Sunday, June 1, 2014



Dalam sebuah kehidupan, manusia memang tak pernah luput dari kesalahan. Begitupun dengan mahasiswa PBI.B/4 yang melakukan kesalahan besar dalam membuat Critical review. Wajar! Itulah kata yang muncul di benak saya, karena kita masih dalam proses belajar dan di sana masih banyak ruang untuk melakukan perbaikan. Kelemahan terbesar kita dalam Critical review meliputi:
1.      Mahasiswa terperangkap dengan hal-hal sepele terutama penempatan tanda baca yang tidak tepat.
2.      Mereka tidak akrab atau tidak memahami kata kunci yang disebut dalam classroom discourse.
3.      Hanya menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan titik tegas sudut pandang mereka sebagai kritikus.
4.      Generic structure tidak dibangun dengan baik.
5.      Pola referensi yang hilang.
Beranjak pada pembahasan mengenai teks, teks terbagi ke dalam dua bentuk yaitu physical beibg (fisik) dan semiotic being (simbol). Teks merupakan bentuk fisik namun teks hadir dalam beberapa bentuk untuk menjadi semiotic. Teks juga berfungsi sebagai alat komunikasi atau sesuatu yang diproduksi oleh manusia. Teks dapat ditulis melalui berbagai benda baik melalui kertas, kayu, batu dan sebagainya.. sedangkan secara semiotic, teks dapat diartikan dalam bentuk tulisan (writing), berbicara (speech), gambar (picture), music dan simbol lainnya. (Lehtonen, 2000)
Setiap teks selalu memiliki konteks yang mengelilingi dan menembus teks itu sendiri baik secara temporal, lokal, dan link dengan teks-teks lain, serta dengan praktek-praktek manusia lainnya. Sebanyak makna tanda-tanda linguistik bergantung pada posisi mereka dalam kaitannya dengan tanda-tanda lain, makna dari teks yang ada pada akhirnya tidak mungkin dipisahkan dari konteks. Karena teks sebagai bentuk semiotic tidak akan ada tanpa pembaca (readers), intertexts, situasi dan fungsi yang setiap saat terhubung dengan teks. (Lehtonen,2000)
Dalam pemikiran tradisonal tentang teks, dan konteks terlihat terpisah “background” dari teks, yang dalam peran jenis tertentu informasi tambahan bisa menjadi bantuan dalam memahami teks itu sendiri. Dalam jenis pengertian konteks, itu jatuh ke pembaca (readers) menjadi penerima pasif. Pembaca adalah decoder gagasan yang disertakan dalam teks untuk mengeksploitasi pengetahuan kontekstualnya dalam mengungkapkan makna yang tetap. Teks mempunyai teka-teki silang dengan hanya satu solusi, dan konteks pada gilirannya adalah sejumlah buku referensi bahwa pemecah teka-teki berkonsultasi untuk menemukan solusi yang tepat. (Lehtonen,2000)
Setiap teks selalu memiliki konteks yang mengelilingi dan menembus teks itu sendiri baik secara temporal, local, dan link dengan teks-teks lain serta dengan praktek-praktek manusia lainnya. Sebanyak makna tanda-tanda linguistic bergantung pada posisi mereka dalam kaitannya dengan tanda-tanda lain, makna dari teks yang ada pada akhirnya tidak mungkin dipisahkan dari konteks. Karena teks sebagai bentuk semiotic tidak aka nada tanpa pembaca (readers), intertext, situasi dan fungsi  yang setiap saat terhubung dengan teks. (Lehtonen, 2000)
Dalam pemikiran tradisional tentang teks dan konteks terlihat terpisah “background” dari teks, yang dalam peran jenis tertentu informasi tambahan bisa menjadi bantuan dalam memahami teks itu sendiri. Dalam jenis pengertian konteks, itu jatuh ke pe3mbaca (readers) menjadi penerima pasif. Pembaca adalah decoder gagasan yang disertakan dalam teks untuk mengeksploitasi pengetahuan kontekstualnya dalam mengungkapkan makna yang tetap. Teks menyerupai teka-teki silang dengan hanya satu solusi, dan konteks pada gilirannya adalah sejumlah buku referensi bahwa pemecah teka-teki berkonsultasi untuk menemukan solusi yang tepat. (Lehtonen,2000).
Namun, sebelumnya Letonen berpendapat bahwa teks pada kenyataan tidak seperti jenis puzzle untuk dipecahkan. Selain itu pembaca tidak pernah menemukan teks yang mereka baca sendiri: selalu ada jumlah teks dan factor hadirnya interaksi teks dan pembaca lainnya. Hal ini dapat diilustrasikan melalui experiment the French discourse analyst Michel Pecheux terhadap prilaku siswa-siswanya pada awal 1980-an. Pecheux membuat dua kelompok siswa membaca teks yang sama yang berkaitan dengan ilmu ekonomi namun mengtakan salah satu  kelompok bahwa teks tersbut memiliki kecenderungan bersifat riberal didalamnya sementara iya mengatakan kepa kelompok lain bahwa teks ditulis secara konservatif. Kedua kelompok manafsirkan teks dengan cara yang benar-benar berlawanan, karena mereka didekati dengan kerangka kerja konseptual yang berbeda dan harapan yang berbeda. Dalam contoh ini, kita dapat melihat bahwa kita tidak pernah menemukan teks tanpa hipotesis tertentu dan kerangka kerja konseptual dengan bantuan beberapa pengertian yang kita produksi  dalam teks.
Sifat seluruh konsep ‘konteks’ harus benar-benar dievaluasi kembali. Konteks tidak ada sebelum penulis atau teks, juga tidak ada diluar mereka secara harfiah konteks adalah sesame teks yang selalu ada bersama dengan teks yang mereka konteks. Dengan demikian, teks merupakan bahan baku dari makna yang sama (meaning), yang mengaktifkan dan juga memproksi sumber daya membaca kontekstual: sumber linguistik konsepsi realitas, nilai, kepercayaan, dan sebaginya.
Menurut Gay Cook, yang dikutip dalam (lehtonen,2000), konteks mencangkup semua hal berikut:
1.      Suntance: materpi fisik yang membawa atau relay teks.
2.      Music and picture.
3.      Paralanguage: prilaku berarti yang menyertai bahasa, seperti kualitas suara, gerak tubuh, ekspresi wajah, sentuhan, dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf secara tertulis.
4.      Situation: sifat dan hubungan objek dengan orang-orang disekitar teks, seperti ayng dirasakan oleh participants.
5.      Co-texts teks: teks yang mendahului atau yang mengikuti dibawah analisis, dan peserta yang menilai memiliki wacana yang sama.
6.      Intertext: teks yang peserta anggap sebagai milik wacana lain, tapi yang mereka persekutukan dengan teks dibawah pertimbangan, dan yang mempengaruhiinterpretasi mereka.
7.      Participans: niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan.
8.      Function: apakah teks dimaksudkan untuk dilakukan oleh pengiriman atau dianggap oleh penerima. Cutting (2002:3) mengatakan bahwa ada tiga aspek utama dari penafsiran konteks, yaitu:
a.       Situacional context: apak masyarakat tahu tentang apa yang dapat mereka lihat disekitar mereka.
b.      Background Knowledge Context: apakah masyarakat tahu tentang dunia , apa yang mereka tahu tentang aspek kehidupan, dan apa mereka tahu tentang satu sama lain.
c.       Co-textual Context: apakah mereka tahu tentang apa yang dibicarakan.
Dimensi halliday tentang konteks:
Ø  Field: merujuk pada apa yang terjadi, jenis aksi sosia, topic dan peristiwa atau aktifitas.
Ø  Tenor: merujuk pada participants, peran, dan hubungan participant (status dan kekuasaan mereka, misalnya, yang mempengaruhi keterlibatan, formalitas dan kesopanan).
Ø  Mode: merujuk pada bahasa yang digunakan (baik tulis maupun lisan). Halliday (1985).
Menulis merupakan suatu ruang yang luas dalam memahami berbagai aspek. Dalam pengaplikasiannya, sering terjadi keterlibatan dengan konteks, literasi, kultur, tekhnologi, genre dan identitas. ( Hyland : 2009 )
Ø   Konteks, kita mengetahui makna teks melalui perantaraan interaksi antara penulis dan pembaca, karena merekalah yang melakukan negosiasi makna. Konteks merupakan cara untuk mengetahui makna teks itu sendiri.
Ø   Literasi menulis dan membaca merupakan tindakan literasi. Bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Literasi membantu kita untuk mengetahui bagaimana orang merasakan kehidupannya melalui praktek rutin dari membaca dan menulis.
Ø     Kultur, secara umum dipahami sebagai sejarah yang ditularkan dan sistem jaringan makna yang mengizinkan kita untuk memaknai, mengembangkan, serta menyampaikan pengetahuan dan perasan kita kepada dunia.
Ø   Tekhnologi, untuk menjadi orang yang literat, kita dituntut untuk menguasai tekhnologi. Dewasa ini, tulisan lebih banyak tersaji dalam bentuk media elektronik seperti artikel, e-book, dan lain-lain ketimbang media tulis. Inovasi tekhnologi hadir untuk menantang penulis. Mereka juga membuka identitas baru, genre dan komunitas kepada penulis.
Ø  Genre, dikenal juga dengan tipe aksi percakapan yang berpartisipasi dalam peristiwa  sosial. Genre merupakan salah satu yang paling penting dari konsep pembelajaran bahasa.
Ø  Identity, merupakan cara orang menampilkan atau menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Implikasinya, menulis sedang membangun jati diri seseorang.
Isu Intertekstualitas
Bakhtin (1986): seperti dikutip dalam Hyland (2002): bahasa adalah dialogis; percakapan antara penulis dan pembaca dalam suatu kegiatan yang sedang berlangsung.
Hyland (2002): menulis mencerminkan jejak kegunaan sosialnya karena hal ini terkait dan selaras dengan teks-teks lain yang di atasnya itu membangun dan mengantisipasi.
Bakhtin (1986) lebih lanjut mengatakan ini: “setiap ucapan menyanggah, menegaskan, menambahkan, dan bergantung pada orang lain, mengandaikan mereka untuk dikenal dan entah bagaimana membawa mereka ke account’ (ibid: 91)
Hyland (2002): genre dianggap sebagai bagian dari situasi social yang berulang dan ditandai, dari pada bentuk-bentuk tertentu dengan penulis melakukan penilaian dan kreatifitas dalam merespon kondisi yang sama.
Pendapat Bakhtin terhadap intertekstualitas menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu maupun dalam kesamaan mereka pada setiap titik waktu. Ini menghubungkan teks-pengguna ke jaringan teks sebelum dan sebagainya menyediakan system pilihan untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh teks-pengguna lain. Karena mereka membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi yang dikambangkan dengan cara ini menutup interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan teroris tertentu saat menulis.

0 comments:

Post a Comment