Sunday, April 6, 2014



The 8th Class Review

What happened with Papua?



Freedom, selama satu minggu lalu saya nikmati keindahan setiap malamnya, keindahan setiap detik dimana saya beristirahat sejenak untuk memulihkan badan yang terasa beku dengan kegiatan dan kepadatan tugas-tugas kuliah. Dan kali ini, saatnya untuk bangkit dari sedikit ketenangan, yaitu war is beginning. Terkait dengan tugas kali ini, argumentative essay yang bertemakan “Don’t Use Your Data as a Pillow” yang merupakan sebuah artikel dari S. Eben Kirksey dalam buku ‘Anthropology off the shelf.”
Mendengar kata “Papua” dalam artikelnya Eben Kirksey, membuat saya bertanya-tanya dalam benak saya.  Kenapa beliau harus datang ke Papua? Sebenarnya ada apa di balik tirai indahnya Papua? Papua Barat merupakan wilayah bagian barat dari Pulau Papua yang terbagi ke dalam 2 provinsi Indonesia, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Wilayah ini juga sering hanya disebut sebagai Papua Barat (West Papua) oleh berbagai media internasional. Dahulu, saya mengenal Papua dan Irian Jaya itu sama, namun fakta dari keduanya adalah berbeda.
Dahulu, Provinsi Papua mencakup semua wilayah Papua bagian barat. Pada zaman colonial Hindia-Belanda, wilayah tersebut dikenal dengan Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea. Setelah wilayah tersebut bergabung dengan Negara Keastuan Republik Indonesia (NKRI), maka nama Papua resmi diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat).
Terkait dengan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) yang merupakan konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Pada saat itu, Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Dalam hal ini, Belanda ingin  untuk menguasai dan melakukan pemekaran di Nederlands Nieuw Guinea (Papua) dari 1898 hingga 1962. Berbagai upaya pemekaran di NNG dilakukan Belanda dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, keamanan, ekonomi dan sumber daya manusia secara menyeluruh.
Terkait dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah organisasi yang didirikan tahun 1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilyaNew People's Army” beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat provinsi dapat dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara. Sejak berdirinya OPM tersebut, yang berusaha mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora dan simbol persatuan Papua lainnya, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut diadopsi sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian New York.
Kembali ke topic class review, yang masih dalam diskusi membaca di kelas tentang judul artikel nya Eben Kirksey “Don’t Use Your Data as a Pillow”. Dalam hal tersebut, banyak perbedaan pendapat diantara kami. Pertama, Inayatul jannah berpendapat bahwa bantal tersebut sebagai kenyamanan. Sedangkan Laela, Neneng dan saya berpendapat bahwa bantal itu sebagai benda yang bisa diam, dimana bersifat statis. Dan Nofi berpendapat bahwa benda mati. Dan pendapat kami tentang data adalah ilmu namun tidak dapat menyuarakan ilmu itu sendiri. Dari 5 pendapat tersebut, kami (kelompok 5) berargumen bahwa data itu adalah sebuah ilmu, sedangkan bantal itu benda yang inanimate yang bersifat statis. Apabila data itu digunakan sebagai pedang, maka data itu akan mampu menyerang kelemahan orang lain.
             Dalam hal ini, kelompok saya memiliki banyak perbedaan pendapat tentang judul tersebut. Kelompok pertama, berpendapat bahwa data itu sebagai sandaran. Kelompok kedua berpendapat bahwa data merupakan sebuah informasi dan bantal adalah sandaran yang ada di belakang, jadi dibalik sandaran tersebut ada sesuatu yang tersembunyi yang harus kita cari. Kelompok ketiga berpendapat bahwa data adalah bukti yang akurat (evidence) Kelompok empat berpendapat bahwa data adalah informasi, namun kita tidak boleh terlena dengan data yang ada. Sedangkan Kelompok enam berpendapat bahwa data adalah Source, dan pillownya merupakan benda yang digunakan dalam waktu tertentu. Dan terakhir, kelompok tujuh berpendapat bahwa data adalah facts sedangkan pillownya sendiri sebagai events.
Sedangkan data menurut (Mikko Lehtonen: 2000: 48-50) menjelaskan bahwa teks berarti bentuk yang signifikan; tulisan, fotograf, movie, Koran, majalah, pengumuman, dan komersiil. Dalam hal ini, teks terbagi menjadi dua, verbal dan non verbal. Verbal teks seperti writing and speech. Sedangkan non verbal teks seperti perbedaan antara visual dan auditory seperti antara writing and speech, image atau sounds. Writing sebagai system tanda yang harus dikeluarkan dalam bentuk halaman. Kecenderungan teks, hitam putih, penggunaan gambar dalam sebuah buku sebagai produksi yang dipercaya untuk mencirikan hubungan menuju “matter of factness, seriousness, dan scholarship.”
Oleh sebab itu, tulisan atau printed teks tidak sesederhana seperti pengulangan spoken language dalam bentuk visual. Kesusastraan mereperesentasikan suara yang pasti yang menunjukkan keluasan, akan tetapi  banyak bahan materi yang dihadirkan dalam bentuk tulisan yang spoken language tidak bisa memiliki hal tersebut.
Berlanjut ke topic artikel, dalam artikel Eben Kirksey terdapat sekitar 50 lebih paragraph, namun dalam hal ini saya hanya menuliskan 26 point atau list dari 50 paragraf tersebut:
Dalam paragraph utama dan kedua, dijelaskan bahwa terjadi sebuah pesta perpisahan yang diadakan oleh Denny Yomaki, seorang pekerja Hak Asasi Manusia (HAM). Awal mula tujuan Eben ke Indonesia, tepatnya di Papua adalah untuk mempelajari kekeringan El Nino yang melanda wilayah tersebut. Namun sayangnya, beliau datang pada saat yang tidak tepat. Beliau datang pada saat Papua musim hujan. Menurutnya, tidak etis saja dalam musim hujan membahas tentang kemarau.  Namun, pada saat beliau tiba di Papua, Irian Jaya menjadi Papua, dan Papua itu sendiri ingin merdeka. (paragraph  ketiga, keempat dan kelima)
Mungkin hal ini disebabkan pembantaian massal oleh militer Indonesia yang mana mahasiswa yang ditembak karena ingin bersikap kritis dengan konflik Papua dan puluhan demonstran yang hanya membawa tangan kosong dibuang ke lautan. Hal ini sangat sesuai dengan laporan yang disusun Asian Human Rights Commission (AHRC) Hongkong menyatakan bahwa Indonesia menggunakan helicopter yang disuplai dari Australia dalam genosida di Paua Barat paa tahun 1970-an. Bukan hanya itu saja, bahkan  ada dua helicopter milik Amerika Serikat yang dikerahkan militer Indonesia ke Papua.
Dalam hal ini, menyebabkan sekitar 4000 lebih warga Papua tewas akibat serangan udara dari helicopter milik Amerika Serikat. Dalam laporannya juga memaparkan bahwa penduduk yang selamat memberitahu AHRC bahwa pasukan memaksa warga Papua untuk memakan tinjanya sendiri, sementara mereka yang ditahan oleh militer dipaksa berbaris dan ditembaki secara membabi buta. Serta, wanita Papua juga tidak luput dari tindak kekerasan seksual. Bahkan ada sebagian wanita yang dikubur, dibakar, bahkan direbus hidup-hidup. Dan pada laporannya juga termasuk mantan presiden Soeharto yang terlibat dalam pembunuhan massal Papua Barat.
"Lamanya pemerintahan otoriter di bawah Soeharto telah benar-benar membungkam rakyat Indonesia untuk tidak membahas sejarah kelam terkait Papua," kata Basil Fernando, direktur AHRC untuk pengembangan kebijakan dan program.
"Tanpa kesadaran dari pemerintah dan masyarakat Indonesia akan kebobrokan yang terjadi di Papua, konflik di daerah itu akan terus terjadi. Seharusnya ada usaha sendiri dari pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi rakyat Papua, salah satunya adalah dengan memenuhi hak mereka akan kebenaran," lanjut Fernando.
Sementara itu, Jennifer Robinson dari International Lawyers for West Papua meyakini bahwa laporan genosida Papua Barat yang dibuat AHRC "tidak terhingga nilainya".
"Sudah terlalu lama Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan komunitas internasional mengabaikan penderitaan rakyat Papua Barat akibat kejahatan Indonesia. Tanpa kesadaran dan keadilan, tidak akan ada kedamaian di Papua," kata Robinson.
            Setelah itu, Eben memahami bahwa mengapa banyak orang Papua ingin mengambil jalan kemerdekaan bukan reformasi. Dan Eben pada saat itu menyadari bahwa banyak orang Papua yang mencarinya sebagai teman dan mungkin Eben bisa untuk membantu orang Papua untuk mencapai kebebasan dari terror dalam rezim Indonesia. Dari kisah itu pula, dapat difahami bahwa aksi genosida tersebut terdapat unsure jual beli senjata antara Amerika-Indonesia, dimana Amerika menunjukkan dirinya sebagai Negara Adikuasa yang mampu menunjukkan kehebatan teknologinya.
Kembali ke pesta perpisahan, Eben berbicara dengan Telys Waropen yang merupakan anggota Komnas HAM. Meskipun diantara mereka belum saling mengenal, namun Waropen diundang ke pestanya Eben dan Denny. Telys Waropen, yang juga merupakan penghasut muda di era 20-an. Waropen berasal dari Wasior, tempat dimana polisi Indonesia melakukan serangan berkelanjutan “Operasi Penyisiran Dana Penumpasan”. Akhirnya, Denni dan Eben memutuskan untuk menyelidiki agen militer Indonesia mendukung milisi Papua secara sembunyi. (paragraph keenam dan ketujuh)
Meskipun dalam penelitian Eben dan Denny berada di bawah pengawasan, mereka hanya ingin mewawancarai orang-orang yang ingin mengambil resiko untuk menceritakan kisah mereka. Dalam penelitiannya, mereka juga bermaksud untuk mewawancarai seorang dukun terkenal di pegunungannya. Namun, karena hal itu terlalu beresiko akhirnya mereka membatalkan ambisi tersebut. Waropen yang merupakan sumber penting yang dapat membantu memenuhi beberapa kesenjangan dalam penelitian Eben, akhirnya Eben memutuskan untuk mewawancarai Waropen. (paragraph kedelapan, Sembilan dan sepuluh)
Dalam paragraph kesebelas dan duabelas tentang wawancaranya, Waropen bertanya tentang nilai penelitiannya seperti “bukankah data anda menjadikan lebih juat jika anda mengutip sumber-sumber yang kredibel?” sungguh hal itu membuat sedikit tersinggung di hati Eben. Kemudian, melakukan penelitian lapangan di Papua barat telah membawa Eben bahwa pentingnya menjaga sumber anonym bukan hanya sebagai sarana untuk menghindari omong kosong birokrat. Jelas, sebagian orang Papua seperti Waropen menginginkan kutipannya diakui sebagai intelektual public. Tentu hal ini menjadikan Eben untuk menjadi pribadi yang professional, hokum, dll.
Paragraph ketigabelas, Sumber anonym dipandang dengan rasa kecurigaan dan penuh misteri oleh pembaca surat kabar dan majalah. Jurnalis dan editor biasanya menggunakan satu set ketat untuk menentukan kapan ia harus menggunakan anonym (Boeyink: 1990). Dalam hal ini, adalah bagimana jurnalis dan penerbit melindungi diri dalam gugatan pencemaran nama baik. Oleh karenanya, Eben memahami bahwa pentingnya menjaga sumber anonym tergantung pada konteks dimana harus digunakan.
Terkait dengan Waropen yang menanggapi keandalannya Eben, Eben mencoba untuk menunjukkan kepadanya bagaimana kritik budaya yang structural mungkin yang menawarkan perspektif yang fresh tentang konflik di Papua barat. Hal ini disebabkan Waropen memandang Eben sebagai sekutu yang berkompeten. Ketika perbincangan antara keduanya mulai memanas, Eben memulai berdalih dengan Waropen, bahwa pasti ada kasus dimana hak asasi manusia melaporrkan identitas korban dan saksi harus dilindungi. Tiba-tiba waropen berkata “jangan gunakan data anda hanya sebagai bantal dan pergi tidur ketika anda kembali ke Amerika. Jangan menggunakan jembatan ini untuk peluang professional anda sendiri.” (paragraph keempatbelas dan limabelas)
Hal itu menjadikan Eben semakin panas untuk menjadi seorang ahli regional yang handal. Waropen meminta Eben untuk memikirkan kembali apa yang dihitung sebagai data dalam antropologi budaya. Waropen mendorong dan memaksa Eben untuk menjadi lebih baik dan otoritatif. Waropen juga menantang Eben untuk megetahui hal-hal penting dan mengenal Papua lebih baik. (paragraph ketujuhbelas)
Pada paragraph selanjutnya (paragraph kedelapanbelas), Waropen mendorong Eben untuk mengungkap apa di balik tabir kondisi Papua ini. Jadi, fakta data yang digunakan lebih untuk diutamakan sebagai bukti kepada public tentang apa yang sebenanya terjadi di Papua. Terkait dengan paragraph kesembilan belas, menjelaskan tentang permasalahan yang terjadi karena suatu pihak perusahaan yang bernama BP (British Petroleum) menjadi Beyond Petroleum. Sedangakan paragraph duapuluh menjelaskan tentang kekerasan yang terjadi di BP (Beyond Petroleum).
Paragraph selanjutnya (duapuluh satu) bahwa pada ahir Mei 2003, John Rumbiak memintanya untuk mengahdiri pertemuan di markas London BP dengan Dr. Byron Grote, kepala Financial Officer. Dalam perjalanannya menuju markas London, Eben banyak bercerita tentang kisahnya dalam perjalan tersebut, yang salah satunya adalah Eben diminta untuk menunggu pendamping di sofa mewah sebelum memasuki ruangan sempit  dengan CFO Byron Grote dan John O’Reilly. (paragraph duapuluh dua dan duapuluh tiga)
Dalam paragraph duapuluh empat, Eben mendapat informasi dari Rumbiak bahwa agan rahasia militer Indonesia bertekad untuk memprovokasi kekerasan sampai mereka member kontrak keamanan. Kemudian, Eben berdalih kepada dirinya setelah dia menemukan fakta –fakta bahwa perusahaan tersebut bisa menjadi kekuatan untuk mengesampingkan militer Indonesia di Papua barat. (paragraph keduapuluh lima dan keduapuluh enam)
Dari artikel tersebut, dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang tidak berperikemanusiaan ini terjadi karena ketidakpuasan penduduk Papua terhadap pemerintah. Padahal pemerintah sudah memberikan rasa peduli dan simpatinya terhadap Papua, seperti apa yang diucapkan dalam pidatonya Sukarno:
Yang dinamakan tanah air Indonesia ialah
segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda,
 yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederlands IndiĆ«.
Itulah wilayah Republik Indonesia.
Dengarkan benar kataku, itulah wilayah Republik Indonesia.
Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam wilayah Republik Indonesia.
weaknesses as reader:
  • belum memiliki background knowledge yang lengkap tentang Sejarah Papua sebelum membaca artikel Eben Kirksey, jadi membuat pembaca kaget mendengar sebagian kisah yang diceritakan oleh Eben,
  • ada beberapa cerita yang menurut pembacasulit difahami sehingga harus berulang-ulang kali membaca cerita tersebut,  
  • belum memahami alur cerita Eben, flashback kah, maju, atau mundurnya,
  • pemahaman mengenai tokoh terlalu banyak dalam cerita sehingga membuat pembaca bingung.

strengthness as reader:
  • sangat tertarik ketika mendengar paragraf awalnya tentang pesta, yang didalamnya berisikan penelitian Eben, sehingga membuat penasaran,
  • judul artikel nya sangat amazing, membuat pembaca semakin penasaran apa yang ada di dalam artikel tersebut.







0 comments:

Post a Comment