Friday, April 11, 2014

12:26 PM


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejarah haruslah terungkap sejelas-jelasnya. Penulisan sejarah haruslah objektif serta tidak memihak. Itulah essensi sejarah, ia ditulis sesuai dengan realitanya. Peran sejarahwan dengan kartografer itu berbeda. Kartografer ( Pembuat peta ) hanya mengungkap sisi realist dengan mendesainnya secara sederhana. Ia biasanya hanya menampilkan hal yang diperlukan dan melewatkan atau membuang hal yang tak penting untuk dilihat. Ketika bias kartografer secara tekhnis, maka para sejarahwan biasanya tiada lain adalah bias ideologis.
Menulis merupakan upaya semogenesis, yakni upaya untuk menciptakan suatu makna yang baru. Jika dikaitkan dengan sejarah, menulis harus mengungkap fakta-fakta sejarah yang disamarkan. Artinya bagaimana kita mampu memahami tulisan engan perspektif atau cara pandang baru.
Hal ini tidak beda jauh dengan seorang puitis, atau sastrawan. Seperti yang dituturkan oleh Milan kundera “ Historian => Poet => Linguist, yakni sjearahwan itu memiliki peran sama seperti ahli sastra dan ahli linguistik. Ia dituntut untuk mampu menghancurkan dinding dan mengungkap sesuatu yang tersembunyi yang ada dibalik dinding tersebut. Dengan kata lain, Seorang sastrawan tugasnya berbeda dengan kerja seorang sejarahwan, ia dituntut untuk menemukan ( Discobering )
Sejarah itu seperti penyair (Puisi), yakni mampu mengungkap pada setiap situasi yang baru., kemungkinan-kemungkinan manusia yang tersembuyi, sehingga sejarahwan dapat menciptakan suatu perspektif baru berdasarkan pengalamannya. Implikasinya bahwa setiap sejarah itu akan selalu ditulis ulang dari waktu ke waktu dengan style atau gaya penulisan den pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam pengaplikasiannya, eksistensi sastrawan lebih diperhitungkan karena ia lebih jujur dari pada sejarahwan. Ia menulis berdasarkan basic perasaan atau pengalaman yang murni. Hal ini mengimplikasikan bahwa hakikatnya ia sedang berkomunikasi atau berinteraksi deng lingkungan sekitarnya. Sementara sejarahwan, ia akan terjadi dua kemungkinan, bias jadi objektif dan bias juga subjektif. Subjektif ini bias saja terjadi jika ia hanya menginterpretasikan sejarahwan sebagai media untuk merepresentasikan kepentingannya.
History like a Poet, artinya mereka sama-sama berperan untuk mampu menggali sesuatu yang tersembunyi. Letak kesamaan lainnya, mereka menggunkana karya mereka untuk mengungkap kebenaran. Dalam prosesnya, mereka melakukan penelitian untuk menemukan bukti yang ajan memperkuat ideology mereka (Sejarahwan). Seangkan satrawan ketika membuat suatu karya sastra, ia hakikatnya sedang meneroka lingkungan di setiap situasi yang sedang terjadi. Sastrawan seakan sama dengan apa yang dilakukan oleh sejarahwan. Mereka sama-sama melakukan yang pada hakikatnya bertujuan untuk membuka ruang kesadaran terhadap masyarakat secara utuh. Kita tidak dianjurkan langsung percaya terhadap kesakralan sejarah yang sudah lama terpublikasikan, pun tidak langsung tunduk terhadap dongeng sakral pemerintahan. Artinya, melalui tangan mereka, masyarakat diharapkan akan sadar terhadap suatu kebenaran pemerintah, tidak dibodohi dan diperbudak oleh system otokrasi kepemerintahan, eperti praktek yang sudah pernah terjadi pada rezim Suharto.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang pernah dipraktekkan oleh WS Rendra (sastrawan ulung), ia membawa karyanya ke panggung teater. Dalam sastranya tersebut, ia mengambarkan suatu ideology mengenai kebenaran yang ditutup-tutupi datu disamarkan. Jadi dalam hal ini, masyarakat awam yang tidak mengerti akan puisi, dengan melihat teater si satrawan ulung ini, mereka akan lebih paham mengenai gamaran pemerintahan. Sehingga wajar saja jika mayoritas pemerintahtakut akan eksistensi mereka, melebihi takutnya mereka terhadap tuhan, dan sebagai buktinya mereka tidak takut melakukan korupsi dan pembohongan yang lainnya, padahal katanya mereka patuh dan takut terhadap tuhan.
Karya-karya WS Rendra yang banyak berbau protes dan kontroversial ini, membuatnya sempat ditahan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu (rezim soeharto), demikian juga dengan pementasannya. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan mastodon, dan Burung Kondor, yang dilarang dipentaskan di taman Ismail Marzuki.
Contoh di atas mengimplikasikan bahwa memang beanr pemerintah itu sangat takut dengan kehadiran sastrawan. Mereka takut keapada orang-orang yang dapat meneroka keburukanmereka yang selama ini ditutup-tutupi dengan kedok kebaikan. Itulah eksistensi sastrawan.
Peran sejarahwan pun seperti itu, seperti apa yang dilakukan howard zinn. Ia dengan berani mengangkap secara jujur sisi gelap ihwal sejarah Christoper Columbus. Hal tersebut dilakukan untuk membuka ruang kesadaran bagi generasi-generasi berikutnya bahwa apa yang telah ditulis oleh sejarah jauh hari itu ternyata tidak sesuai dengan realita. Tidak semua semua sejarah mengimplikasikan penulisan yang objektif, bahkan mayoritas bersifat subjektif, artinya bahwa sejarahwan hanya ingin memenuhi kepentingan ideologis saja, fakta sejarah banyak ditutup-ditutupi oleh orang yang mempunyai kepentingan.
Rounded Rectangle: Kau suruh aku berfikir, Aku berfikir kau tuduh aku kafir
Kaubilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau suruh aku maju, aku maju kau serimpung kakiku.
Aku kau suruh berdisiplin, kau malah mencontohkan yang lain
Saya teringat akan kiai kharismatik sekaligus sastrawan islami abad sekarang. KH Musthofa Bishri. Dalam salah satu puisinyayang berjudul “Kau Ini Bagaimana Ataukah Aku Harus Bagaimana”. Konten dari puisi tersebut jelasnya menyindir system pemerintahan pada rezim soeharto. Dalam satu statemennya mengungkapkan







Maksud dari bait-bait di atas secara garis besar adalah mengenai inkonsistensi pemerintah yang maunya ingin berkuasa dan menang sendiri.

0 comments:

Post a Comment