Sunday, April 6, 2014


            Layaknya mutiara yang di hasilkan sang kerang dari dalam tubuhnya, yang membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat terbentuk kuat dan indah. Semakin dalam letak mutiara itu di temukan, maka semakin berharga dan bernilailah mutiara itu, seperti halnya pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang juga di sebut sebagai data sebagai hasil dari proses research yang di dapat dari berbagai objek dan informan, tidak begitu saja muncul kepermukaan dengan sendirinya. Si penyelam (researcher) harus siap dengan segala peralatan untuk sampai ke dasar lahan penelitian. Dia harus bersusah payah melawan arus yang kapan saja bisa menghempaskan mereka menjauh dari apa yang ingin mereka dapatkan. Semua itu dilakukan demi mendapatkan si "mutiara" yang merupakan hasil dari proses panjang penempaan dan penelitian. Begitu berharga dan sulitnya pengetahuan tersebut di dapat karena tidak hanya dengan mendengar dan menulisnya, tapi dibutuhkan proses yang sangat menguras energi tubuh dan otak. Seperti pertandingan pada kompetisi ke-9 kemarin (Jum’at, 4 April 2014) yang menguji para pemainnya untuk berfikir semakin kritis dan bersikap cerdik untuk dapat menjadi mutiara di lapangan pertandingan. Keinginan tersebut tentu menjadi cita-cita semua pemain. Apalagi musim ini petandingan tersisa 5 kompetisi penyisihan, tentu menjadi tanda semakin ketatnya kompetisi di musim pancaroba kali ini. Hal ini terbukti dari warming up pada kompetisi kemarin, tentang identifikasi judul, kalimat, sampai paragrap. Sungguh sangat menyita energi. Namun tetap menarik karena dalam pertandingan kali ini lapangan yang digunakan adalah kutipan yang berhubungan dengan Papua dalam teks "Don’t Use Your Data As A Pillow". Yang mengejutkan adalah judul tersebut di dapat si penulis dari nasihat yang diberikan oleh seorang masyarakat Papua (S. Eben Kirksey, 2009:149). Hal tersebut membuktikan, bahwa orang-orang Papua memang harta yang berharga.
            Mereka memang pantas mendapat julukan sebagai mutiara hitam yang sangat berharga. Selain memang wilayahnya yang terletak di Utara Australia. Oleh karena letak pulaunya yang berdekatan dengan jalur perdagangan Internasional atau jalur perairan yang sering dilalui oleh negara-negara di sekitar, memungkinkan negara-negara tersebut untuk datang dan singgah di Pulau Papua. Di sisi lain, wilayah Papua di Indonesia terbagi dalam 2 Provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Terdapat juga banyak kerajaan yang pernah beridiri di sana, seperti kerajaan Waigeo, Salawati, Sailolof, dan Misol. Lalu, kenapa dalam kompetisi ke-9 ini menjadikan Papua sebagai lapangan pertadingan atau objek yang harus di ungkap? Banyak faktor yang melatarnelakanginya, seperti konflik yang tak berkesudahan sampai sekarang, sejarah menarik Papua, keinginannya untuk lepas dari Indonesia, dan tentu keterkaitannya dengan praktek literasi. Pada wacana S. Eben Kirksey (khususnya pada paragraf 1-26), di temukan banyak hal-hal menarik tentang Papua dan praktek literasi tentang penelitian, yang dapat menjadi celah untuk menemukan fakta lain yang terkait dengan hal-hal tersebut. Sejarah penting yang ada di tanah Papua dapat dibagi ke dalam 3 masa, yaitu pada masa penjajahan oleh Belanda, pemerintahan Soeharto, dan masa setelah reformasi sampai sekarang.
            Penjajahan Belanda. Papua memang pernah diduduki oleh penjajah saat perang dunia kedua, namun penjajah tidak melakukan kekerasan seperti apa yang di lakukan di daerah Indonesia lainnya. Hal ini karena Papua berada langsung di bawah kekuasaan pemerintahan Psat Kerajaan Belanda, sedangkan Indonesia lainnya di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, nama Papua adalah Nugini Belanda karena Papua sangat mirip dengan salah satu daerah di Belanda (Guinea). Selama perang dunia berlangsung, Papua tidak mendukung Jepang melainkan menjadi sekutu pasukan AS dan Australia. (http:// id.wikipedia.org/berkas/morning_star_flag_svg). Itulah sebabnya, mengapa Australia selalu membantu Papua sampai saat ini jika ada perang disana dan tidak menutup kemungkinan, AS menyuplai persenjataan untuk kemerdekaan Papua dalam melancarkan serangannya. Di sisi lain, masih menurut sumber yang samaPapua Barat (Nugini Barat) saat itu dapat menentukan nasibnya sendiri melalui piagam PBB (Act of Free Choice). Sehingga, tidak heran jika mereka selama ini menganggap bahwa mereka bukan bagian dari Indonesia dan menginginkan kemerdekaan atau pemekaran. Di tambah lagi, saat itu Nugini Barat telah melakukan pemilu pada Januari 1961 dan hasilnya di lantik pada April 1961. Namun, terjadi negosiasi tranfer pemerintahan Papua ke Indonesia yang disarankan oleh McGeorge Bundy(Penasihat Keamanan Nasional) dengan melobi Presiden AS, John. F. Kennedy. Alhasil, pemerintahan Nugini Barat berada di Indonesia melalui perjanjian New York. Oleh sebab itu, sebagai tanda telah masuk ke dalam pemerintahan Indonesia, dibuatlah Trikora (Tiga Komando Rakyat) yang di canangkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1961, yang berbunyi 1). Gagalkan Negara Boneka buatan Belanda. 2). Bersiaplah untuk memobilisasi umum. 3). Kibarkan seluruh bendera merah putih di seluruh pelosok Tanah Papua. Tapi, saat itu keadaan di Papua masih bisa dikendalikan dan tidak mengandung konflik karena jalur diplomasi masih berjalan saat itu.
            Pada era kepemimpinan Soeharto (1965-1997). Pada masa ini, konflik tidak bisa terelakkan karena pilisi militer yang dikirim ke Tanah Papua memicu perang. Kenapa? Saat itu, jalur diplomasi yang dipakai oleh Papua sebelumnya tidak di anggap atau tidak diperdulikan oleh pemerintahan Soeharto saat itu. Selain itu, Soeharto mengubah nama Papua menjadi Irian Jaya bersamaan dengan di resmikannya PT. freeport milik AS di Papua. Alhasil, masyarakat disana sangat tersinggung dan protes terhadap pemertintah. Namun, bukan mufakat yang terjadi tapi pertumpahan darah yang ada. Pemerintah saat itu tidak menyukai dan menolak segala bentuk protes, dan tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa orang-orang yang bersuara. Tidak heran, jika pada tahun 1968 pada bulan Oktober telah terjadi penindasan terhadap rakyat Papua oleh tentara Indonesia dan para PNS. Akibatnya 30.000 rakyat Papua tewas d Tanahnya sendiri. Hal tersebut di akui juga oleh MenLu Adam Malik saat itu, sehingga personil tentara di papua harus di kurangi sampai setengahnya. Namun, konflik dan pertumpahan darah tidak dapat berhenti. Oleh karenanya, maka lahirlah OPM (Organisasi Papua Merdeka) pada tahun 1965 ysng memiliki tujuan ingin membantu mewujudkan penggulingan pemerintahan Papua di Indonesia. Organisasi ini mendapat dana dari Muammar Gaddafi (Presiden Lybia) dan mendapatkan pelatihan dari Gerilya New People’s Army (beraliran Maois), yang pasukan tersebut di tetapkan oleh Departemen Keamanan Nasional AS sebagai organisasi teroris asing (http://id.wikipedia.org/wiki/organisasi_Papua_merdeka). Sebenarnya, OPM ini tidak melakukan penyerangan pada awalnya karena mereka hanya menyampaikan melalui jalur diplomasi. Namun cara mereka ditentang oleh militer Indonesia karena dianggap sebagai bentuk penghkhianatan kepada negara.
            Masa reformasi sampai sekarang. Setelah pemerintahan Soeharto lengser yang dikenal sebagai era reformasi, pergerakan OPM semakin jelas dan mulai melaksanakan teror pembunuhan di tanah Papua. Akan tetapi, pada pemerintahan B.J. Habibie seluruh tokoh Papua mengadakan musyawarah dan menhasilkan dua hal, yaitu: 1). Meminta pemerintah NKRI untuk membuka suatu dialog Nasional Papua yang di fasilitasi oleh NKRI. 2). Merencanakan untuk mengadakan suatu kongres Papua II 2000. Hasil dari kongres II 2000, yaitu: 1). Meminta kepada pemerintah NKRI agar bertanggung jawab atas segala pelanggaran HAM Papua karena telah dilaporkan di forum Foreri, bahwa lebih dari 1000 jiwa telah tewas semenjak Papua berintegrasi dengan NKRI. 2). Meminta membuka dialog Nasional dan Internasional bagi bangsa Papua. 3). Meminta badan dunia PBB untuk segera meluruskan sejarah mereka (http://www.myheritage.com). Alhasil, saat kepemimpinan Gusdur sebagai presiden jalur diplomasi dengan Papua telah terbuka kembali, dan konflik saat itu sudah mulai dapat diredam. Namun itu hanya sejenak (hanya selama 2 tahun), selebihnya tidak ada lagi jalur diplomasi dengan Papua sampai sekarang. Sehingga, mereka merasa tidak di anggap dan semakin ingin memisahkan diri dengan Indonesia.
            Pergerakan OPM. Beberapa tahun belakangan ini, telah banyak terjadi teror dari oknum tertentu di Tanah Papua. Disinyalir serangan tersebut berasal dari OPM yang menginginkan untuk terbebas dari pemertintah Indonesia. Tercatat pada tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Awes (kepala polisi Mulia) di tembak oleh orang yang tidak di kenal di bandara Mulia. Lainnya pada tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum dan mengakibatkan 3 warga sipil tewas dan 1 anggota TNI, sementara 4 lainnya cedera. Selain itu, pada tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air yang akan landing di Bandara Mulia.
            Keterkaitan dengan praktek literasi. Orang-orang yang dapat memainkan kekuasaan dan pemerintahan adalah orang-orang yang mengerti benar peraturan dan ‘permainan’ kekuasaan. Kepintaraan seseorang di pengaruhi oleh ideologi seseorang.Ideologi tidak pernah sama dan netral, sehingga literasi pun tak pernah netral (Lehtonen, 2000 dan Alwasilah, 2012). Sejarah sangat erat kaitannya dengan literasi. Hanya orang-orang yang berliteratlah yang mampu dan pandai memutar balikkan fakta dan sejarah.
           
            Dalam wacana Don’t Use Your Data As A Pillow (S. Eben Kirksey, 2009), pada paragraf pertama si penulis mencoba menggambarkan suasana pesta perpisahan ketika ia telah selesai mengumpulkan penelitiannya di Papua. Dia merasa senang atas keramahan dan apresiasi masyarakat Papua terhadap keberadaannya. Pesta tersebut di susun oleh seorang aktivis HAM yang juga membantu penelitiannya, yaitu Denny Yomaki. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan nilai dasar dari pendekatan penelitiannya, agar terarah dan mampu mendapatkan informasi yang mencukupi. (S. Eben Kriksey, 2009:145)
            Selanjutnya, paragraf ke 2-5 penulis mengungkapkan tentang awal tujuan kedatangannya saat pertama kali datang ke Papua Tahun 1998 yang saat itu berganti menjadi Irian Jaya, yaitu untuk meneliti tentang kekeringan El Nino. Namun, saat kedatangannya adalah musim hujan dan dilengserkannya kepemimpinan Soeharto. Sehingga saat itu, banyak daerah yang terinsipirasi dari reformasi untuk memerdekakan wilayahnya sendiri (Aceh, Papua, dan Timor Timur). Si penulispun tidak mengerti dengan keinginan wilayah-wilayah tersebut untuk merdeka karena menurutnya untuk apa repot-repot memisahkan diri jika telah merdeka. Namun,si penulispun akhirnya mengerti kenapa Papua ingin merdeka karena militer Indonesia saat itu sangat kejam dan melakukan genosida pada masyarakat Papua. Sampai-sampai ia membandingkan cara penguasaan antara AS di Irak peningkatan militer Indonesia di Papua. Paragraf keempat, si penulis menganalogikan teror di Papua dengan cerita Dracula di negaranya. Menurutnya, keduanya seperti teror yang kapan saja dapat merenggut nyawa seseorang tanpa jejak. Masyarakat Papua pun ingin bersekutu dengan penulis demi mencapai kemerdekaan mereka. Penulis pun merasa tertarik untuk meneliti gerakan dan teror yang terjadi di tanah Papua. Sehingga, ia berfikir dapat membantu masyarakat Papua untuk mencapai kemerdekaanya.(S. Eben Kriksey, 2009:146-147)
            Dalam paragraf 6-9, penulis mencoba mengungkapkan tentang kemajuannya dalam mengumpulkan data-data penelitian. Denny Yomaki seorang aktifis HAM mmeperkenalkan Talys Waropen kepada si penulis guna memperoleh data yang lain, mengingat dia adalah seorang sarjana yang sedang menysun tesis tentang wilayahnya di Wasior. Di wasior pulalah polisi Indonesia melakukan penyerangan yang bernama OPP (Operasi Penyisiran dan Penumpasan). Hal tersebut menjadikan si penulis ingin menyelidiki rumor yang ada di daerah tersebut. Penelitiannya di Wasior berada dibawah pengawasan yang intens. Di sisi lain, penulis dan rekannya harus melindungi identitas narasumber dengar mengatur tempat dan waktu wawancara. Si penulis juga ingin menjadikan dukun di Wasior sebagai salah satu narasumbernya karena mereka menganggap gempa bumi yang terjadi di Jawa adalah sebagai tanggungjawab dan pengawasan mereka. (S. Eben Kriksey, 2009:147-148)
            Selain itu, pada paragraf 10-15, penulis menceritakan tentang berbagai pelajaran yang ia dapat dari Waropen. Penulis menganggap Waropen adalah sebagai sumber data penting yang dapat membantu pebelitiannya tentang Papua. Ia pun memutuskan akan mewawancara Waropen dan tetap menyimpannya sebagai anonim. Namun, hal yang tak terduga karena Waropen mundur sebagai narasumber ketika ia tahu bahwa dia akan dianggap sebagai anonim seperti narasumber lain. Si penulis merasa kaget dan kembali mempertanyakan nilai dari penelitiannya ketika Waropen menyudutkannya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang data dan ientitas narasumber. Si penulis, semakin bingung ketika ia ingat tentang pesan-pesan informal dari teman-teman dan mentornya tentang di bebaskannya peninjau dan catatan lapangan dari data pribadi. Dia pun merasa harus mempertimbangkannya kembali tentang semua itu. Dia juga menyadari bahwa Waropen ingin kutipan atau data dari para informan diakui sebegai intelektual publik atau umum. Namun, menurut si penulis narasumber yang di-anonimkan adalah bentuk dari perlindungan terhadap narasumber karena ada beberapa informasi yang tidak dapat dibicarakan di muka umum. Dalam bidang jurnalis dan editor pun menggunakan anonim untuk sumber data mereka, walaupun hanya untuk data tertentu saja. Di sisi lain, penggunaan anonim adalah sebagai fungsi dari yuridis hukum yang sangat penting karena untuk melindungi diri dari tindakan pencemaran nama baik. Kepada penulis, Waropen menyampaikan pula keinginannya mengenai Tanahnya. Hal tersebut, seperti anggota pasukan keamanan yang ada di tanah Papua di tuntut di pengadilan Indonesia, dan desa atau wilayah disana perlu di tata ulang kembali. Dia pun melihat si penulis sebagai sekutu yang dapat membantu keinginannya tercapai. Penulis masih bersikeras untuk tetap menggunakan anonim, sehingga dia pun beralasan bahwa disinyalir terdapat kasus dimana HAM melaporkan identitas korban dan menginginkan saksi harus di lindungi. Namun, tiba-tiba si penulis merasa kaget dengan statement Waropen yang menasehatinya tentang penggunaan data. Menurut Waropen, jangan menggunakan data hanya sebagai pilihan antara mau digunakan atau tidak, atau hanya sebagai alat untuk bersandar. Kemudian pergi ke negri asal untuk beristirahat tanpa menyiarkan penelitian atau data yang telah penulis dapatkan. Sehingga, seolah-olah menjadikan penelitian atau data hanya sebagai sarana untuk mencapai ke-profesionalan. (S. Eben Kriksey, 2009:148-149)
            Ungkapan lain dari si penulis pada paragraf 16-18 adalah tentang dorongan dari Waropen terhadap si penulis untuk mengumpulkan dan menyimpan data dengan tetap pada fakta-fakta.Waropen menginginkan penulis untuk menjadi seorang yang handal tentang regional dan mampu mengetahui fakta-fakta dengan pasti, serta seseorang yang berani mengambil pertanyaan serius dan tajam. Penulis pun di tuntut atau diingatkan untuk hati-hati dengan penelitiannya karena penelitiannya berhubungan dengan kekuasaan. Sehingga sangat beresiko mengalami hambatan. Oleh karenanya, pengetahuan tentang hal lain, seperti tentang kolonial dan imperialisme dapat membantu penelitian. Waropen pun meminta penulis untuk mengevaluasi kembali data dalam antropolgi budaya. Dia pun memberi semangat kepada si penulis dengan menantangnya untuk tahu dan mengenal masyarakat Papua dengan baik. Di juga menyuruh si penulis untuk lebih baik, si penulispun teringat akan desakan Charles Hale untuk para antropolog agar mengambil metodologi positivis serius. Oleh karenanya dibutuhkan sikap berterus terang, menguasai antropolog, menjadi ahli geohrafi, dan kritikus (Hale 2006). Waropen pun jelas tidak akan setuju jika penelitian penulis hanya untuk profesionalis saja. namun, kenyataanya penulis sudah banyak menghasilkan artikel di koran-koran baik untuk di Papua dan di Lndon. Penulis juga di tantang untuk bertindak nyata, sehingga ia berfikir untuk membawa penelitian ini ke tingkat yang lebih tinggi.(S. Eben Kriksey, 2009:149-150)
            Pada paragraph 19-20, penulis membahas tentang BP (Beyond Patroleum) atau perusahaan yang bergerak dibidang eksploitasi ladang gas alam di Papua Barat. Rumor yang beredar adalah hubungan BP dengan kekerasan yang sedang terjadi saat ini. Terdapat banyak pemain yang berhubungan dengan kekerasan disini, seperti provokator militer, korban polisi, dan Papua double agen. Si penulis pun berhasil mewawancarai pejuang kemerdekaan atau Papua double agen dan mendapatkan data yang cukup mencengangkan. Dia membunuh para perwira polisi Indonesia, namun ia juga mendapatkan bahan logistik dan intelegen dari militer Indonesia. Dia mengaku bahwa hidupnya dalam bahaya karena ia telah banyak mengetahui informasi tentang pejabat kantor militer. (S. Eben Kriksey, 2009:150-151)
            Pada paragraf 21-26. Penulis telah lebih baik dalam menggunakan datanya. Ketika ia kembali ke Inggris, dia menjadi semakin mempelajari penelitiannya. Penulis diundang oleh aktifis HAM, John Rumbiak untuk menghadiri pertemuan di markas London. Dia meminta penulis untuk menjadi saksi atas klaim kuat untuk pengetahuan. Dalam pertemuan tersebut, si penulis di beritahu tentang bisnis dari BP itu sendiri. Dia menemukan pemikiran yang aneh, yakni apakah bisnis atau perusahaan ini dapat menjadi kekuatan untuk mengesampingkan militer Indonesia di Papua. Mengingat, menurut Rumbiak kekerasan itu tidak cocok untuk bisnis. (S. Eben Kriksey, 2009:151-152)
            Dari pembahasan diatas, saya sedikit demi sedikit dapat mengerti dan menemukan kelemahan dan kekuatan saya dalam memebaca, yang mampu menunjang produktifitas tulisan. Dari sisi kelemahan saya dalam membaca, yaitu: 1). Mudah tergoyahkan konsentrasinya. 2). Mudah lupa apa yang telah dibaca sebelumnya, jika pembahasannya kurang menarik. 3). Mudah terganggu oleh alur yang tiba-tiba mundur atau maju (berubah-ubah). Sedangkan kekuatan yang saya miliki dalam membaca adalah: 1). Mudah tertarik dan ingat jika wacana yang di baca tentang sejarah atau fakta-fakta baru. 2). Terkadang dapat langsung mengaitkan kejadian atau fakta satu dengan fakta lainnya.
            Kesimpulan dari pembahasan-pembahasan di atas adalah bahwa ‘kemerdekaan ialah hak segala bangsa’. Walaupun memang Papua tidak terjajah secara fisik, tapi secara mental mereka merasa tak di anggap sehingga mereka melakukan perlawanan atau teror sebagai bentuk keinginan untuk membebaskan diri dari pemerintahan. Selain itu, bagaimanapun musyawarah dan diplomasi adalah unsur yang sangat penting demi untuk menjaga keutuhan dan kestabilan keamanan. Kenapa banyak orang yang tidak mau menjaga hubungan baik tersebut? Sungguh itu sebuah fakta yang sangat menggelikan. Bagaimana tidak? Bukankah Nabi Muhammad Saw, selalu mengajarkan untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat? Begitu indahnya jika dari Sabang sampai Merauke memang benar-benar aman dan damai.


0 comments:

Post a Comment