Sunday, April 6, 2014



Exhausted, itulah satu kata yang menggambarkan perasaan saya terhadap writing. Writing memang sangat melelahkan,, tak hanya lelah fisik namun juga lelah otak karena pertemuan demi pertemuan tugas writing semakin rumit, terlebih dalam writing 4 ini kita harus lebih banyak menambah porsi reading (membaca) karena sesungguhnya kegiatan utama dalam menulis yaitu  membaca dan memahami  informasi sebanyak-banyaknya secara detail dan seksama agar dapat memunculkan ide-ide untuk dituangkan dalam tulisan. Menurut sebagian besar mahasiswa writing memang hal yang sulit, kita pun harus melawati proses/perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan dalam menulis. Tentunya Coach kita Mr. Lala telah menanti karya-karya kita yang brilian karena beliau sedang mencari mutiara (mahasiswa yang berbakat/ berkualitas tinggi) dalam menulis. Dalam mencari mutiara memang tidak mudah karena harus bersusah payah ke dasar laut dan pengolahannya pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, untuk menjadi penulis yang handal dan berbakat ibarat mutiara kita harus lebih intens dan detail dalam membaca karena orang-orang yang besar adalah orang-orang yang membacanya intens dan karya yang berkualitas adalah karya yang diproduksi secara constant.
Untuk menjadi penulis yang berkualitas tinggi kita juga harus menghindari kebodohan-kebodohan kecil karena hal itu akan merugikan kita sebagai penulis, menurut Mr. Lala (one small ignorance can kill you). Selain itu penguasaan terhadap L1 dan L2 pun sangat dibutuhkan karena L1 dan L2 ibarat garis kehidupan yang bersifat continuing, jika kita ingin pintar berbahasa Inggris kita harus berfikir dalam bahasa Inggris pula (think in English). Penulis juga harus memiliki perseverance (ketekunan/ memiliki “daya banting”) karena orang-orang yang memiliki mental tahan banting adalah orang-orang yang hebat. Selain beberapa hal yang telah di jelaskan di atas ada satu hal yang lebih penting dari segalanya yaitu doa. Doa adalah hal yang sakral, dalam setiap aktivitas maupun tugas yang dikerjakan membutuhkan doa karena dengan doa kita mengharapkan diberi kemudahan oleh Sang Pencipta dalam setiap mengerjakan tugas dan bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Dalam pertemuan kemarin Mr. Lala mengangkat tema Reading-time dimana kita membentuk beberapa kelompok dan dalam satu kelompok terdapat lima anggota. Di sini kita diberi waktu 20 menit untuk berdiskusi mengenai teks yang berjudul “ Don’t Use Your Data as a Pillow” karya S. Eben Kirsey. Kemudian setelah berdiskusi, perwakilan dari beberapa kelompok itu mempresentasikan hasil diskusi mereka masing-masing mengenai makna dari judul teks tersebut. Presentasi dari tiap kelompok berbeda-beda ada yang mengartikan data sebagai ilmu, fakta, evidence (bukti), source, dan ada juga yang mengartikan data sebagai informasi. Sedangkan pillow dianalogikan sebagai benda static, kejadian, sandaran, dan suatu hal yang bersifat optional. Menurut Lehtonen data adalah informasi yang selalu tersaji dalam bentuk teks (real) dan teks tersebut bisa disajikan dalam bentuk verbal, written, audio maupun visual.
Sebelum beranjak ke pembahasan bab 1 sampai 26 pada teks yang berjudul “Don’t Use Your Data as a Pillow” saya akan membahas mengenai Trivia Quiz yang terdapat dalam power point yang berkaitan dengan Papua Papua Barat (Irian Jaya). Di mata kartografer, New Guinea berbentuk seperti kasuari, sebuah burung besar endemik pulau yang tidak bisa terbang. Ujung ekor kasuari adalah negara independen Papua New Guinea (PNG). Sebuah garis lurus sepanjang 141 º Bujur Timur memisahkan PNG dari Papua Barat, setengah dari pulau di bawah kekuasaan Indonesia. Kepala burung adalah Papua Barat. Biak adalah pulau kecil di utara Teluk di atas leher burung. (Eben Kirksey,Freedom in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power, P.5). Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Irian sendiri merupakan kependekan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland (join/follow the Republic of Indonesia, rejecting the Netherlands). (http://kebindo.blogspot.com/2013/02/sejarah-pulau-irian-jaya-atau-papua.html#.U0Di-XZm3Mw/)
Pada saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI nama Irian Jaya diganti menjadi Papua. Penggantian ini bukan tanpa perdebatan. Sebab, saat itu Gus Dur tidak berkonsultasi kepada DPR dan tidak sesuai dengan konstitusi. Tanggal 31 Desember1999 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Irian saat itulah beliau merubah nama Irian menjadi Papua. Kala itu gejolak di tanah Papua sedang membara dan entah dari mana dan siapa yang menyebutkan akronim IRIAN ( Ikut Republik Indonesia Anti Nederland). Padahal menurut tetua adat sendiri, nama Irian diambil dari bahasa salah satu suku di Irian. Frans Kaisiepo yang mengusulkan nama Irian yang berarti “sinar yang menghalau kabut”. Sungguh indah arti Irian, namun sayangnya sekarang berubah menjadi Papua.Nama Papua berarti “daerah hitam tempat perbudakan.”(http://www.anneahira.com/irian-jaya.htm)
 Papua dijajah oleh bangsa barat seperti Portugis, Inggris dan Belanda pada tahun tahun 1515. Ketika Kemerdekaan RI 1945 Papua masih berjuang selama kurun waktu yang cukup lama  sekitar 1945-1957. Saat itu Indonesia masih terjadi sengketa,  para pemuda Indonesia melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini, saat itu juga Papua masih berjuang sendiri untuk kemerdekaannya sendiri. Tahun 1915 Portugis memberi nama Papua yaitu Isla del Oro yang artinya Pulau Emas (Gold Island).
Irian Barat merupakan bagian dari koloni Belanda sejak 1828. Ketika Belanda diakui Kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, status Irian Jaya masih harus diselesaikan. Itu Perjanjian Transfer Kedaulatan, yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda pada Den Haag pada bulan November 1949, menyatakan antara lain: "Status quo Karesidenan Nugini harus dipelihara dengan ketentuan bahwa dalam waktu satu tahun sejak tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pertanyaan tentang status politik New Guinea akan ditentukan melalui negosiasi. "
Melihat bahwa tidak ada tanda-tanda dari setiap solusi untuk masalah Irian, Indonesia mengajukan masalah ini ke PBB pada tahun 1954. Posisi Indonesia adalah disahkan oleh Konferensi Asia Afrika pada April 1955 yang mengeluarkan resolusi mendukung Indonesia dan kemudian meminta PBB untuk membantu dua bertentangan pihak dalam mencapai solusi damai. Namun demikian, sampai sampai 1961 tidak ada indikasi dari setiap solusi damai meskipun masalah ini telah dibahas pada pleno pertemuan Majelis Umum PBB dan pada Komite One. Sementara itu, hubungan diplomatik antara kedua negara diputus dalam 1961. Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru, Tri Komando Rakyat (Trikora), dan konfrontasi antara kedua partai tidak terhindarkan. Isi Trikora tersebut adalah (a) Menggagalkan pembetukan ”Negara Papua” buatan kolonial Belanda; (b) Mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan (c) Persiapan mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.(http://suarakolaitaga.blogspot.com/2013/03/sejarah-kembalinya-irian-jaya-papua.html)
Sejarah masuknya/ kembalinya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar adanya sehingga tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi. Hal tersebut diungkapkan Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee di Jayapura, menanggapi sejumlah kalangan yang masih mempersoalkan sejarah masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 silam. Ramses menegaskan, ada pihak-pihak yang sengaja membelokkan sejarah Papua untuk memelihara konflik di Tanah Papua.“Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan sejumlah warga tertentu yang kebanyakan generasi muda,” ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
“Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu,” ujar Ramses.
Adapun mengenai pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan masih menyangkal kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, Ramses tidak menyalahkan mereka karena minimnya pemahaman atas hal tersebut. Menurutnya, hal yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan negara merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Papua.
Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB. Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan “New York Agreement” untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu. Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.
Beralih ke pembahasan artikel karya S. Eben Kirsey yang berjudul “ Don’t Use Your Data as a Pillow). Di sini saya akan menjelaskan isi dari artikel tersebut dari paragraph 1-26.
Paragraf pertama, dalam artikelnya Eben menuliskan tentang pengalamannya yang mendapatkan pesta kecil (tradisional) yang diselenggarakan oleh masyarakat Papua salah satunya yaitu Denny Yomaki pekerja HAM, pesta tersebut diselenggarakan sebagai tanda berakhirnya penelitian yang dilakukan Eben di Tanah Papua.
Paragraf kedua, menjelaskan tentang pertama kalinya Eben datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian terhadap kekeringan El-Nino, namun ketika dia datang di Papua turun hujan sehingga antusiasme untuk membahas kekeringan berkurang. Saat itu, di Indonesia presiden Soeharto baru saja digulingkan oleh gerakan reformasi yang ingin memisahkan diri dari NKRI salah satunya yaitu Papua.  Eben pun merasa heran dengan kejadian tersebut, mengapa masyarakat Papua ingin membentuk pemerintahan baru dan terlepas dari NKRI?
Paragraph ketiga, Eben menyaksikan terjadinya pembantaian militer (genosida) terhadap puluhan mahasiswa yang berdemonstrasi, mereka ditembak kepalanya kemudian dibuang ke laut. Dari situ lah Eben mulai mengerti mengapa banyak orang Papua ingin mengambil jalan kemerdekaan , bukan reformasi.
Paragraf keempat, tentang peranan pemerintah AS yang memberikan dukungan terhadap penempatan militer, dan keinginan untuk merdeka.
Paragraf kelima, Eben menjelaskan bahwa saat dia meneliti masyarakat papua, dia pernah dianggap sebagai sekutu. Lalu dia sempat ditarik kedalam gerakan separatis dan mereka menjelaskan kepada Eben soal teror yang dilakukan mititer Indonesia terhadap mereka. . Saat itu, Eben berfikir bahwa dengan mempelajari dimensi budaya kekerasan, dia bisa membantu orang Papua mencapai kebebasan dari teror dalam rezim saat pendudukan Indonesia .
Paragraf keenam, Eben bertemu dan mengobrol dengan Telys Waropen seorang anggota Komnas HAM yang juga seorang penghasut muda.
Paragraf ketujuh, Waropen berasal dari Wasior, tempat dimana polisi Indonesia saat itu melakukan serangan pada para separator melalui operasi penyisiran dan penumpasan.  Eben dengan Denny mengunjungi Wasior untuk menyelidiki rumor bahwa agen-agen militer Indonesia diam-diam mendukung milisi Papua.
Paragraf kedelapan, Penelitian yang dilakukan Eben dan Denny dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena penelitian tersebut berlangsung di bawah pengawasan intens militer Indonesia. Kirsey dan Denny mewawancarai beberapa masyarakat Papua yang berani untuk menceritakan kisah yang dialami oleh mereka.
Paragraf kesembilan, Eben menjelaskan bahwa dia sempat berencana akan mewawancarai seorang dukun terkenal di pegunungan di dekat wasior yang mengklaim telah bertanggung jawab atas gempa yang tejadi di pulau jawa. Namun sayangnya hal tersebut tidak terpenuhi karena mereka berada di bawah pengawasan.
Paragraf kesepuluh, Eben mulai melihat Waropen sebagai sumber penting yang dapat membantu memenuhi beberapa kesenjangan dalam penelitiannya .
Paragraf kesebelas, saat Eben memulai mewawancarai waropen. Prosedur yang dilakukannya sama seperti saat dia mewawancarai 350 narasumber yang pernah ia tanyai mulai dari politisi, korban kekerasan hingga para aktivis. Dia akan membuat mereka tetap anonim untuk menjaga mereka dari resiko. Namun waropen dengan tegas menolak prosedur tersebut. Dia mempertanyakan apakah identitas narasumber itu tidak penting? Padahal sebuah penelitian akan lebih kuat bila mengutip sumber-sumber yang kredibel. 
Paragraph keduabelas, Eben sadar bahwa dengan membuat mereka tetap anonim memang membuat mereka aman dari resiko, tetapi dengan menjaga sumber-sumber anonim berarti Eben menghapus identitas mereka sama sekali. Sedangkan Waropen menginginkan kutipan – kutipan mereka diakui sebagai intelektual publik.
Paragraf ketigabelas, Sumber anonim dipandang dengan rasa kecurigaan dan misteri oleh pembaca surat kabar dan majalah .
Paragraf keempatbelas, Eben menuliskan tentang waropen yang yang menginginkan keadilan, dan ekpektasi dia tentang tanah leluhurnya di masa depan. Waropen menganggap bahwa Eben merupakan salah satu seorang yang potensial yang dapat membantu menyelesaikan masalah ini dengan banyaknya data yang telah ia peroleh.
Paragraf kelimabelas, di sana terdapat hak asasi manusia karenanya mengapa saksi harus dilindungi. Itu sebabnya, jangan hanya menggunakan data sebagai bantal, sebagai pendukung untuk profesi sendiri. Tapi gunakanlah untuk yang sebenanya harus diluruskan.
Paragraf keenambelas, Waropen memprovokasi Eben untuk menjadi seorang ahli regional yang handal - seseorang yang akan mengetahui hal-hal dengan pasti dan seseorang yang akan mengambil pertanyaan akuntabilitas serius.
Paragraf ketujuhbelas, Waropen meminta Eben untuk memikirkan kembali apa itu " data" dalam antropologi budaya.
Paragraf kedelapanbelas, Waropen memberi penyadaran kepada Eben, bahwa ia harus melakukan aksi nyata. Tidak hanya lewat sekedar menulis kata-kata.
Paragraf kesembilanbelas, Eben dan Denny Yomaki meneliti rumor yang menghubungkan kekerasan BP yang dulunya “British Petroleum” dan berubah menjadi “Beyond Petroleum”. Kabarnya , agen militer Indonesia memprovokasi kekerasan dalam upaya konvensional untuk menguntungkan " perlindungan " kontrak .
Paragraf keduapuluh, Eben mengungkapan rumor kekerasan yang terjadi di proyek BP oleh para pejuang kemerdekaan (Papua double agen).
Paragraf keduapuluh satu, Eben menulis bahwa ia pernah diminta oleh seorang pembela HAM asal papua lainnya yakni John Rumbiak pada akhir mei 2003 untuk menghadiri pertemuan di markas besar BP di London dengan Dr Byron Grote, CFO dari perusahaan minyak raksasa tersebut. 
Paragraf keduapuluh dua, Perjalanan Eben menuju kantor BP.
Paragraf keduapuluh tiga, Berhadapan dengan orang yang berkuasa di Eropa membuat Eben terpacu adrenalinnya. Byron Grote dan O’ Reilly adalah orang penting BP, dimana sebelumnya bekerja di BP Colombia perusahaan yang terlibat kontroversi paramiliter yang membunuh aktivis lingkungan.
Paragraf keduapuluh empat, disana (BP) Eben menemukan fakta baru soal keterlibatan polisi Indonesia atas kekerasan yang terjadi di sekitar perusahaan tersebut di Papua. Pasukan keamanan negara Indonesia membuat sekitar 80 persen dari pendapatan mereka dari konrak adalah untuk melindungi perusahaan. Dan agen rahasia militer di Indonesia memprovokasi kekerasan sampai perusahaan mengalah dan memberi mereka kontrak keamanan.
Paragraf keduapuluh lima, Dr. Grote tetap yakin bahwa kebijakan keamanan berbasis masyarakat akan tetap bekerja, jika tidak maka akan ada perusahan ladang gas lain yang akan masuk ke Papua. Eben pun bertanya-tanya pada diri sendiri apakah mungkin perusahaan ini bisa menjadi kekuatan untuk membantu mengesampingkan militer Indonesia di Papua Barat.
Paragraf keduapuluh Enam, Rumbiak meminta Eben untuk hadir dan mememuinya di  Wasior. Eben menceritakan kepada Rumbiak mengenai wawancaranya dengan anggota milisi Papua yang takut untuk hidupnya: "Dia mengaku telah membunuh sekelompok polisi Indonesia dengan bantuan agen militer Indonesia.”
Setelah membaca artikel diatas, saya merasa terkejut dan prihatin atas tragedi yang terjadi di Papua . Disana terdapat banyak kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat papua yang berdemonstrasi atau protes mengenai konflik di sana.  Alur artikel karya Eben tersebut maju-mundur, sehingga membuat saya sebagai pembaca sedikit sulit  dan bingung dalam memahami teks tersebut secara keseluruhan.
KESIMPULAN
Konflik yang terjadi di Papua pada intinya bersumber dari ketidakpuasaan rakyat papua terhadap Pemerintah pusat. Selama ini, eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua terus berlangsung tetapi masyarakat Papua masih saja terabaikan bahkan terlupakan. Akibatnya masyarakat Papua kehidupannya tetap terbelakang dan sangat jauh tertinggal dari kota-kota lain yang lebih diperhatikan Pemerintah. Bahkan penduduk dan orang Papua yang berdiam di tanah air pun tercatat sebagai manusia termiskin di Indonesia. Padahal Papua terkenal sebagai pulau terkaya di Indonesia bahkan di seantero jagad, tetapi penduduknya masih saja hidup miskin. Sebagai bangsa Indonesia, kami berharap agar konflik ini bisa menemukan titik terang dan Papua tetap berada dalam NKRI.



Referensi
http://www.anneahira.com/irian-jaya.htm di unduh pada 6 April 2014


0 comments:

Post a Comment