6th Class Review
Sejarah merupakan peninggalan masa lampau.
Manusia tidak akan lepas dari keterkaitannya dengan sejarah. Sejarah haruslah
diungkapkan dengan kejelasan dari suatu bukti atau fakta, artefak, dokumentasi,
ataupun bukti peninggalan lainnya, sehingga sejarah tidak akan bisa
dimanipulasi. Meskipun begitu sebenarnya sejarah itu selalu dinamis. Hal
tersebut dikarenakan berbagai macam versi dalam mempelajari sejarah. Versi
tersebut dipengaruhi oleh adanya ideologi yang berbeda. Maka dari itu sejarah
selalu disisipkan oleh berbagai macam ideologi dari sang penulis.
Dalam meneliti sejarah tidaklah mudah, apalagi
sampai kepada menuliskannya. Pada class review minggu kemarin dikatakan bahwa writing
is a matter of lightening ourselves. Dalam hal ini diharapkan agar kita
dapat tercerahkan dalam menulis, dalam hal ini pula dikatakan bahwa mereka yang
tercerahkan adalah kaum literat (the enlightened – the literate). Tetapi tentu
kita tidak akan memberikan perubahan terhadap orang lain, jika kita sendiri pun
belum tercerahkan. Ibarat kita memberikan sebuah wejangan kata-kata terhadap
orang lain, namun pada kenyataannya kita sendiri sebagai pemberi wejangan
kata-kata tersebut belum mampu menerapkannya. Maka apa yang kita sarankan sia-sia
dan belum bisa memberikan perubahan yang besar terutama untuk diri sendiri.
Berikut ini adalah kata pembuka yang merujuk
pada enlightened. “katanya tugas mereka yang tercerahkan – kaum literat
– adalah meneroka ceruk-ceruk baru tempat pengetahuan dan keterampilan yang
mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya, sebagai bagian
sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka
yang hanya baru tahu teori ini dan itu dari suara-suara penuh kuasa dibidang
yang mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan – literat; mereka
baru pada fase awal; peniru.”
Hal tersebut di atas menggambarkan betapa
sulitnya menjadi kaum yang tercerahkan atau kaum literat, karena kita harus
terlebih dahulu meneroka ceruk-ceruk baru, artinya kita tidak cukup hanya fokus
pada satu subjek pelajaran saja, tetapi juga pada subjek yang lainnya. Seperti
contoh dalam mempelajari bahasa Inggris kita tidak cukup jika hanya mempelajari
mengenai grammar, speaking, dan pronunciationnya saja, tetapi hari mencari
ceruk-ceruk baru. Untuk itu the literate must love of knowledge. Dalam
perjalanan hidupnya kaum literat harus cinta pada pengetahuan dan pemberi
pengetahuan. Meskipun begitu sebenarnya masih dalam fase meniru. Tentu
seseorang tidak akan bisa menulis tanpa sebelumnya ia meniruterlebih dahulu.
Meniru merupakan bagian terpenting dalam menemukan lalu menciptakan.
“meniru adalah baian penting dari menemukan
lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda-tanda yang
tersera, yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketka kita
merasa sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori
yang dipahami digunakan, padahal kita baru sampai tahap meniru. Lalu kita
dengan pongahnya mengatakan “ini salah, itu tak benar”, tanpa dasar yang tak
bergetar. Pada mereka yang berada dititik awal menjadi peniru. Kita merasakan
bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita bagian dari “rejim
kebenaran tak terbantahkan”. Begitu banyak yang harus kita pelajari, pahami,
lalu dimaknai; lebih banyak menjadi alasan menjadi sombong, sebab apa yang baru
kita sedikit ketahui.”
Kalimat-kalimat tersebut seakan memberikan
arahan terhadap kita semua dan sebagai cerminan. Memang seperti itulah karakter
pemula seorang penulis. Awalnya ia menirukan lalu menemukan, kemudian
menciptakan dan setelah memahami meaning dari teori-teori yang penulis dapat,
maka penulis akan dengan mudahnya menyimpulkan perspektifnya. Jika kita ingin
menjadi kaum literat yang tercerahkan ini tugasnya sangatah berat, perlu adanya
suatu pemahaman yang lebih dalam, ketika kita akan mengambil sebuah teori untuk
menyatakan suatu kevalidan.
Dalam pemahaman mengenai sejarah dan literasi
tersebut merupakan sebuah value atau nilai dari suatu peristiwa. Bahkan
dikatakan bahwa negara yang kuat itu adalah negara yang mempertahankan kualitas
value. Fowler (1996 : 10) mengatakan “like the historian critical linguist aims
to understand the values which underpin social, economic, and political
formations, and diachronically, change in values and changes in formations.”
Tulisan atau teks selalu melibatkan pemenuhan ideologi penulis, atau
pembacanya, karena didalamnya melibatkan kepentingan politik, sosial, ekonomi,
dan lain sebagainya.
Penulisan sejarah selalu berkaitan dengan sense
of believe atau suatu ideologi. Fowler (1996 : 12) menyatakan “ideology is
of course both of a medium and an instrument of historical processes.”
Maksudnya ialah ideologi dianggap sebagai media dan instrumen dari proses suatu
sejarah tersebut. Media direalisasikan sebagai perantara, sedangkan instrumen
merupakan sikap kita dalam menulis.
Ideology is omnipresent in every single text
(spoken, written, audio visual, or the combinations of all of them) (fowler
1996).omnipresent ini maksudnya ada dimana-mana, ideologi selalu hadir dalam
setiap teks baik itu berupa tulisan, lisan, audio visual, atau kombinasi dari
kesemuanya. Lehtonen 2000 dan Fairclough menyatakan “text productions is never
neutral”. Bahkan Chaedar Alwasilah pun menyatakan “literacy is never neutral
(2001 ; 2012), semua praktek literasi dan teks tulis memiliki ideologi yakni
didikte oleh lingkungan sosial politiknya”. Oleh karena itu reading and writing
selalu memotivasi adanya ideologikal.
Dalam menulis di perguruan tinggi sering kali
mengambil bentuk persuasi, yakni meyakinkan orang lain bahwa anda memiliki
sesuatu yang manarik, pada sudut pandang logika subjek yang anda pelajari.
Persuasi adalah keterampilan anda berlatih secara teratur dalam kehidupan
sehari-hari anda. Terkadang di perguruan tinggi meminta kita untuk melakukan
kasus persuasif secara tertulis.
Dalam kasus persuasif ini erat kaitannya
dengan thesis statement. Kita diminta untuk meyakinkan pembaca melalui sudut
pandang kita. Bentuk persuasif sering disebut academic argument, mengikuti pola
diprediksi secara tertulis. Thesis statement adalah ide utamanya. Pernyataan
tesis atau thesis statement dari essay adalah pernyataan satu atau dua kalimat
yang mengungkapkan gagasan utama. Thesis statement mengidentifikasikan topik
penulis dan pendapat penulis yang ada disekitar topik. Fungsi dari thesis
statement yaitu:
1. Penulis menciptakan thesis untuk fokus pada subjek esay.
2. Kehadiran thesis statement yang baik akan membantu pemahaman pembaca.
Dari pernyataan tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa semua teks akan berkaitan dengan ideologi. Entah ideologi
tersebut diciptakan dari seorang penulis maupun pembaca. Untuk menjadikan
ideologi itu bermakna maka perlu adanya kasus persuasif.
0 comments:
Post a Comment