Judul
: Habis Manis Sepah di Buang (Papua)
Pada pertemuan kali ini entah mengapa pa Lala tidak menggunakan
power point seperti yang telah dilakukan pada pertemuan yang sudah-sudah. Pada
pertemuan kali ini juga pa Lala tidak berada di kelas (sampai selesai) karena
tiba-tiba tim dari akreditasi kampus datang untuk menilai jurusan kita.
Pada pertemuan kali ini seperti biasanya saya menjadi orang pertama
yang mendapat pertanyaan dari pa Lala mengenail Class Review yang sudah saya
tulis. pertanyaan pa Lala “Apa yang
terjadi pada TNI yang berada di Papua?” jawaban saya “ para TNI di sana banyak
melakukan pelanggaran HAM contohnya salah tembak yang dilakukan TNI kepada
warga Papua”. Pa Lala menambahkan kalau
hal yang harus kita bahas adalah mengenai masalah ekonomi, jadi jangan fokus
terhadap pelanggaran HAM di Papua.
Informasi terkini mengenai keadaan di proyek raksasa gas dan LNG di
wilayah Kepala Burung Papua Barat, yang
dioperasikan oleh perusahaan energi multinasional dari Inggris, BP.
Lebih dari dua tahun telah berlalu sejak proyek gas alam cair (LNG)
Tangguh mulai berproduksi, tapi pertanyaan mengenai BP dan proyeknya senilai
US$5 milyar di Teluk Bintuni, Papua Barat, itu masih menggantung. Peristiwa
yang terjadi di belahan dunia lain tahun lalu menimbulkan pertanyaan yang
kurang menguntungkan bagi BP. Bencana minyak Teluk Meksiko menggaris bawahi
tingginya biaya lingkungan dan sosial dari pengeboran minyak dan gas. Dalam hal
Papua Barat, biaya ini kurang terlihat oleh dunia luar karena akses atas berita
mengenai Tangguh dan komunikasi di wilayah itu. Meskipun terdapat risiko
sosial,
HAM
dan lingkungan, BP terus memaksakan rencananya untuk memperluas proyek LNG
Tangguh: 'kereta' produksi ketiga akan dibangun tahun 2014, menyusul dua kereta
lain yang sudah berproduksi.
BP juga telah memperoleh konsesi eksplorasi lepas pantai untuk
minyak dan gas di Laut Arafura, di selatan Timika, dan diduga akan merencanakan
untuk mendapatkan konsesi minyak dan gas lagi di daerah sekelilingnya. Ditambah
dengan empat kontrak gas metana batubara (coal bed methane) di Kalimantan
Tengah dan satu kontrak proyek gas di Kalimantan Timur,1 yang baru
ditandatangani, maka komitmen BP untuk memperluas kepentingannya di Indonesia
semakin jelas.2 Permintaan akan LNG dari luar negeri tetap tinggi, sementara
LNG Tangguh diekspor ke pasar Cina, A.S. dan Korea Selatan. Jepang dan Taiwan
juga merupakanimportir potensial untuk LNG Tangguh. Selain itu, BP telah
melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak untuk mulai memasok LNG ke pasar
Indonesia. Ada laporan mengenai kontrak potensial untuk memasok LNG ke
pembangkit listrik di Sumatra Utara3 dan bahkan kemungkinan untuk memasok LNG
untuk pabrik petrokimia baru yang diusulkan di Papua Barat sendiri.4 Jelas
bahwa permintaan atas pasokan energi yang semakin besar mendorong Indonesia
untuk mencoba memenuhinya, khususnya melalui proyek Tangguh. BP dan rekan
Indonesianya BP Migas tengah
berusaha untuk memanfaatkan keadaan ini. Sementara itu, dengan latar belakang
pertumbuhan ekonomi di seluruh Indonesia,5 dorongan untuk mendapatkan
keuntungan dan pertumbuhan yang lebih besar semakin kuat dengan adanya
pengumuman bahwa pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi ulang harga
kontrak penjualan LNG dengan salah satu konsumen Tangguh terbesar, China
National Offshore Oil Corporation (CNOOC).
Tangguh sebagai 'pembangunan' dari atas ke bawah dan peran TIAP
Awan gelap yang menyelimuti ufuk di balik sumber keuntungan energi
Teluk Bintuni ini adalah situasi politik yang berbahaya yang kini berkembang di
Papua Barat. Selama bertahuntahun, DTE telah melaporkan situasi HAM di Papua
Barat dan menyoroti perlunya pemerintah dan perusahaan mempertimbangkan
masyarakat setempat dalam pembuatan prakarsa baru dan penentuan kebijakan
pemerintah. DTE telah menyerukan secara terus menerus agar
pembangunan
harus mengakar dan menjawab kebutuhan, kepentingan dan prioritas masyarakat
setempat. Sementara itu, proyek raksasa seperti BP Tangguh terus didorong
dengan alasan untuk membawa kemajuan dan pembangunan bagi Papua Barat, meskipun
tujuan utama mengeruk sumber daya alam adalah untuk memenuhi permintaan akan
energi dan pasar dari negeri yang teramat jauh.
Sejak dimulainya proyek Tangguh, DTE, bersama dengan berbagai ornop
dan organisasi masyarakat sipil, telah menghadiri pertemuan Majelis Penasehat
Independen Tangguh (TIAP) guna mendorong BP agar mengakui dan menghormati hak
masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, serta untuk menanggapi kekhawatiran
masyarakat setempat atas perusahaan raksasa ini. TIAP dibentuk oleh BP tahun
2002 untuk "memberikan nasihat eksternal kepada pengambil keputusan senior
terkait dengan aspek non-komersial proyek LNG Tangguh". Kemandirian dan
efektivitas proses TIAPsemakin dipertanyakan. Tahun 2009, Lord Hannay, salah
seorang anggota majelis TIAP, menuduh beberapa ornop berteriak-teriak tak
beralasan untuk mencari perhatian atas situasi HAM di Papua.
Dua tahun telah berlalu, meskipun BP Tangguh telah melakukan usaha
untuk melindungi diri dari beberapa masalah terkait engan kegiatannya di Papua
Barat, tampaknya proyek itu tak akan dapat menghindari terperosok dalam masalah
yang lebih luas di Papua. Konflik, pembunuhan, mogok kerja dan korupsi terus
menghantui tambang Rio Tinto-Freeport dekat Timika7 dan meningkatnya kekerasan
di Papua secara umum berarti masalah semakin mendekati Tangguh. Komisi HAM Asia
baru-baru ini melancarkan aksi mendesak mengenai penahanan dan pemenjaraan
sejumlah aktivis dengan dakwaan 'pemberontakan' karena mengibarkan bendera
bintang kejora di ibukota wilayah Manokwari.8 Di awal September, jurnalis yang
meliput protes pemilik tanah adat dipukul oleh kepala distrik di Sorong Selatan
dan asistennya dan ditekan agar membuat berita yang menguntungkan mereka.9
Kejadian-kejadian tersebut tidak berhubungan langsung dengan BP Tangguh, tetapi
menjadi bukti meningkatnya ketegangan dan ketidakpuasan di wilayah itu pasca
Konferensi Damai di bulan Juli (lihat halaman 6) dan perkembangan politik
lainnya. Masih banyak ketidakpuasan lain terkait dengan gagalnya Otonomi Khusus
untuk mengangani masalah Papua. Masalah keseimbangan jumlah penduduk lokal dan
pendatang juga menambah ketegangan. Laporan terbaru mengenai situasi umum di
Papua Barat meramalkan bahwa penduduk asli, yang sekarang berjumlah sekitar
setengah dari seluruh penduduk, akan kalah jumlahnya menjadi dua banding satu
dibandingkan dengan jumlah penduduk pendatang dalam waktu sepuluh tahun
mendatang.10 Semua ketegangan ini hanya akan semakin parah dengan semakin
terpinggirkannya penduduk asli setempat
Membiarkan Papua Merdeka?
Berita mengejutkan tayang di situs Indonesia Today. Ulil Abshar
Abdalla bilang, "Biarkan saja Papua merdeka." Tokoh yang pernah
menjadi orang nomor satu dan ikon Jaringan Islam Liberal ini dengan enteng
mengatakan, "Biar saja Papua merdeka." Seakan pengorbanan para
pahlawan yang berjuang merebut Irian Barat (sebagaimana disebut saat itu) tidak
ada arti dan harganya sama sekali dalam pandangan orang tersebut.Siapapun yang
pernah mempelajari sejarah kemerdekaan Indonesia pasti tahu, minimal secara umum,perjuangan
merebut Irian Barat. Betapa banyak pahlawan yang gugur dalam beberapa operasi
militerseperti operasi Trikora dan Pertempuran Laut Aru yang mengakibatkan
hancurnya KRI Matjan Tutul.Apakah layak seorang liberal dengan enteng
melontarkan pendapat, "Biarkan saja Papua lepas dariIndonesia," tanpa
memperhitungkan pengorbanan para pahlawantersebut?Permasalahan Papua memang
rumit, namun akarnya sudah jelas, ketidakadilan di berbagai bidangterutama
ekonomi. Perusahaan-perusahaan penambangan asing dengan enaknya mengeruk
kekayaan alam Papua sementara rakyat di sana masih berbaku hantam dalam bentuk
Perang Antar Suku.
Rakyat Papua hingga hari ini
masih banyak yang terbelakang, miskin, dan primitif. Mungkin tradisi perang
antar suku itu memang sengaja dipelihara agar kekayaan alam Papua bisa dikeruk
dengan mudah. Ketidakadilan itu sendiri berawal dari lemahnya ketegasan
pemerintah dalam menghadapi intervensi asing, terutama dari Barat khususnya
Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan merajalelanya korupsi di berbagai bidang,
termasuk di tubuh partai si Ulil sendiri. Semua itu semakin membenarkan
kebenaran pepatah lama di Indonesia, "Kuman di seberang lautan kelihatan,
gajah di pelupuk mata tidak tampak." Orang-orang liberal yang mulutnya
berbusa-busa menyerukan kebebasan ternyata malah menjerumuskan Indonesia ke
dalam penjajahan moderen yang jauh lebih mengerikan daripada penjajahan era
kolonial. Jika benar Papua merdeka dan lepas dari NKRI, apakah rakyatnya bakal
sejahtera? Belum tentu. Bahkan mungkin malah semakin menderita karena kapitalis
pengeruk sumber daya alam di sana jelas bukan kaum filantropis yang peduli pada
sesama. Mereka hanya peduli pada kepentingan ekonominya sendiri, masa bodoh
pada kesejahteraan dan kepentingan orang lain.
0 comments:
Post a Comment