertext: teks yang peserta anggap
sebagai milik wacana lain, tapi yang mereka persekutukan dengan teks dibawah
pertimbangan, dan yang mempengaruhiinterpretasi mereka.
7.
Participans: niat dan interpretasi mereka,
pengetahuan dan keyakinan, sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan.
8.
Function: apakah teks dimaksudkan untuk
dilakukan oleh pengiriman atau dianggap oleh penerima. Cutting (2002:3)
mengatakan bahwa ada tiga aspek utama dari penafsiran konteks, yaitu:
a.
Situacional context: apak masyarakat tahu
tentang apa yang dapat mereka lihat disekitar mereka.
b.
Background Knowledge Context: apakah
masyarakat tahu tentang dunia , apa yang mereka tahu tentang aspek kehidupan,
dan apa mereka tahu tentang satu sama lain.
c.
Co-textual Context: apakah mereka tahu
tentang apa yang dibicarakan.
Dimensi halliday tentang konteks:
Ø Field: merujuk pada apa yang terjadi, jenis aksi sosia, topic dan
peristiwa atau aktifitas.
Ø Tenor: merujuk pada participants, peran, dan hubungan participant
(status dan kekuasaan mereka, misalnya, yang mempengaruhi keterlibatan,
formalitas dan kesopanan).
Ø Mode: merujuk pada bahasa yang digunakan (baik tulis maupun lisan).
Halliday (1985).
Menulis
merupakan suatu ruang yang luas dalam memahami berbagai aspek. Dalam
pengaplikasiannya, sering terjadi keterlibatan dengan konteks, literasi,
kultur, tekhnologi, genre dan identitas. ( Hyland : 2009 )
Ø Konteks, kita
mengetahui makna teks melalui perantaraan interaksi antara penulis dan pembaca,
karena merekalah yang melakukan negosiasi makna. Konteks merupakan cara untuk
mengetahui makna teks itu sendiri.
Ø Literasi, menulis dan membaca merupakan tindakan literasi.
Bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Literasi
membantu kita untuk mengetahui bagaimana orang merasakan kehidupannya melalui
praktek rutin dari membaca dan menulis.
Ø Kultur, secara umum dipahami sebagai sejarah
yang ditularkan dan sistem jaringan makna yang mengizinkan kita untuk memaknai,
mengembangkan, serta menyampaikan pengetahuan dan perasan kita kepada dunia.
Ø Tekhnologi, untuk menjadi orang yang literat,
kita dituntut untuk menguasai tekhnologi. Dewasa ini, tulisan lebih banyak
tersaji dalam bentuk media elektronik seperti artikel, e-book, dan lain-lain
ketimbang media tulis. Inovasi tekhnologi hadir untuk menantang penulis. Mereka
juga membuka identitas baru, genre dan komunitas kepada penulis.
Ø Genre, dikenal
juga dengan tipe aksi percakapan yang berpartisipasi dalam peristiwa
sosial. Genre merupakan salah satu yang paling penting dari konsep
pembelajaran bahasa.
Ø Identity, merupakan cara orang menampilkan atau
menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Implikasinya, menulis sedang membangun
jati diri seseorang.
Isu Intertekstualitas
Bakhtin (1986): seperti dikutip dalam Hyland (2002): bahasa adalah
dialogis; percakapan antara penulis dan pembaca dalam suatu kegiatan yang
sedang berlangsung.
Hyland (2002): menulis mencerminkan jejak kegunaan sosialnya karena hal
ini terkait dan selaras dengan teks-teks lain yang di atasnya itu membangun dan
mengantisipasi.
Bakhtin (1986) lebih lanjut mengatakan ini: “setiap ucapan menyanggah,
menegaskan, menambahkan, dan bergantung pada orang lain, mengandaikan mereka
untuk dikenal dan entah bagaimana membawa mereka ke account’ (ibid: 91)
Hyland (2002): genre dianggap sebagai bagian dari situasi social yang
berulang dan ditandai, dari pada bentuk-bentuk tertentu dengan penulis
melakukan penilaian dan kreatifitas dalam merespon kondisi yang sama.
Pendapat Bakhtin terhadap intertekstualitas menunjukkan bahwa wacana
selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu
maupun dalam kesamaan mereka pada setiap titik waktu. Ini menghubungkan
teks-pengguna ke jaringan teks sebelum dan sebagainya menyediakan system pilihan
untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh teks-pengguna lain. Karena mereka
membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi yang
dikambangkan dengan cara ini menutup interpretasi tertentu dan membuat orang
lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat
pilihan teroris tertentu saat menulis.
0 comments:
Post a Comment