Sunday, April 6, 2014


By MAJID

Polemik mengenai papua ( dulu irian Jaya ) dari dulu hingga sekarang masih saja hangat untuk diperbincangkan. Pada saat penjajahan belanda, papua sudah menjadi rebutan dari banyak negara jajahan, seperti inggris, belanda dan termasuk didalamnya negara yang waktu itu baru saja lepas dari jajahan belanda, yakni Indonesia. Hal ini disinyalir kuat karena kekayaan atau sumber daya alam yang dimiliki oleh papua (Papua disebut sebagai Gold Island). Selain itu konflik antar warga dengan militer Indonesia pada zaman rezim soeharto, yang menyebabkan tumbangnya banyak warga Papua di tangan militer Indonesia, dan pembantaian terhadap demonstrator yang tak bersenjata yang disebabkan oleh aksi protes warga yang terlalu kritis terkait konflik papua. Yang menjadi pertanyaan krusial adalah mengapa papua pada saat itu bersikeras ingin memisahkan diri dari negara Indonesia ? Mengapa papua menginginkan kebebasan, bukan reformasi ? Pada hakikatnya banyak hal yang ditutup-tutupi terkait sejarah papua ini. Nah disini, Penulis ingin mencoba menguraikan mengenai kasus papua, dan bagaimana kasusnya hingga sekarang,  juga kaitannya dengan S. Eben Kirskey, seorang Mahasiswa dari Universitas California, yang datang ke Papua untuk melakukakan penelitian. Eben telah menulis artikel yang berjudul “Don’t use your Data as a Pillow”, yang konten didalamnya secara garis besar menguraikan tentang kasus-kasus yang terjadi di papua. Selain itu, penulis juga akan mencatat beberapa hal yang tidak dimengerti oleh penulis mengenai konten dari artikel Eben Kirskey tersebut.
Kontroversi nama Papua, Papua bagian barat dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat).
Sejarah Papua barat dalam kaitannya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sangatlah unik. Walaupun Papua “agak terlambat” diakui oleh dunia internasional sebagai bagian dari NKRI, namun sebenarnya sejak awal penduduk Papua sudah merupakan “Keluarga Besar” penduduk yang mendiami wilayah Nusantara yang kemudian bergabung dan membentuk Negara Indonesia.
Pada dasarnya Indonesia dengan papua sama-sama dijajah oleh Belanda. Tapi, jika dilihat dari lama penjajahan, cara di jajah, system yang di pakai oleh belanda saat di jajah semuanya itu berbeda. Lama penjajahan di Indonesia selama 350 tahun sedangkan papua kurang lebih dari 63  tahun. Ketika papua dijajah oleh Belanda,  papua merasa bukan bagian dari Indonesia. Mereka berjuang sendiri untuk kemerdekaanya sendiri. Sama-sama berjuang untuk merdeka. Rakyat Papua berjuang untuk Papua merdeka sedangkan rakayat Indonesia berjuang untuk Indonesia merdeka.
Umur sejarah “Bangsa Papua” baru 19 hari setelah di proklamirkan di Manokwari pada tahun 1961, dan di Alun-alun Utara di jogja pada Tanggal 14 Desember 1961 bersamaan dengan ditetapkannya suatu komando tertinggi (KOTI) Pembebasan Irian Jaya barat. president RI (Sukarno) Berpidato, mengeluarkan Maklumat/Mendeklarasikan Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) yang berisi :
1.Gagalkan Negara Boneka buatan Belanda
2.Bersiaplah untuk Memobilisasi Umum
3.Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh pelosok Tanah Papua.
Padahal disana, di tanah papua telah lahir suatu Negara baru, pemerintahan yang baru secara sah. Dengan kata lain, pada saat itu pula papua sudah bebas atau merdeka berkat perjuangan mereka sendiri, bukan Indonesia. Terkait statement soekarno pada point terakhir dari TRIKORA ini, Jadi wajar saja jika warga papua marah dengan negara RI. Jadi Saat itu Bangsa Papua, merdeka di Papua dan terjajah di jogja sampai hari ini. 
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah Mengapa Papua menginginkan kemerdekaan sendiri bukan reformasi ? Jawabannya adalah karena mereka tidak puas dan ada ketidakadilan. Impian yang dideklarasikan OPM adalah mendirikan “Republik Papua Barat” gabungan Propinsi Papua dan Papua Barat. “Republik Papua Barat” dideklarasikan setelah Belanda mundur, antara lain akibat tekanan dari negara adidaya Amerika Serikat- dari Bumi Cenderawasih, pada 1963.
Organisasi Papua Merdeka (OPM, 1965) bertujuan untuk membantu dan melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New People's Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Pada 1 Juli 1971, OPM kembali mencoba memproklamirkan kemerdekaan Republik Papua Barat, namun tak berhasil.  Kemudian,14 Desember 1984, Republik Melanesia Raya diproklamirkan, tapi  pemimpinnya ditangkap aparat Indonesia. Penyelesaian status Papua Barat berlarut-larut, bahkan tidak selesai hingga 1961, sampai terjadi pertikaian bersenjata pada Desember 1961 antara Indonesia-Belanda, untuk memperebutkan wilayah tersebut. Melalui Perjanjian New York, akhirnya disepakati untuk sementara Papua bagian Barat diserahkan kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebelum diberikan sepenuhnya kepada Indonesia, 1 Mei 1963.
Inilah satu hal yang sangat mengejutkan. Berdasarkan data yang penulis kutip dari situs INILAH.com, seorang papua yang bernama Herman dogopio, mendeklarasikan statemennya, setelah mengetahui rumor mengenai statement SBY pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa ia setuju Papua medeka setelah pemerintahannya?.
Pada 1969, ketika Papua baru enam tahun kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, sejumlah laki-laki rakyat Papua masuk ke hutan. Mereka tidak puas dan mempertanyakan manfaat dari Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dibentuk oleh PBB dan hasilnya menguntungkan Indonesia. Menghadapi 'pemberontakan' itu, TNI yang dipimpin Brigjen Sarwo Eddhie Wibowo (kini almarhum), menerjunkan pasukan TNI ke sejumlah tempat yang menentang PEPERA.
Yang mengesankan sehingga tak bisa dilupakan Herman Dogopio, anak buah almarhum Sarwo Eddhie, bahwa Sang Jendral (almarhum) tidak pernah bertindak kasar apalagi membunuh sekalipun yang mereka temui orang Papua yang membenci Indonesia.
Keadaannya sangat berbeda dengan situasi saat ini. Tak ada lagi pendekatan seperti yang dilakukan oleh Belanda maupun pasukan anak buah Sarwo Eddhie. Jenderal almarhum ini, merupakan mertua dari Presiden RI periode 2004-2014. Perubahan 180 derajat tersebut, kini semakin membuat rakyat Papua ingin cepat-cepat lepas dari NKRI.
Selama 50 tahun rakyat Papua menjadi bagian dari jutaan penduduk Indonesia, sudah tak terhitung nyawa anak Papua yang melayang akibat pembunuhan oleh eksekutor Indonesia yang nota bene merupakan bangsanya sendiri. Anak bangsa dibunuh oleh bangsa sendiri. "Hampir tak satu persoalan yang tidak diselesaikan dengan cara kekerasan, termasuk pembunuhan. Sehinga menjadi pertanyaan di kalangan kami, apa arti kemerdekaan dalam bingkai NKRI", keluh Herman Dogopia, anggota Kaukus Papua dalam perbincangan dengan INILAH.COM di Jakarta baru-baru ini. Perbincangan dipicu oleh adanya perkembangan politik terbaru yang kental dengan keinginan memisahkan Papua dari NKRI.
Herman, ataupun para anggota Kaukus, yakin sekalipun secara diplomatis Inggris menyatakan tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua, tetapi, menurut dia, Inggris bahkan negara manapun yang memahami perlakuan Indonesia atas rakyat Papua akan selalu berpihak kepada gerakan anti Indonesia.
Herman yang sehari-hari bekerja di Jakarta bahkan sudah menjadi anggota salah satu partai peserta Pemilu 2014 tanpa ragu menegaskan dengan agresifitas OPM, kemerdekaan Papua, terpisah dari NKRI tinggal soal waktu. Kemerdekaan itu sudah ditunggu sebab pada hakekatnya seluruh rakyat Papua saat ini sudah menjadi pendukung OPM.
"Saya berani bertaruh, sekalipun dia pejabat, mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah Jakarta, tetapi darah dan jantung mereka sudah berubah menjadi anggota atau pendukung OPM", katanya. Alasannya sangat sederhana. Pemerintah Indonesia yang mengendalikan Papua secara remote dari Jakarta, tidak pernah mau melakukan dialog sehingga tidak paham atas keadaan sebenarnya.
Ia selalu terkenang dengan almarhum Gus Dur. Presiden ke-4 RI itu, bersedia membuka dialog dengan pemimpin OPM, termasuk merubah nama daerah itu dari Irian Jaya menjadi Papua.
Pertanyaan yang membayangi masyarakat Papua, mengapa dengan GAM (di Aceh) pemerintah bersedia membuka dialog, tapi dengan OPM, tidak bersedia? Herman mengakui eskalasi atau peningkatan atas keinginan untuk merdeka sempat meredup. Tapi kemudian membara lagi setelah pemimpin OPM, Theys Eluay terbunuh. Pada 11 Nopember 2001 ia ditemukan tewas di dalam mobilnya yang berada di luar kota Jayapura. Keinginan menjadi merdeka, semakin membara terutama dipicu oleh pernyataan Presiden SBY tahun 2011.
Menurut Herman, sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Papua bahwa Presiden SBY tidak mau berdialog lagi dengan rakyat Papua. Entah apa alasannya tapi yang pasti SBY sendiri sudah menyatakan setuju Papua merdeka. Syaratnya: nanti setelah SBY tidak lagi menjadi Presiden RI. pemerintahannya.
"Kalian boleh merdeka, asalkan jangan di era pemerintahan saya", kata Herman mengutip pernyataan Presiden SBY ketika bertemu dengan para pemimpin agama dari Papua, 11 Desember 2011. Pernyataan yang tidak disampaikan kepada media itu kemudian secara berantai diceritakan oleh para pemimpin gereja Papua yang menemui SBY di Cikeas di ujung tahun 2011 tersebut.
Sebagai anggota Kaukus Papua, Herman menyatakan bahwa persoalan Papua dalam NKRI saat ini memang sengaja dibiarkan oleh rezim Yudhoyono. Ia masih bisa tersenyum sekalipun dengan muka kecut, sebab berbagai masalah yang dibiarkan oleh rezim saat ini, ternyata bukan hanya persoalan Papua melainkan banyak persoalan yang lainnya.
S. Eben Kirskey, seorang mahasiswa dari Universitas California, melalui artikelnya, yang berjudul “Don’t Use Your Data as a Pillow”, menceritakan pengalamannya ketika melakukan penelitian thesisnya di Papua. Dalam hal ini penulis akan mencoba membahas per peragraf mengenai apa yang penulis mengerti dari substansi yang ada dalam artikel Eben tersebut, dan penulis akan membahasnya dalam beberapa poin berikut :
    Pada tahun 1998, Eben Kirskey, datang pertama kali ke Papua barat untuk melakukan penelitian untuk gelar thesisnya. Kedatangan Eben ini disambut meriah oleh orang-orang papua, yang dibuktikan dengan perayaan pesta kecil yang diselengarakan oleh Denny Yomaki, pekerja KOMNAS HAM. Jamuan pesta ini digelar sebagai bentuk apresiasi terhadap penelitian akhir yang dilakukan oleh Eben pada Mei 2003.
      Pada awal kedatangannya, ia berniat untuk meneliti kekeringan yang ada disana (Papua), tetapi keadaannya tidak tepat karena pada saat itu hujan turun, sehingga ia beralih untuk meneliti mengenai papua, yakni ketika Irian jaya dirubah menjadi Papua. Ketika papua menginginkan terlaksananya kemerdekaan bukan reformasi. Perlu dicatat bahwa pada masa pemerintahan GUSDUR, beliau bersedia mengadakan diplomasi dan berdialog secara terbuka dengan OPM.  Gusdur memberikan kebebasan dan menampung segala aspirasi dan pendapat warga Papua yang dibuktikan dengan kembali bergantinya Irian Jaya menjadi Papua. Sedangkan pada rezim SBY, meskipun diplomasi dilakukan, tetapi aplikasinya tidak sama ketika di lapangan. Bahkan dikatakan bahwa SBY tidak lagi bersedia untuk berdialog dengan mereka (warga papua). Hal ini lah yang membuat Papua semakin ingin melepaskan diri dari NKRI karena seolah-olah mereka tidak dianggap oleh Indonesia .
          Kekerasan dan pembantaian yang dilakukan oleh militer pada rezim soeharto membuat Eben bertanya-tanya, Mengapa papua harus berada di bawah Negara reformasi Indonesia? mengapa tidak merdeka sendiri saja?. Meskipun papua sudah diberikan kebijakan, yakni otonomi daerah sendiri oleh pemerintah Indonesia, tapi pada hakikatnya papua menjadi boneka bagi Indonesia, karena ia berada di bawah genggaman Indonesia. Padahal secara keras papua membenci Indonesia akibat ulah dari militer Indonesia tersebut yang telah melakukan pembantaian terhadap mereka. Jadi wajar saja jika warga Papua menginginkan kebebasan dan lepas dari Indionesia.
          Eben mencatat mengenai adat papua, dan ternyata didalamnya terdapat keterkaitan dengan Amerika. Pada hakikatnya keterkaitan dengan amerika ini disinyalir kuat karena Amerika melihat Freeport yang merupakan kekayaan alam, dan merupakan asset terbesar yang dimiliki oleh papua. Setelah papua berganti nama menjadi irian jaya, yakni pasca lengsernya soeharto, Indonesia membiarkan Freeport dikontrak dan dikelola oleh Amerika hingga sekarang.
Selanjutnya, alasan Amerika mendukung Indonesia untuk tidak melepas papua supaya Freeport tidak lepas dari genggaman amerika yang merupakan asset kekayaan yang sangat menguntungkan bagi mereka, karena jika Indonesia melepas Papua, Freeport kemungkinan akan lepas dari Amerika.
          Eben, yang notabene orang yang berkulit putih, melakukan penelitian mengenai kasus kampanye terror dan kekerasan yang dilakukan oleh keamanan Indonesia. Karena hal ini, ia berfikir untuk bisa membantu terwujudnya kemerdekaan bagi Papua.
          Pertemuan pertama kali antara Eben dengan Waropen, anggota KOMNAS HAM yang diperkenalkan oleh rekannya, Denny. Mereka berdua (Denny dan Waropen) adalah anggota KOMNAS HAM.
          Waropen adalah seseorang yang berasal dari Wasior, yakni tempat dimana polisi Indonesia melakukan serangan terhadap golongan separatis papua yang dikenal dengan OPP (Operasi Penyisiran dan Penumpasan). Di sana Eben ditemani Denny ingin melakukan penelitian terkait rumor yang menyebutkan bahwa agen-agen militer Indonesia diam-diam mendukung milisi papua.
          Penelitian di Wasior berlangsung dalam pngawasan intens oleh polisi Indonesia. Sehinngga Eben mengadakan penelitiannya di waktu malam yang gelap. Hal itu dilakukan agar para polisi Indonesia tidak mengetahuinya.
          Eben tertarik untuk mewawancarai dukun terkenal di dareah pegunungan. Dukun dianggap bertanggung jawab terhadap gempa bumi yang terjadi di Jawa. Akan tetapi karena mereka berdua (Wasior dan Eben) sedang dalam pengawasan, sehingga wawancara tidak jadi dilakukan.
          Waropen dianggap sebagai sumber yang sangat penting bagi Eben. Kehadiran waropen ini dianggap dapat membantu memenuhi kekurangan (gaps) dalam penelitian Eben.
          Eben meminta Waropen untuk dijadikan sebagai narasumber yang anonim, tetapi Waropen mundur. Waropen disini justru mempertanyakan mengenai penlitian si Eben yang sebagian besar merahasiakan sumber.
          Eben merasa harus mempertimbangkan kembali mengenai saran-saran informal dari rekan dan mentornya tentang narasumber yang anonim. Dalam hal ini, Eben dituntut untuk professional dalam melakukan tindakan, Karena sumber anonim dipandang sebagai kecurigaan dan dianggap misteri oleh pembaca surat kabar. Artinya Eben harus pandai kapan ia menempatkan sumber anonim dan kapan pula ia harus menulis atau menampilkanya di depan umum (Publik).
          Eben menyatakan bahwa waswasan mengenai rumor hanya akan menimbulkan rasa takut, sehingga rasa takut tersebut menjadi terror. Eben ingin agar angota pasukan keamanan dibawa dan diusut tuntas di ruang pengadilan Indonesia, karena telah melakukan tindakan ketidakadilan bahkan pembantaian terhadap warga papua.
          Dalam perbincangannya dengan waropen yang semakin memanas, Eben tetap mempertahankan argumennya mengenai penggunaan sumber yang anonim tersebut dengan alasan bahwa pasti ada kasus dimana HAM harus melaporkan identitas korban sehingga saksi harus dilindungi. Kemudian Waropen menyangkalnya dengan menyatakan bahwa apa yang eben deklarasikan melaului penelitiannya tersebut seolah-olah hanya berdasarkan data optional. Artinya ia hanya menggunakan data ketika ia butuhkan saja, sedangkan ketika tidak dibutuhkan data tersebut dilupakan. Padahal data merupakan asset sakral, karena ia merupakan hasil dari penelitian ilmiah. Berdarkan kasus ini, sehingga Waropen meminta Eben untuk mengkonsep ulang kembali apa yang dihitung sebagai data penelitian.

KESIMPULAN
Polemik kekerasan yang terjadi di Papua ini pada hakikatnya bersumber dari ketidakpuasaan warga papua terhadap pemerintah Indonesia. Mereka tidak diperlakukan dengan adil oleh pemerintah. Ketika GAM diizinkan untuk berdialog atau diplomasi dengan pemerintah, maka OPM sama sekali tidak diijinkan. Praktek diskriminasi inilah yang menjadikan warga Papua semakin ingin pisah dari Indonesia Yang mereka inginkan itu bukan reformasi melainkan Kemerdekaan.




References


 SBY Setuju Papua Merdeka Pasca Pilpres 2014?. (http://web.inilah.com/read/detail/1991004/sby-setuju-papua-merdeka-pasca-pilpres-2014#.U0CEBqKCrIU) Diunduh pada 6 April 2014


0 comments:

Post a Comment