Written by Muhammad Saefullah
Papua,
negeri masa depan yang hanya bisa diam dengan seribu bahasa. Keberadaannya kini
patut menjadi bidikan pemerintah Indonesia agar tidak lepas dari genggaman,
banyak tetangga yang memberikan kode-kode untuk memboyong Papua. Tidak bisa
ditebak, negeri bagian Indonesia paling ujung itu sanggup untuk menghidupi
jutaan umat di masa yang akan datang. Namun, bak seorang anak tiri yang
mendapat perlakuan berbeda dari ibunya, Papua yang dulu, kemarin, sekarang, dan
“mungkin” yang akan datang akan tetap menjadi buung di sangkar emasnya.
Begitu
anggunnya perusahaan-perusahaan yang melenggang bebas di Papua. Dengan
mengantongi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(UUPMA) dan Undang-Undang Nomor II Tahun 1967 ketentuan pokok pertambangan
seakan menjadi senjata pamungkas untuk mengeruk bumi Cendrawasih. Undang-Undang
tersebut lahir pada rezim militer orde baru sebagai respon dari
investor-investor asing (bermulut manis), tanpa disadari oleh Soeharto justru
UU tersebut menjadi boomerang bagi negara Indonesia sendiri. Perlu adanya
evaluasi sebelum mengambil keputusan.
Penduduk
asli Papua kini sedang menjerit kesakitan dan butuh perhatian khusus. Bumi
Cendrawasih yang sangat kaya itu menjadi mesin produksi bagi negara-negara yang
mempunyai tangan angkuh dan ambisius, dengan uang yang mereka miliki semuanya
bisa dibeli termasuk hukum di Indonesia. Panggilan negeri di sangkar emas
sangat cocok kalau disematkan untuk Papua, alasannya ialah karena orang asli
Papua tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alamnya sendiri, mereka malah
mendapat perilaku yang tidak sesuai, mereka dibantai, diawasi, dibunuh,
diperkosa, dan bahkan genosidapun ikut mewarnai kekerasan.
Entah
siapa yang harus disalahkan dalam kekacau-balauan negeri Cendrawasih.
Undang-undang yang telah dibuat oleh Soeharto menjadi tameng kuat bagi invstor
asing untuk membumi hanguskan semuanya. Kini, pelan-pelan Indonesia akan
terjadi konflik yang hebat dari kecerobohan pemimpin. Nasib penduduk asli Papua
tidak jelas, bahkan mereka mati sia-sia di tangan militer sendiri.
Kilas
balik tentang Papua ternyata menggugah peneliti luar mengungkap sisi gelapnya.
Dialah S. Eben Kirksey yang datang dengan rasa penasarannya yang sangat besar,
dengan penelitiannya ini Eben juga bisa menyelesaikan thesisnya dari salah satu
universitas. Untuk mengawali cerita lanjutan Eben dari artikelnya sangat cocok
jika kembali ke masa lalu dulu. Awalnya, Papua Barat merupakan boneka dari
Belanda, kemudian pada tahun 1962 tak diduga datang tamu dari negara lain yaitu
New York untuk membela Indonesia. Dengan membawa perjanjian New Yorknya Amerika
datang entah dengan motif apa, akhirnya Indonesia merasa berhutang budi dan
membalasnya dengan memberikan kontrak penambangan di Papua bagian tembaga dan
emas selama 30 tahun.
Kisah
lain pun muncul, tahun 1936 seorang Geologist Belanda bernama J.J Dozy
menemukan sebuah bukti yang kaya akan unsur tembaga, kemudian dibawa ke
Universitas Leiden di Belanda untuk diteliti. Hasilnya? Luar biasa, sebanyak 13
juta ton tembaga terkandung di atas permukaan tanah dan 14 juta ton di perut
bumi. Entah bagaimana ceritanya, pada tahun 1960 publikasi Dozy dibaca oleh
Fobes Wilson dari Freeport Sulphur Corporation milik Amerika Serikat. Wilson
langsung menelusuri tanah yang kaya itu (Cendrawasih). Di waktu yang sama,
masih terjadi sengketa wilayah Papua Barat di mana kerajaan Belanda belum mau
menyerahkan kepada NKRI. Di sinilah mulai muncul peran AS yagn secara politik,
berkepentingan agar Indonesia ganti haluan menjadi lebih pro-barat dari pada
pro Uni Soviet dengan komunisme.
Tak
lama setelah itu, gejolak politik dalam negeri Indonesia pun seiring dengan
keinginan Amerika Serikat. Komunisme yang sempat mendominasi di era Soekarno
lenyap seketika dan memunculkan Soeharto sebagai pemimpin berikutnya. Gayung
pun bersambut, tanggal 07 April 1967 Freeport mempunyai hak ekslusif kontrak
karya pembangunan batu bara seluas 10 ribu hektar di sekitar Gunung Eitsberg
dan Grasberg, selama 30 tahun dengan kemungkinan diperpanjang minimal 2 kali 10
tahun.
PT
Irja Eastern Mineral Corporation adalah anak perusahaan Freeport. Perusahaan
ini telah mengantongi kontrak karya selama 30 tahun, lahan seluas satu juta
hektar siap menjadi tempat eksplorasi di kawasan teluk Etna hulu sungai dan
sungai Kembau. Penguasaan Freeport atas tambagn emas dan tembaga di Papua kian
merajalela karena di tahun 1966 kontrak kerja Freeport diperpanjang untuk 30
tahun kedua. Bahkan, Freeport kemali mendapat lahan eksplorasi tambahan menjadi
dua blok. Blok A di wilayah Gunung Grasberg dan Etsberg seluas 10 ribu hektar
dan blok B mencakup seluruh dataran tinggi hingga perbatasan Papua Nugini
seluas 2 hektar. Akhirnya Freeport berubah nama menjadi Freeport Mc Moran
Cooper and Gold Incore. Data kepemilikan PT Freeport di Indonesia:
- Freeport Mc Moran 81,27%
- Pemerintah Indonesia 9,36%
- PT. Indocooper Investama Corporation (Swasta di Indonesia) 9,36%
- PT. Nusamba Mineral Industri 50,48%
- Freeport Mc Moran 49%
- Milik publik 0,52%
Fakta membuktikan ada beberapa orang
Indonesia yang punya saham di Papua. Bob Hasan adalah pemilik tunggal dari
Nusamba Group yang mempunyai anak Nusamba tunggal Industri. Selain itu, yayasan
milik Cendana juga menjadi penguasa Nusamba atas Indocopper berawal dari tahun
1995, ketika kelompok Bakrie melepas sahamnya di Indocopper lewat Bursa Efek
Surabaya. Freeport memperoleh keuntungan bersih mencapai 463 juta dollar
Amerika setiap tahunnya. Karena Gunung Grasberg saja mengandung 2,8 milyar
metrik ton biji emas dan menghasilkan uang sedikitnya 250 trilyun.
Skandal di Papua pelan-pelan mulai
terungkap. Tak jelas kemana milyaran dana tersebut mengalir selama ini, di
tengah ketidakkelasan itu justru mendadak mucul angin panas ikhwal pengeluaran
tidak wajar atas audit keuangan Freeport Mc Moran Cooper and Gold
Incorporation. Dalam laporannya kepada otoritas pasar modal Amerika Serikat,
tahun 2001 Freeport Mc Moran mengaku telah menyetor dana khusus ke pihak aparat
keamanan TNI sebesar USD 4,7 juta. Setoran dana ini meningkat lagi menjadi USD
5,6 juta pada tahun 2002, bahkan menurut The New York Times dalam kurun waktu
1998-2004 tak kurang USD 20 juta sudah dikeluarkan Freeport untuk alokasi
kebutuhan keamanan Papua. Tidak terbayangkan ila dana siluman jutaan dolar
Amerika itu sama sekali tidak menyentuh warga Papua. Walaupun otonomi khusus
yang diberlakukan sejak 2001 lalu memberikan kewajiban 70% yang menjadi hak
pemerintah daerah Papua.
Freeport memanglah industri yang berani
menggelontorkan uang banyak. Demi amannya bisnis, dengan tekun Manes R Moffet
membina persahabatan dengan presiden Soeharto dan kroninya Policy Paper PBHI
yang merujuk laporan New York Times. Freeport membayar ongkos mereka berlibur,
bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan
yang memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Diuraikan dalam Policy Paper tersebut
bahwa antara tahun 1998-2004 Freeport telah memberikan hampir 20 juta dollar
(sekitar Rp.90 milyar) kepada Jendral, kolonel, mayor, dan kapten tentara
maupun polisi dan unit-unit militer. Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan
35 juta dollar untuk membangun infrastruktur militer dan perusahaan juga
memberikan pada komandan 70 buah mobil Land Rover dan Lan Cruiser yang diganti
setiap beberapa tahun sekali.
Tiap minggu kacau, begitulah kepanjangan
yang diberikan oleh masyarakat Papua di Timika, memplesetkan kepanjangan kota
Timika. Timika merupakan kota dengan intensitas konflik tinggi, berdimensi
luas, ada aspek ekonomi, sosial budaya, hukum, perburuhan, agraria, politik,
dan lain-lain. Tapi secara garus besar dapat dikelompokkan menjadi: konflik
vertikal maupun horizontal; konflik yang muncul secara alamiah maupun konflik
yang muncul terkait rekayasa kelompok tertentu.
Jumlah perusahaan keseluruhan di Papua
sampai dengan tahun 2002 ini ada 150 perusahaan yang beroperasi. Semua
perusahaan ini bergrak di segala bidang yakni bidang HPH, IPK, ISL, perkebunan,
kelautan, dan pertambangan. Dari jumlah tersebut, terdapat dua perusahaan
raksasa seperti PT. Freeport Indonesia di Mimika dan BP-Indonesia di Manokwari.
Freeport Indonesia sistemnya menggunakan padat karya. Sistem ini menggunakan
15.000 tenaga kerja, namun hanya 1500 orang yang merupakan tenaga kerja dari
masyarakat asli atau putera daerah Papua. Sedangkan BP sejak tahun 1999-2002
telah merekrut tenaga kerja sebanyak kurang lebih 7500 orang. BP membagi ke
dalam lima perusahaan unit yaitu PT.Arco, PT.Alico, PT.Petrosea, PT.Firma, dan
PT.Buma Kumawa. Setiap calon tenaga kerja sekurang-kurangnya memiliki
pengalaman kerja di salah satu perusahaan pertambangan atau pada perusahaan
laian dan atau berasal dari NGO. Akibatnya banyak putera daerah yang melamar
tapi pada akhirnya tidak diterima karema tidak memenuhi sarat yang ditentukan
perusahaan.
Perusahaan-perusahaan MNC pemegang saham
antara lain: BP-Inggis, Amerika Serikat, MI Berauw B.V, Nippon Oil, Kanematsu,
British Gas, Nisho Iwai, Rio Tinto, Freeport Mc Moran, Exxon Mobil Oil,
Freeport Indonesia, dan pemerintah Indonesia serta sejumlah pemerintah
mancanegara seperti Inggris, Amerika Serikat, China, Korea, Jepang, Australia,
dan yang lainnya. Sedangkan kontraktor BP-Indonesia selama tahap pertama ada
lima perushaan asing yaitu PT. Arco (MNC ex.Kontraktor Pertamina Indonesia),
PT.Alico (Perancis), PT.Petrosea (Australia), PT. Firma (Inggris), dan PT. Buma
Kumawa (Malaysia).
Selain itu, ada PT. Calmarin yang
bergerak di bidang kesehatan yang berperan pentu\ing dalam proses medical check
bagi para calon tenaga kerja dan PT. Promosindo (Depnaker Manokwari) yang
bertugas dalam perekrutan calon tenaga kerja. Untuk tahap produksi BP akan
menggunakan PT.Chiyoda Internasional Indonesia (CII) yang bermarkas di Jepang
dan PT.Bechel Inc yang bermarkas di AS.
BP Indonesia adalah perusahaan baru di
Papua. Perusahaan ini merupakan perusahaan terbesar di Papua setelah
PT.Freeport Indoensia. Keberadaan BP yang masih seumur jagung sudah membuat
masalah dengan warga setempat, aksi ketidakpuasan dan pro-kontra masyarakat
adat terhadap pihak perusahaan BP Indonesia telah menyegel Base Camp BP di desa
Saengga, kecamatan Babo. Mereka menurut tentang status tanah tersebut bila masa
produksi sudah berakir, serta tentang kejelasan penataan desa Saengga yang akan
dibangun perumahan pemukiman untuk masyarakat desa.
Pihak BP berhasil memperkuat diri dengan
kekuatan 65 orang opsi sipil, personil Brimob dan dua personel Kopassus yang
sudah terpakai di BP. Peran Gubernur Papua Drs. Jaap Solossa dan Bupati
Manokwari Drs.Dominggus Mandaracan sangat kuat dalam kaitannya dengan kehadiran
BP di kawasan Teluk Bintuni. Ketidakpuasan dan terjadinya pro-kontra terhadap
kehadiran dan terutama kebijakan BP yang didukung oleh intervensi pemerintah
dapat dipelajarai dari sikap dan kelakuan pihak BP dan pemerintah sendiri dalam
menghadapi masyarakat adat atau dalam hal pendekatan lainnya. Hal sehubungan
dengan BP sikapnya adalah yang tidak mau mengakui adanya hukum adat yang
mengatur tentang hak ulayat serta sistem kepemilikan tanah adat di Papua,
khususnya di teluk Bintuni. Dukungan dari Gubernur dan Bupati yang memperkuat
posisi kedudukan masing-masing sebagai pejabat pemerintah dan juga posisi BP
dengan UU Otnus Papua No.21/2001. Akibatnya, aspirasi masyarakat adat
terabaikan dan terkatung-katung, karena tidak jelas proses penyelesaiannya,
pemerintah lebih memihak perusahaan.
Akhirul kalam, pemerintah Indonesia kini
dilema untuk mengambul keputusan terkait Papua. Wilayah itu kini menjadi tempat
untuk ajang investor-investor asing, mereka berani untuk menggelontorkan dana
besar demi kekayaan Papua, PT.Freeport dan British Petroleum menjadi raja yang
menguasai proyek-proyek. Semoga masalah di Papua bisa segera dilesesaikan dan
tidak menjadi masalah yang berlarut-larut.
0 comments:
Post a Comment