Monday, May 26, 2014

10:21 PM



  6th Class Review

Sejarah merupakan peninggalan masa lampau. Manusia tidak akan lepas dari keterkaitannya dengan sejarah. Sejarah haruslah diungkapkan dengan kejelasan dari suatu bukti atau fakta, artefak, dokumentasi, ataupun bukti peninggalan lainnya, sehingga sejarah tidak akan bisa dimanipulasi. Meskipun begitu sebenarnya sejarah itu selalu dinamis. Hal tersebut dikarenakan berbagai macam versi dalam mempelajari sejarah. Versi tersebut dipengaruhi oleh adanya ideologi yang berbeda. Maka dari itu sejarah selalu disisipkan oleh berbagai macam ideologi dari sang penulis.
Dalam meneliti sejarah tidaklah mudah, apalagi sampai kepada menuliskannya. Pada class review minggu kemarin dikatakan bahwa writing is a matter of lightening ourselves. Dalam hal ini diharapkan agar kita dapat tercerahkan dalam menulis, dalam hal ini pula dikatakan bahwa mereka yang tercerahkan adalah kaum literat (the enlightened – the literate). Tetapi tentu kita tidak akan memberikan perubahan terhadap orang lain, jika kita sendiri pun belum tercerahkan. Ibarat kita memberikan sebuah wejangan kata-kata terhadap orang lain, namun pada kenyataannya kita sendiri sebagai pemberi wejangan kata-kata tersebut belum mampu menerapkannya. Maka apa yang kita sarankan sia-sia dan belum bisa memberikan perubahan yang besar terutama untuk diri sendiri.
Berikut ini adalah kata pembuka yang merujuk pada enlightened. “katanya tugas mereka yang tercerahkan – kaum literat – adalah meneroka ceruk-ceruk baru tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya, sebagai bagian sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka yang hanya baru tahu teori ini dan itu dari suara-suara penuh kuasa dibidang yang mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan – literat; mereka baru pada fase awal; peniru.”
Hal tersebut di atas menggambarkan betapa sulitnya menjadi kaum yang tercerahkan atau kaum literat, karena kita harus terlebih dahulu meneroka ceruk-ceruk baru, artinya kita tidak cukup hanya fokus pada satu subjek pelajaran saja, tetapi juga pada subjek yang lainnya. Seperti contoh dalam mempelajari bahasa Inggris kita tidak cukup jika hanya mempelajari mengenai grammar, speaking, dan pronunciationnya saja, tetapi hari mencari ceruk-ceruk baru. Untuk itu the literate must love of knowledge. Dalam perjalanan hidupnya kaum literat harus cinta pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Meskipun begitu sebenarnya masih dalam fase meniru. Tentu seseorang tidak akan bisa menulis tanpa sebelumnya ia meniruterlebih dahulu. Meniru merupakan bagian terpenting dalam menemukan lalu menciptakan.
           
“meniru adalah baian penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda-tanda yang tersera, yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketka kita merasa sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang dipahami digunakan, padahal kita baru sampai tahap meniru. Lalu kita dengan pongahnya mengatakan “ini salah, itu tak benar”, tanpa dasar yang tak bergetar. Pada mereka yang berada dititik awal menjadi peniru. Kita merasakan bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita bagian dari “rejim kebenaran tak terbantahkan”. Begitu banyak yang harus kita pelajari, pahami, lalu dimaknai; lebih banyak menjadi alasan menjadi sombong, sebab apa yang baru kita sedikit ketahui.”
Kalimat-kalimat tersebut seakan memberikan arahan terhadap kita semua dan sebagai cerminan. Memang seperti itulah karakter pemula seorang penulis. Awalnya ia menirukan lalu menemukan, kemudian menciptakan dan setelah memahami meaning dari teori-teori yang penulis dapat, maka penulis akan dengan mudahnya menyimpulkan perspektifnya. Jika kita ingin menjadi kaum literat yang tercerahkan ini tugasnya sangatah berat, perlu adanya suatu pemahaman yang lebih dalam, ketika kita akan mengambil sebuah teori untuk menyatakan suatu kevalidan.
Dalam pemahaman mengenai sejarah dan literasi tersebut merupakan sebuah value atau nilai dari suatu peristiwa. Bahkan dikatakan bahwa negara yang kuat itu adalah negara yang mempertahankan kualitas value. Fowler (1996 : 10) mengatakan “like the historian critical linguist aims to understand the values which underpin social, economic, and political formations, and diachronically, change in values and changes in formations.” Tulisan atau teks selalu melibatkan pemenuhan ideologi penulis, atau pembacanya, karena didalamnya melibatkan kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya.
Penulisan sejarah selalu berkaitan dengan sense of believe atau suatu ideologi. Fowler (1996 : 12) menyatakan “ideology is of course both of a medium and an instrument of historical processes.” Maksudnya ialah ideologi dianggap sebagai media dan instrumen dari proses suatu sejarah tersebut. Media direalisasikan sebagai perantara, sedangkan instrumen merupakan sikap kita dalam menulis.
Ideology is omnipresent in every single text (spoken, written, audio visual, or the combinations of all of them) (fowler 1996).omnipresent ini maksudnya ada dimana-mana, ideologi selalu hadir dalam setiap teks baik itu berupa tulisan, lisan, audio visual, atau kombinasi dari kesemuanya. Lehtonen 2000 dan Fairclough menyatakan “text productions is never neutral”. Bahkan Chaedar Alwasilah pun menyatakan “literacy is never neutral (2001 ; 2012), semua praktek literasi dan teks tulis memiliki ideologi yakni didikte oleh lingkungan sosial politiknya”. Oleh karena itu reading and writing selalu memotivasi adanya ideologikal.
Dalam menulis di perguruan tinggi sering kali mengambil bentuk persuasi, yakni meyakinkan orang lain bahwa anda memiliki sesuatu yang manarik, pada sudut pandang logika subjek yang anda pelajari. Persuasi adalah keterampilan anda berlatih secara teratur dalam kehidupan sehari-hari anda. Terkadang di perguruan tinggi meminta kita untuk melakukan kasus persuasif secara tertulis.
Dalam kasus persuasif ini erat kaitannya dengan thesis statement. Kita diminta untuk meyakinkan pembaca melalui sudut pandang kita. Bentuk persuasif sering disebut academic argument, mengikuti pola diprediksi secara tertulis. Thesis statement adalah ide utamanya. Pernyataan tesis atau thesis statement dari essay adalah pernyataan satu atau dua kalimat yang mengungkapkan gagasan utama. Thesis statement mengidentifikasikan topik penulis dan pendapat penulis yang ada disekitar topik. Fungsi dari thesis statement yaitu:
1.      Penulis menciptakan thesis untuk fokus pada subjek esay.
2.      Kehadiran thesis statement yang baik akan membantu pemahaman pembaca.
Dari pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa semua teks akan berkaitan dengan ideologi. Entah ideologi tersebut diciptakan dari seorang penulis maupun pembaca. Untuk menjadikan ideologi itu bermakna maka perlu adanya kasus persuasif.

0 comments:

Post a Comment