Saturday, April 5, 2014




Ini adalah kali pertama mengikuti kelas writing bukan dikelas sendiri. Suasana yang asing dan kaku menyertaiku sepanjang kelas berlangsung. Tetapi biarlah ini menjadi pengelaman sekaligus pembelajaran dalam melihat kelas lain lewat proses pembelajaran ini. Masih tentang penulis dan sejarah. Satu hal baru dipersembahkan pak Lala yaitu datang dari milan kundera komen dalam L’Art duroman, 1986 bahwa “ to write means for the post to crush the wall behind which somthing that “was always there” hides.” Menulis itu seperti memecahkan tembok yang didalamnya ada suatu hal yang tersembunyi. Dan penulis mencoba untuk menemukan apa-apa sesuatu yang tersembunyi tersebut. Ya, seorang penulis memang harus membuka pintu yang tertutup dan menghilangkan temok penghalang terhadap suatu hal yang tertutup atau ditutup-tutupi.
Kali ini adalah kali terakhir kami mereview tugas critical review kami, dan ini adalah hal yang krusial yang kami lakukan. Disana kami melakukan peer review bagaiman menulis harus dalam unity dan coherance. Kedua hal ini adalah memang hal yang wajib ada dalam tulisan kami karena kedua hal inilah barometer tulisan kami. Barometer terhadap apa yang kami tulis adalah sebuah proses ide yang berkesinambungan.
Menulis tentang sejarah, mengungkapnya, menemukannya memang bukan suatu hal yang mudah. Banyak dari kami tersesat. Akan tetapi kata milan kudera, puisi tidak berbeda dengan sejarah. Keduanya adalah mengutamakan pencarian/ penemuan dibanding menciptakan. Sejarah seperti puisi, mengungkapkan, dalam situasi yang selalu baru. Kemungkinan-kemungkinan tentang manusia yang selalu baru, dan tersembunyi.
Untuk menelan pernyataan milan kudera ini memang tidak mudah. Bagaimana mungkin menulis sejarah dengan menulis sebuah puisi. Persamaan dari keduanya adalah ketika sejarah mengungkapkan sebuah fakta, sebuah kebenaran, dan sebuah realita yang bisa masyarakat percaya itu juga merupakan sebuah misi dari puisi. Membuat puisi itu berarti bahwa seorang penyair harus jujr dan berani ke permukaan.
Artinya, untuk naik ke misi ini, penyair harus menolak kebenaran yang diketahui sebelumnya. Kebenaran sudah jelas “karena mengambang dipermukaan “. Karena sejarah adalah proses tanpa akhir penciptaan manusia, itu bukan karena alasan yang sama (dan dengan cara yang sama) proses tak berujung dari penemuan jati diri manusia. Ahli sejarah terkadang-terkadang memperdebatkan sifat sejarah dan kegunaannya dengan membahas studi tentang ilmu sejarah dan sebagai cara untuk memberikan pandangan pada permasalahan masa kini.
Sejarah menitik beratkan pada pencatatan yang berarti dan penting bagi manusia. Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia dimasa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti. Ihwal ini juga hampir sama dengan puisi. Dimana puisi akan menceritkan suatu peristiwa dan pengalaman-pengalaman dengan cara yang nyentrik dan kental dengan seni. Teks sejarah dan puisi sebenarnya adalah karya seni, karena keduanya disusun secara apik.
Persamaan lainnya yaitu dalam memilih memilih suatu informasi, keduanya memperhatikan bagaimana cara penulisannya seperti melihat batasan-batasan temporal dan spasial tema itu sendiri. Jika hal itu tidak dijelaskan, maka sejarahwan mungkin akan terjebak ke dalam falsafah ilmu lain, dan ini terjadi pula dalam kegiatan yang dilakukan oleh seorang penyair. Dimana ia harus memperhatikan kata-kata yang dipilihnya untuk menarik minat pembaca dan pendengar.
Banyak orang yang mengkritik ilmu sejarah. Para pengkritik tersebut melihat sejarah sebagai sesuatu yang tidak ilmiah karena tidak memenuhi faktor-faktor keilmuan. Terutama faktor “dapat dilihat dan dicoba kembai”, artinya sejarah hanya dipandang sebagai pengetahuan belaka, bukan sebagai ilmu. Sebenarnya,  pendapat ini kurang bisa diterima akal sehat karena sejarah mustahil dapat diulang walau bagaimanapun caranya karena sejarah dapat hanya terjadi sekali untuk selama-lamanya. Walau mendapat tantangan sedemikian itu, ilmu sejarah terus berkembang dan menunjukan keeksisannya dalam tataran ilmu.
Kini, sumber-sumber apa saja yang dapat digunakan untuk mengetahui tentang sesuatu yang terjadi pada masa lampau (misalnya, sejarah, pencitraan, linguistik, dan lain-lain) diterima sebagai sumber yang sah oleh kebanyakan ahli sejarah.
Ketika puisi terikat dengan aturan sajak, baris, bait, dan sebagainya. Ketika puisi memiliki makna, gaya bahasa/majas, dan puisi memiliki banyak makna tergantung orang memaknainya, sebenarnya sejarahpun bekerja sepeti itu. Ketika sejarah menceritakan atau mengisahkan sejarah tertentu, puisi pun bekerja demikian.
Namun, suatu hal yang sangat penting dalam pertemuan kali ini ketika kita menulis, banyak yang absen menuliskan generic structure secara gamblang. Padahal generic structure seperti pagar yang akan merapihkan sekaligus mengamankan tulisan kita, agar tidak ada out of the box, terorganisir, dan rapih. Juga, mutual dialog yang tidak terjadi dikelas kita adalah sebuah peringatan bahwa kita harus mampu belajar dengan lebih baik lagi dari sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa, memproduksi sebuah teks yang syarat akan sejarah ternyata mempunyai sisi kesamaan seperti penulis puisi. Oleh karena itu, sudah seyogianya penulis sadar akan apa yang ia tulis, sadar bahwa tulisannya akan dibaca orang lain, sehingga sudah seharusnya penulis memberikan tulisan yang menarik untuk dibaca dan memberikan makna ketika sudah membaca.

0 comments:

Post a Comment