Kekompleksitasan konflik yang terjadi di Tanah Papua, semakin menguatkan stigma bahwa pulau di timur Indonesia itu selalu penuh kontradiksi. Wajah alam
pegunungan dan lembah yang asri dan damai, dengan sumber daya alamnya yang
melimpah, tetapi juga sebagai provinsi dengan penduduk sangat miskin dan terkebelakang belum lagi penuh kekerasan.
Masyarakat
Babo khususnya Desa tanah Merah dan Desa Saengga, Kabupaten Manokwari merasa
tertipu dengan kepercayaan yang telah diberikan kepada perusahaan Beyond Petroleum
(BP) disalahgunakan. Sikap akomodatif yang ditunjukkan masyarakat Babo selama
ini ternyata tidak diimbangi oleh niat baik perusahaan untuk memenuhi
janji-janji manisnya, dengan memberikan hak-hak warga masyarakat sebagaimana
yang telah menjadi kesepakatan sebelumnya. Babo adalah wilayah kecamatan di
Kabupaten Paniai yang secara geografis terletak di Jantung Hati Pulau Papua,
tepatnya berada di daerah Wissel Maren .”. 7.2.1.
Langkah
BP Indonesia di Bintuni Mulus, Beni Konflik Mulai Muncul Ambisi BP
Indonesia untuk menyedot gas alam di Teluk Bintuni-Papua, tampaknya bakal
berjalan mulus. Setelah AMDALnya disetujui oleh komisi penilai AMDAL Pusat pada
bulan Mei lalu kini BP sedang ancang-ancang untuk melaksanakan EPC (Engineering
Procurement and Construction). Salah satunya adalah membangun lapangan terbang
sepanjang 2.000 m dan lebar 150 m serta rehabilitasi dermaga pelabuhan laut
Babo.
Tertutupnya Ruang
Demokrasi Militer Indonesia dan pada umumnya militer di dunia adalah anti
terhadap Demokrasi. Setiap kali ada ruang demokrasi yang muncul di Papua sering
ditutup dengan melakukan penekanan dengan pendekatan militeristik. Hal ini yang
dialami oleh bangsa Papua Barat sejak dianeksasikan ke Indonesia oleh
pihak-pihak yang berkepentingan dengan ekonomi dan politik di Papua Barat.
Jika dilihat dari sejarahnya Papua
mempunyai masalah yang sangat kompleks dikarenakan beberapa sebab yang memantik
api kekerasan di Papua sendiri. Pertama, kekerasan itu dilihat dalam konteks
sejarah masa lalu yang keras dan destruktif. Bahwa kekerasan itu tidak terlepas
dari sejarah kekerasan di masa lalu di mana Papua dijadikansebagai daerah
operasi militer (DOM) yang tentu saja melanggar HAM dan sangat melukai
hatirakyat Papua. Dengan demikian, hingga kini Papua selalu merasa diri
diperlakukan diskriminatif dan
militeristik. Perilaku dan penilaian itulah yang diteruskan hingga sekarang.
Kedua, tingginya arus imigrasi yang tentu
saja kian menambah tingginya populasimasyarakat non Papua. Pada mulanya,
arus imigrasi dilihat sebagai sesuatu yang biasa saja dantidak merugikan penduduk asli Papua, lantaran
Papua memiliki luas geografis yang tak tertandingioleh luas geografis daerah lain di Indonesia,
dengan jumlah penduduk asli Papua yang belumseberapa. Tetapi, lama
kelamaan masyarakat Papua melihat itu sebagai sebuah tantangan aliasmasalah baru bak monster, yang jika tidak
dikendalikan, akan merugikan masyarakat asli Papua, dimana akan semakin
meminggirkan eksistensi masyarakat asli Papua. Ketiga, arus deras investasi ke Tanah Papua. Masyarakat
Papua yang terdidik semakinsadar bahwa dari program investasi itu,
masyarakat Papua sungguh dirugikan lantaran setiap hariyang dipertontonkan
adalah ketidakadilan ekonomi. Bahwa, yang menikmati hasil bumi Papua bukan
masyarakat Papua, tatapi orang-orang Jakarta dan negara asing. Papua merasa
diri hanya mendapatkan uang recehan sambil terus menyaksikan tanah ulayatnya
digerogoti tanpa batas oleh pihak asing, dan kepada mereka hanya
ditinggalkan sampah-sampah berupa bebatuan, racun limbah berbahaya, dan lubang menganga lebar yang tidak bisa digunakan
lagi. Keempat, hancurnya adat istiadat dan tradisi budaya luhur
yang sangat dijunjung tinggioleh penduduk
asli. Kehadiran perusahaan asing dan ditambah lagi dengan tingginya arus
imigrasi kian menambah derasnya arus budaya teknologi komunikasi dan
informasi. Itu yang kemudian mulai dilihat sebagai suatu ancaman serius
terhadap keberadaan adat-istiadat Papua. Perilaku dan gaya hidup masyarakat Papua, terutama di perkotaan semakin terpengaruh
oleh budaya asing-Baratyang kian deras masuknya. Perilaku dan gaya hidup
mereka pun semakin jauh dari adat istiadat Papua.
Akan
tetapi pada class review kali ini kami akan mengkhususkan apa yang terjadi
dengan BP, TNI/militer, Polisi, OPM, milisi Papua dan tentunya juga pemerintah.
Berdasarkan apa yang S. Eben Kirksey tulis dalam artikelnya “Don’t Use Your
Data as a Pillow”. Dengan cukup gambling Kirksey menerangkan bahwa disana
terdapat konflik yang amat komplek antara BP, TNI/militer, polisi, OPM, milisi
Papua dan tentunya pemerintah. Trauma masyarakat
terhadap militerisme harus dipulihkan dengan tidak terus menerus melakukan
pendekatan terhadap persoalan masyarakat dengan cara kekerasan. Stigma separatisme jangan terus dipertahankan
hanya sebagai pembenaran untuk mempertahankan pendekatan keamanan di Papua. Keamanan
terbukti tidak menyelesaikan masalah, justru semakin mendorong lahirnya
kekerasan dan kian menambah trauma masyarakat Papua.
0 comments:
Post a Comment