Sunday, April 6, 2014

Menjadi Pendobrak
            Siapakah yang paling di takuti oleh pemerintah (khususnya bagi yang melakukan kesalahan secara sembunyi-sembunyi) dasri dulu sampai sekarang? Maka mereka adalah para penyair, sejarawan, dan sastrawan. Kenapa tidak ada kata Tuhan sebagai salah satu dari beberapa yang di takuti oleh pemerintah? Bukankah mereka mengakui adanya Tuhan dan beragama? Bahkan mereka bergelar ahli agama, namun pola fikir dan sikap mereka seperti tidak menganggap adanya Tuhan. Apakah mereka hanya takut apda yang nyata (manusia) dan menghiraukan yang tak terlihat (Tuhan)? Sehingga mereka mampu dengan gesit dan lincahnya melakukan kecurangan-kecurangan (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan yang berani mengungkap dan (mendobrak) kebohongan itu adalah mereka para penyair, sejarawan, dan sastrawan. Padahal hukuman yang dari Tuhan itu lebih menyakitkan lebih dari apapun.
            Para penyair mampu menciptakan berbagai lagu yang berlirikkan sindiran, bahkan cercaan terhadap perilaku para penguasa. Mereka dengan beraninya mengungkapkan kebenaran yang penguasa tutup-tutupi. Melalui syairlah, mereka menyebarkan kebenaran tersebut kepada khalayak ramai. Oleh karenanya, timbullah kesadaran pada pola fikir atau pandangan masyarakat terhadap pemerintah yang ‘curang’. Alhasil, mereka jauh lebih sensitif dan kritis dalam menilai dan menanggapi perilaku pemerintah. Sehingga, patut di apresiasi setinggi-tingginya bagi para penyair di Negri ka, seperti musisi legendaris IWAN Fals. Beliau banyak menciptakan lagu tentang pandangannya terhadap kinerja pemerintah, seperti pada judul lagu ‘Serdadu, Wakil Rakyat’, dan lain-lain. Oleh karenanya, tidak aneh jika banyak pemuda dan orang tua yang sangat mengidolakan beliau, mulai dari kalangan bawah, menengah, dan atas. Hal ini karena beliau mampu menyuarakan suara rakyat tentang pemerinta. Namun sayangnya, keberanian beliau ini sempat di respon buruk oleh pemerintah pada era Soeharto. Kenapa? Lirik yang ia ciptakan selalu mengandung tanggapan negatif tentang pemerintah sehingga saat itu pemerintah mencekal beliau. Tapi, hukuman tersebut tidak berlaku lagi karena adanya UU tentang HAM. Alhasil, banyak bermunculan musisi-musisi muda yang mengikuti jejak Iwan Fals, seperti Bona Paputungan.
            Milan Kundera dalam komentarnya (L’Art Duroman, 1986) mengatakan, bahwa untuk menulis itu seperti puisi yang menghancurkan atau mendobrak dinding yang menutupi kebenaran karena kebenaran selalu tersembunyi disana. Menciptakan puisi sama halnya seperti mengungkap sesuatu yang tersembunyi, baik di dalam hati maupun di lingkungan sekitar. Oleh karenanya, seorang sastrawan tidak pernah main-main dalam menciptakan puisi. Sehingga, melalui tangan-tangan mereka muncullah master piece, seperti sastrawan WS. Rendra dengan puisinya yang terkenal ‘Bandung Lautan Api’. Karya-karya beliau mampu menyentuh hati dan mengubah kesadaran para pembacanya. Mampu memberi sisi persfektif lain dari apa yang mereka telah diketahui sebelumnya, sehingga mereka semakin peka terhadap pemerintahan. Dengan keberaniannya, beliau mampu mendobrak pembatas yang menyembunyikan kebenaran di Negri ini. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah takut akan keberadaan karya-karya dari para sastrawan.
            Selain itu, dari sisi sejarah kebenaran pun dapat di manipulasi. Sejarah sangat berpengaruh terhadap masa depan yang akan datang. Bagaimana jika sejarah ‘dioplos’ atau ditutupi kebenarannya? Apakah artinya kita hidup dalam masa kebohongan? Di sinilah sejarawan sangat berperan dalam mengungkap sejarah. Mereka menggunakan ideologi mereka masing-masing untuk membongkarnya, tentu dengan cara yang berbeda-beda pula. Seperti Howard Zinn dan Gavin Menzies yang meneliti kebenaran sejarah Benua Amerika. Jika Zinn lebih memfokuskan tentang kekejaman Colombus, sehingga ia tidak pantas disebut sebagai penemu Benua Amerika dan pahlawan (1999, 2009). Sedangkan Gavin Menzies, menunjukkan berbagai bukti penelitiannya seperti sebuah peta buatan masa sebelum Colombus memulai pelayaran, dan sebuah peta astronomi milik Zhing He (indocropcircles.wordpress.com). Para sejarawan seperti mereka patut di beri apresiasi yang tinggi. Kenapa? Mereka secara terang-terangan dan berani mendobrak dinding yang membatasi kebenaran. Mereka tidak takut walaupun secara sadar mereka telah melawan Negara mereka sendiri.
            Sebagai students academi yang harus mampu mengkritisi segala sesuatu yang dilihat, dirasa, dan didengar. Seperti orang-orang hebat di atas, kita harus mampu menggunakan ideologi kita dan memfokuskan diri terhadap suatu objek yang ingin diteliti. Oleh karenanya, kita harus mampu melalui tiga prosedur, yaitu emulate (peniru), discover (peniru), dan creator (pencipta). Posisi sebagai pengkritisi hanya baru pada tahap awal, yaitu tahap emulate. Namun, peniru disini bukan hanya sebatas memindahkan apa yang sudah kita temukan (copy-paste) ke dalam karya kita. Akan tetapi, kita harus sensitif terhadap apa yang ada disekitar kita (teks dan fenomena) dengan mencari referensi untuk mendukung persfektif kita. Selain itu, kita harus mengungkapkannya dengan cara (bahasa) kita sendiri. Inilah peniru dalam academic writing.
            Sejarah sama halnya seperti puisi yang mampu mengungkapkan kebenaran yang terjadi dalam berbagai situasi, sehingga memungkinkan masyarakat mengetahui sesuatu yang tersembunyi. Keduanya mengukur berdasarkan fakta. Oleh karenanya, keduanya harus mampu menolak berbagai kebenaran yang sudah ada karena kebenaran tersebut belum tentu benar. Sebagai para sejarawan dan sastrawan (termasuk penyair) tidak mudah percaya terhadap kebenaran yang ada, mereka selalu mencarinya dengan persfektif mereka.
            Sejarah, puisi, dan syair bersifat dinamis. Artinya mereka adalah proses yang tiada akhir dari kreasi atau kegiatan manusia. Dengan demikian, proses manusia sebagai emulate, discover, dan creator tidak akan pernah selesai. Self-discovering dilakukan melalui menulis, yang sudah barang tentu tidak akan berujung. Sama seperti sejarah, syair, dan sastra yang tidak akan pernah berhenti. Mereka tetap tercipta dalam keseharian kita karena dalam setiap kegiatan pasti akan menjadi sejarah, bahkan untuk sebagian orang dijadikan syair. Sehingga, tidak berlebihan jika para penulis dapat mengubah dunia. Kenapa? Mereka selalu mencari tahu kebenaran dari sejarah. Mereka tidak mau menerima begitu saja asumsi yang telah ada di sekitar mereka. Sehingga, dalam karyanya mereka sangat pandai menciptakan semogenesis pada setiap katanya. Dimana semogenesis sangat sulit diciptakan karena disanalah pembaca akan mendapatkan informasi yang ingin dia dapatkan. Alhasil, mereka mampu membuka kesadaran terhadap para pembacanya.

            Kesimpulannya, orang-orang yang kritis dan pandai menggunakan ideologinya (penyair, sastrawan, dan sejarawan) mampu mengubah dunia. Dalam arti, dengan menimbulkan kesadaran terhadap seseorang, sehingga mampu mengubah dunianya. Mereka dengan beraninya melawan pemerintah di Negaranya masing-masing, tanpa merasa takut dan menyesal sedikitpun walaupun mereka telah ditentang atas karya yang mereka ciptakan. Mereka bahkan merasa puas karena ideologi yang telah mereka sebarkan pada masyarakat luas, dan karenya mampu membawa masyarakat lebih sensitif dan kritis terhadap apa yang pemerintah lakukan. Alhasil, para pejuang tersebut lebih di idolakan oleh masyarakat ketimbang tokoh-tokoh penguasa. Oleh karenanya, pemerintah merasa perlu untuk menghambat pergerakan mereka dengan cara pencekalan. Namun, itu tidak berlangsung pada era sekarang karena adanya UU HAM. Sayangnya, pemerintah masih takut terhadap karya-karya mereka, bahkan penguasa lebih takut pada mereka daripada Tuhan. Hal ini terbukti dari adanya KKN. Jika mereka takut pada Tuhan, pasti mereka tikan akan melakukan kecurangan-kecurangan tersebut, bukan? Namun nyatanya, mereka lebih takut pada ‘ketokan’ palu dan ‘hujatan’ masyarakat dari pada Tuhan mereka. Astagfirullah!

0 comments:

Post a Comment