Thursday, May 15, 2014



Written by Muhammad Saefullah

            Papua, negeri masa depan yang hanya bisa diam dengan seribu bahasa. Keberadaannya kini patut menjadi bidikan pemerintah Indonesia agar tidak lepas dari genggaman, banyak tetangga yang memberikan kode-kode untuk memboyong Papua. Tidak bisa ditebak, negeri bagian Indonesia paling ujung itu sanggup untuk menghidupi jutaan umat di masa yang akan datang. Namun, bak seorang anak tiri yang mendapat perlakuan berbeda dari ibunya, Papua yang dulu, kemarin, sekarang, dan “mungkin” yang akan datang akan tetap menjadi buung di sangkar emasnya.
            Begitu anggunnya perusahaan-perusahaan yang melenggang bebas di Papua. Dengan mengantongi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-Undang Nomor II Tahun 1967 ketentuan pokok pertambangan seakan menjadi senjata pamungkas untuk mengeruk bumi Cendrawasih. Undang-Undang tersebut lahir pada rezim militer orde baru sebagai respon dari investor-investor asing (bermulut manis), tanpa disadari oleh Soeharto justru UU tersebut menjadi boomerang bagi negara Indonesia sendiri. Perlu adanya evaluasi sebelum mengambil keputusan.
            Penduduk asli Papua kini sedang menjerit kesakitan dan butuh perhatian khusus. Bumi Cendrawasih yang sangat kaya itu menjadi mesin produksi bagi negara-negara yang mempunyai tangan angkuh dan ambisius, dengan uang yang mereka miliki semuanya bisa dibeli termasuk hukum di Indonesia. Panggilan negeri di sangkar emas sangat cocok kalau disematkan untuk Papua, alasannya ialah karena orang asli Papua tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alamnya sendiri, mereka malah mendapat perilaku yang tidak sesuai, mereka dibantai, diawasi, dibunuh, diperkosa, dan bahkan genosidapun ikut mewarnai kekerasan.
            Entah siapa yang harus disalahkan dalam kekacau-balauan negeri Cendrawasih. Undang-undang yang telah dibuat oleh Soeharto menjadi tameng kuat bagi invstor asing untuk membumi hanguskan semuanya. Kini, pelan-pelan Indonesia akan terjadi konflik yang hebat dari kecerobohan pemimpin. Nasib penduduk asli Papua tidak jelas, bahkan mereka mati sia-sia di tangan militer sendiri.
            Kilas balik tentang Papua ternyata menggugah peneliti luar mengungkap sisi gelapnya. Dialah S. Eben Kirksey yang datang dengan rasa penasarannya yang sangat besar, dengan penelitiannya ini Eben juga bisa menyelesaikan thesisnya dari salah satu universitas. Untuk mengawali cerita lanjutan Eben dari artikelnya sangat cocok jika kembali ke masa lalu dulu. Awalnya, Papua Barat merupakan boneka dari Belanda, kemudian pada tahun 1962 tak diduga datang tamu dari negara lain yaitu New York untuk membela Indonesia. Dengan membawa perjanjian New Yorknya Amerika datang entah dengan motif apa, akhirnya Indonesia merasa berhutang budi dan membalasnya dengan memberikan kontrak penambangan di Papua bagian tembaga dan emas selama 30 tahun.
            Kisah lain pun muncul, tahun 1936 seorang Geologist Belanda bernama J.J Dozy menemukan sebuah bukti yang kaya akan unsur tembaga, kemudian dibawa ke Universitas Leiden di Belanda untuk diteliti. Hasilnya? Luar biasa, sebanyak 13 juta ton tembaga terkandung di atas permukaan tanah dan 14 juta ton di perut bumi. Entah bagaimana ceritanya, pada tahun 1960 publikasi Dozy dibaca oleh Fobes Wilson dari Freeport Sulphur Corporation milik Amerika Serikat. Wilson langsung menelusuri tanah yang kaya itu (Cendrawasih). Di waktu yang sama, masih terjadi sengketa wilayah Papua Barat di mana kerajaan Belanda belum mau menyerahkan kepada NKRI. Di sinilah mulai muncul peran AS yagn secara politik, berkepentingan agar Indonesia ganti haluan menjadi lebih pro-barat dari pada pro Uni Soviet dengan komunisme.
            Tak lama setelah itu, gejolak politik dalam negeri Indonesia pun seiring dengan keinginan Amerika Serikat. Komunisme yang sempat mendominasi di era Soekarno lenyap seketika dan memunculkan Soeharto sebagai pemimpin berikutnya. Gayung pun bersambut, tanggal 07 April 1967 Freeport mempunyai hak ekslusif kontrak karya pembangunan batu bara seluas 10 ribu hektar di sekitar Gunung Eitsberg dan Grasberg, selama 30 tahun dengan kemungkinan diperpanjang minimal 2 kali 10 tahun.
            PT Irja Eastern Mineral Corporation adalah anak perusahaan Freeport. Perusahaan ini telah mengantongi kontrak karya selama 30 tahun, lahan seluas satu juta hektar siap menjadi tempat eksplorasi di kawasan teluk Etna hulu sungai dan sungai Kembau. Penguasaan Freeport atas tambagn emas dan tembaga di Papua kian merajalela karena di tahun 1966 kontrak kerja Freeport diperpanjang untuk 30 tahun kedua. Bahkan, Freeport kemali mendapat lahan eksplorasi tambahan menjadi dua blok. Blok A di wilayah Gunung Grasberg dan Etsberg seluas 10 ribu hektar dan blok B mencakup seluruh dataran tinggi hingga perbatasan Papua Nugini seluas 2 hektar. Akhirnya Freeport berubah nama menjadi Freeport Mc Moran Cooper and Gold Incore. Data kepemilikan PT Freeport di Indonesia:
  1. Freeport Mc Moran 81,27%
  2. Pemerintah Indonesia 9,36%
  3. PT. Indocooper Investama Corporation (Swasta di Indonesia) 9,36%
  4. PT. Nusamba Mineral Industri 50,48%
  5. Freeport Mc Moran 49%
  6. Milik publik 0,52%
Fakta membuktikan ada beberapa orang Indonesia yang punya saham di Papua. Bob Hasan adalah pemilik tunggal dari Nusamba Group yang mempunyai anak Nusamba tunggal Industri. Selain itu, yayasan milik Cendana juga menjadi penguasa Nusamba atas Indocopper berawal dari tahun 1995, ketika kelompok Bakrie melepas sahamnya di Indocopper lewat Bursa Efek Surabaya. Freeport memperoleh keuntungan bersih mencapai 463 juta dollar Amerika setiap tahunnya. Karena Gunung Grasberg saja mengandung 2,8 milyar metrik ton biji emas dan menghasilkan uang sedikitnya 250 trilyun.
Skandal di Papua pelan-pelan mulai terungkap. Tak jelas kemana milyaran dana tersebut mengalir selama ini, di tengah ketidakkelasan itu justru mendadak mucul angin panas ikhwal pengeluaran tidak wajar atas audit keuangan Freeport Mc Moran Cooper and Gold Incorporation. Dalam laporannya kepada otoritas pasar modal Amerika Serikat, tahun 2001 Freeport Mc Moran mengaku telah menyetor dana khusus ke pihak aparat keamanan TNI sebesar USD 4,7 juta. Setoran dana ini meningkat lagi menjadi USD 5,6 juta pada tahun 2002, bahkan menurut The New York Times dalam kurun waktu 1998-2004 tak kurang USD 20 juta sudah dikeluarkan Freeport untuk alokasi kebutuhan keamanan Papua. Tidak terbayangkan ila dana siluman jutaan dolar Amerika itu sama sekali tidak menyentuh warga Papua. Walaupun otonomi khusus yang diberlakukan sejak 2001 lalu memberikan kewajiban 70% yang menjadi hak pemerintah daerah Papua.
Freeport memanglah industri yang berani menggelontorkan uang banyak. Demi amannya bisnis, dengan tekun Manes R Moffet membina persahabatan dengan presiden Soeharto dan kroninya Policy Paper PBHI yang merujuk laporan New York Times. Freeport membayar ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Diuraikan dalam Policy Paper tersebut bahwa antara tahun 1998-2004 Freeport telah memberikan hampir 20 juta dollar (sekitar Rp.90 milyar) kepada Jendral, kolonel, mayor, dan kapten tentara maupun polisi dan unit-unit militer. Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dollar untuk membangun infrastruktur militer dan perusahaan juga memberikan pada komandan 70 buah mobil Land Rover dan Lan Cruiser yang diganti setiap beberapa tahun sekali.
Tiap minggu kacau, begitulah kepanjangan yang diberikan oleh masyarakat Papua di Timika, memplesetkan kepanjangan kota Timika. Timika merupakan kota dengan intensitas konflik tinggi, berdimensi luas, ada aspek ekonomi, sosial budaya, hukum, perburuhan, agraria, politik, dan lain-lain. Tapi secara garus besar dapat dikelompokkan menjadi: konflik vertikal maupun horizontal; konflik yang muncul secara alamiah maupun konflik yang muncul terkait rekayasa kelompok tertentu.
Jumlah perusahaan keseluruhan di Papua sampai dengan tahun 2002 ini ada 150 perusahaan yang beroperasi. Semua perusahaan ini bergrak di segala bidang yakni bidang HPH, IPK, ISL, perkebunan, kelautan, dan pertambangan. Dari jumlah tersebut, terdapat dua perusahaan raksasa seperti PT. Freeport Indonesia di Mimika dan BP-Indonesia di Manokwari. Freeport Indonesia sistemnya menggunakan padat karya. Sistem ini menggunakan 15.000 tenaga kerja, namun hanya 1500 orang yang merupakan tenaga kerja dari masyarakat asli atau putera daerah Papua. Sedangkan BP sejak tahun 1999-2002 telah merekrut tenaga kerja sebanyak kurang lebih 7500 orang. BP membagi ke dalam lima perusahaan unit yaitu PT.Arco, PT.Alico, PT.Petrosea, PT.Firma, dan PT.Buma Kumawa. Setiap calon tenaga kerja sekurang-kurangnya memiliki pengalaman kerja di salah satu perusahaan pertambangan atau pada perusahaan laian dan atau berasal dari NGO. Akibatnya banyak putera daerah yang melamar tapi pada akhirnya tidak diterima karema tidak memenuhi sarat yang ditentukan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan MNC pemegang saham antara lain: BP-Inggis, Amerika Serikat, MI Berauw B.V, Nippon Oil, Kanematsu, British Gas, Nisho Iwai, Rio Tinto, Freeport Mc Moran, Exxon Mobil Oil, Freeport Indonesia, dan pemerintah Indonesia serta sejumlah pemerintah mancanegara seperti Inggris, Amerika Serikat, China, Korea, Jepang, Australia, dan yang lainnya. Sedangkan kontraktor BP-Indonesia selama tahap pertama ada lima perushaan asing yaitu PT. Arco (MNC ex.Kontraktor Pertamina Indonesia), PT.Alico (Perancis), PT.Petrosea (Australia), PT. Firma (Inggris), dan PT. Buma Kumawa (Malaysia).
Selain itu, ada PT. Calmarin yang bergerak di bidang kesehatan yang berperan pentu\ing dalam proses medical check bagi para calon tenaga kerja dan PT. Promosindo (Depnaker Manokwari) yang bertugas dalam perekrutan calon tenaga kerja. Untuk tahap produksi BP akan menggunakan PT.Chiyoda Internasional Indonesia (CII) yang bermarkas di Jepang dan PT.Bechel Inc yang bermarkas di AS.
BP Indonesia adalah perusahaan baru di Papua. Perusahaan ini merupakan perusahaan terbesar di Papua setelah PT.Freeport Indoensia. Keberadaan BP yang masih seumur jagung sudah membuat masalah dengan warga setempat, aksi ketidakpuasan dan pro-kontra masyarakat adat terhadap pihak perusahaan BP Indonesia telah menyegel Base Camp BP di desa Saengga, kecamatan Babo. Mereka menurut tentang status tanah tersebut bila masa produksi sudah berakir, serta tentang kejelasan penataan desa Saengga yang akan dibangun perumahan pemukiman untuk masyarakat desa.
Pihak BP berhasil memperkuat diri dengan kekuatan 65 orang opsi sipil, personil Brimob dan dua personel Kopassus yang sudah terpakai di BP. Peran Gubernur Papua Drs. Jaap Solossa dan Bupati Manokwari Drs.Dominggus Mandaracan sangat kuat dalam kaitannya dengan kehadiran BP di kawasan Teluk Bintuni. Ketidakpuasan dan terjadinya pro-kontra terhadap kehadiran dan terutama kebijakan BP yang didukung oleh intervensi pemerintah dapat dipelajarai dari sikap dan kelakuan pihak BP dan pemerintah sendiri dalam menghadapi masyarakat adat atau dalam hal pendekatan lainnya. Hal sehubungan dengan BP sikapnya adalah yang tidak mau mengakui adanya hukum adat yang mengatur tentang hak ulayat serta sistem kepemilikan tanah adat di Papua, khususnya di teluk Bintuni. Dukungan dari Gubernur dan Bupati yang memperkuat posisi kedudukan masing-masing sebagai pejabat pemerintah dan juga posisi BP dengan UU Otnus Papua No.21/2001. Akibatnya, aspirasi masyarakat adat terabaikan dan terkatung-katung, karena tidak jelas proses penyelesaiannya, pemerintah lebih memihak perusahaan.
Akhirul kalam, pemerintah Indonesia kini dilema untuk mengambul keputusan terkait Papua. Wilayah itu kini menjadi tempat untuk ajang investor-investor asing, mereka berani untuk menggelontorkan dana besar demi kekayaan Papua, PT.Freeport dan British Petroleum menjadi raja yang menguasai proyek-proyek. Semoga masalah di Papua bisa segera dilesesaikan dan tidak menjadi masalah yang berlarut-larut.

0 comments:

Post a Comment