Layaknya mutiara
yang di hasilkan sang kerang dari dalam tubuhnya, yang membutuhkan waktu cukup
lama untuk dapat terbentuk kuat dan indah. Semakin dalam letak mutiara itu di
temukan, maka semakin berharga dan bernilailah mutiara itu, seperti halnya
pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang juga di sebut sebagai data sebagai hasil
dari proses research yang di dapat dari berbagai objek dan informan, tidak
begitu saja muncul kepermukaan dengan sendirinya. Si penyelam (researcher)
harus siap dengan segala peralatan untuk sampai ke dasar lahan penelitian. Dia
harus bersusah payah melawan arus yang kapan saja bisa menghempaskan mereka
menjauh dari apa yang ingin mereka dapatkan. Semua itu dilakukan demi
mendapatkan si "mutiara" yang merupakan hasil dari proses panjang
penempaan dan penelitian. Begitu berharga dan sulitnya pengetahuan tersebut di
dapat karena tidak hanya dengan mendengar dan menulisnya, tapi dibutuhkan
proses yang sangat menguras energi tubuh dan otak. Seperti pertandingan pada kompetisi
ke-9 kemarin (Jum’at, 4 April 2014) yang menguji para pemainnya untuk berfikir
semakin kritis dan bersikap cerdik untuk dapat menjadi mutiara di lapangan pertandingan.
Keinginan tersebut tentu menjadi cita-cita semua pemain. Apalagi musim ini
petandingan tersisa 5 kompetisi penyisihan, tentu menjadi tanda semakin
ketatnya kompetisi di musim pancaroba kali ini. Hal ini terbukti dari warming
up pada kompetisi kemarin, tentang identifikasi judul, kalimat, sampai
paragrap. Sungguh sangat menyita energi. Namun tetap menarik karena dalam
pertandingan kali ini lapangan yang digunakan adalah kutipan yang berhubungan
dengan Papua dalam teks "Don’t Use Your Data As A Pillow". Yang
mengejutkan adalah judul tersebut di dapat si penulis dari nasihat yang
diberikan oleh seorang masyarakat Papua (S. Eben Kirksey, 2009:149). Hal
tersebut membuktikan, bahwa orang-orang Papua memang harta yang berharga.
Mereka memang
pantas mendapat julukan sebagai mutiara hitam yang sangat berharga. Selain
memang wilayahnya yang terletak di Utara Australia. Oleh karena letak pulaunya
yang berdekatan dengan jalur perdagangan Internasional atau jalur perairan yang
sering dilalui oleh negara-negara di sekitar, memungkinkan negara-negara
tersebut untuk datang dan singgah di Pulau Papua. Di sisi lain, wilayah Papua
di Indonesia terbagi dalam 2 Provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat.
Terdapat juga banyak kerajaan yang pernah beridiri di sana, seperti kerajaan
Waigeo, Salawati, Sailolof, dan Misol. Lalu, kenapa dalam kompetisi ke-9 ini
menjadikan Papua sebagai lapangan pertadingan atau objek yang harus di ungkap?
Banyak faktor yang melatarnelakanginya, seperti konflik yang tak berkesudahan sampai
sekarang, sejarah menarik Papua, keinginannya untuk lepas dari Indonesia, dan
tentu keterkaitannya dengan praktek literasi. Pada wacana S. Eben Kirksey
(khususnya pada paragraf 1-26), di temukan banyak hal-hal menarik tentang Papua
dan praktek literasi tentang penelitian, yang dapat menjadi celah untuk
menemukan fakta lain yang terkait dengan hal-hal tersebut. Sejarah penting yang
ada di tanah Papua dapat dibagi ke dalam 3 masa, yaitu pada masa penjajahan
oleh Belanda, pemerintahan Soeharto, dan masa setelah reformasi sampai
sekarang.
Penjajahan
Belanda. Papua memang pernah diduduki oleh penjajah saat perang dunia
kedua, namun penjajah tidak melakukan kekerasan seperti apa yang di lakukan di
daerah Indonesia lainnya. Hal ini karena Papua berada langsung di bawah
kekuasaan pemerintahan Psat Kerajaan Belanda, sedangkan Indonesia lainnya di
bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, nama Papua adalah Nugini
Belanda karena Papua sangat mirip dengan salah satu daerah di Belanda (Guinea).
Selama perang dunia berlangsung, Papua tidak mendukung Jepang melainkan menjadi
sekutu pasukan AS dan Australia. (http:// id.wikipedia.org/berkas/morning_star_flag_svg).
Itulah sebabnya, mengapa Australia selalu membantu Papua sampai saat ini jika
ada perang disana dan tidak menutup kemungkinan, AS menyuplai persenjataan
untuk kemerdekaan Papua dalam melancarkan serangannya. Di sisi lain, masih
menurut sumber yang samaPapua Barat (Nugini Barat) saat itu dapat menentukan
nasibnya sendiri melalui piagam PBB (Act of Free Choice). Sehingga, tidak heran
jika mereka selama ini menganggap bahwa mereka bukan bagian dari Indonesia dan
menginginkan kemerdekaan atau pemekaran. Di tambah lagi, saat itu Nugini Barat
telah melakukan pemilu pada Januari 1961 dan hasilnya di lantik pada April
1961. Namun, terjadi negosiasi tranfer pemerintahan Papua ke Indonesia yang
disarankan oleh McGeorge Bundy(Penasihat Keamanan Nasional) dengan melobi
Presiden AS, John. F. Kennedy. Alhasil, pemerintahan Nugini Barat berada di
Indonesia melalui perjanjian New York. Oleh sebab itu, sebagai tanda telah
masuk ke dalam pemerintahan Indonesia, dibuatlah Trikora (Tiga Komando Rakyat)
yang di canangkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1961, yang berbunyi 1).
Gagalkan Negara Boneka buatan Belanda. 2). Bersiaplah untuk memobilisasi umum.
3). Kibarkan seluruh bendera merah putih di seluruh pelosok Tanah Papua. Tapi,
saat itu keadaan di Papua masih bisa dikendalikan dan tidak mengandung konflik
karena jalur diplomasi masih berjalan saat itu.
Pada era
kepemimpinan Soeharto (1965-1997). Pada masa ini, konflik tidak bisa
terelakkan karena pilisi militer yang dikirim ke Tanah Papua memicu perang.
Kenapa? Saat itu, jalur diplomasi yang dipakai oleh Papua sebelumnya tidak di
anggap atau tidak diperdulikan oleh pemerintahan Soeharto saat itu. Selain itu,
Soeharto mengubah nama Papua menjadi Irian Jaya bersamaan dengan di resmikannya
PT. freeport milik AS di Papua. Alhasil, masyarakat disana sangat tersinggung
dan protes terhadap pemertintah. Namun, bukan mufakat yang terjadi tapi
pertumpahan darah yang ada. Pemerintah saat itu tidak menyukai dan menolak
segala bentuk protes, dan tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa orang-orang
yang bersuara. Tidak heran, jika pada tahun 1968 pada bulan Oktober telah
terjadi penindasan terhadap rakyat Papua oleh tentara Indonesia dan para PNS.
Akibatnya 30.000 rakyat Papua tewas d Tanahnya sendiri. Hal tersebut di akui
juga oleh MenLu Adam Malik saat itu, sehingga personil tentara di papua harus
di kurangi sampai setengahnya. Namun, konflik dan pertumpahan darah tidak dapat
berhenti. Oleh karenanya, maka lahirlah OPM (Organisasi Papua Merdeka) pada
tahun 1965 ysng memiliki tujuan ingin membantu mewujudkan penggulingan
pemerintahan Papua di Indonesia. Organisasi ini mendapat dana dari Muammar
Gaddafi (Presiden Lybia) dan mendapatkan pelatihan dari Gerilya New People’s
Army (beraliran Maois), yang pasukan tersebut di tetapkan oleh Departemen
Keamanan Nasional AS sebagai organisasi teroris asing (http://id.wikipedia.org/wiki/organisasi_Papua_merdeka). Sebenarnya, OPM ini tidak melakukan penyerangan pada awalnya
karena mereka hanya menyampaikan melalui jalur diplomasi. Namun cara mereka
ditentang oleh militer Indonesia karena dianggap sebagai bentuk penghkhianatan
kepada negara.
Masa reformasi
sampai sekarang. Setelah pemerintahan Soeharto lengser yang dikenal sebagai
era reformasi, pergerakan OPM semakin jelas dan mulai melaksanakan teror
pembunuhan di tanah Papua. Akan tetapi, pada pemerintahan B.J. Habibie seluruh
tokoh Papua mengadakan musyawarah dan menhasilkan dua hal, yaitu: 1). Meminta
pemerintah NKRI untuk membuka suatu dialog Nasional Papua yang di fasilitasi
oleh NKRI. 2). Merencanakan untuk mengadakan suatu kongres Papua II 2000. Hasil
dari kongres II 2000, yaitu: 1). Meminta kepada pemerintah NKRI agar
bertanggung jawab atas segala pelanggaran HAM Papua karena telah dilaporkan di
forum Foreri, bahwa lebih dari 1000 jiwa telah tewas semenjak Papua
berintegrasi dengan NKRI. 2). Meminta membuka dialog Nasional dan Internasional
bagi bangsa Papua. 3). Meminta badan dunia PBB untuk segera meluruskan sejarah
mereka (http://www.myheritage.com). Alhasil, saat kepemimpinan Gusdur sebagai presiden jalur
diplomasi dengan Papua telah terbuka kembali, dan konflik saat itu sudah mulai
dapat diredam. Namun itu hanya sejenak (hanya selama 2 tahun), selebihnya tidak
ada lagi jalur diplomasi dengan Papua sampai sekarang. Sehingga, mereka merasa
tidak di anggap dan semakin ingin memisahkan diri dengan Indonesia.
Pergerakan OPM.
Beberapa tahun belakangan ini, telah banyak terjadi teror dari oknum tertentu
di Tanah Papua. Disinyalir serangan tersebut berasal dari OPM yang menginginkan
untuk terbebas dari pemertintah Indonesia. Tercatat pada tanggal 24 Oktober
2011, Dominggus Awes (kepala polisi Mulia) di tembak oleh orang yang tidak di
kenal di bandara Mulia. Lainnya pada tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan
serangan ke bus umum dan mengakibatkan 3 warga sipil tewas dan 1 anggota TNI,
sementara 4 lainnya cedera. Selain itu, pada tanggal 8 April 2012, OPM
menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air yang akan landing di Bandara Mulia.
Keterkaitan
dengan praktek literasi. Orang-orang yang dapat memainkan kekuasaan dan
pemerintahan adalah orang-orang yang mengerti benar peraturan dan ‘permainan’
kekuasaan. Kepintaraan seseorang di pengaruhi oleh ideologi seseorang.Ideologi
tidak pernah sama dan netral, sehingga literasi pun tak pernah netral
(Lehtonen, 2000 dan Alwasilah, 2012). Sejarah sangat erat kaitannya dengan
literasi. Hanya orang-orang yang berliteratlah yang mampu dan pandai memutar
balikkan fakta dan sejarah.
Dalam wacana Don’t
Use Your Data As A Pillow (S. Eben Kirksey, 2009), pada paragraf pertama si
penulis mencoba menggambarkan suasana pesta perpisahan ketika ia telah selesai
mengumpulkan penelitiannya di Papua. Dia merasa senang atas keramahan dan
apresiasi masyarakat Papua terhadap keberadaannya. Pesta tersebut di susun oleh
seorang aktivis HAM yang juga membantu penelitiannya, yaitu Denny Yomaki. Dalam
penelitiannya, penulis menggunakan nilai dasar dari pendekatan penelitiannya,
agar terarah dan mampu mendapatkan informasi yang mencukupi. (S. Eben Kriksey,
2009:145)
Selanjutnya,
paragraf ke 2-5 penulis mengungkapkan tentang awal tujuan kedatangannya
saat pertama kali datang ke Papua Tahun 1998 yang saat itu berganti menjadi
Irian Jaya, yaitu untuk meneliti tentang kekeringan El Nino. Namun, saat
kedatangannya adalah musim hujan dan dilengserkannya kepemimpinan Soeharto.
Sehingga saat itu, banyak daerah yang terinsipirasi dari reformasi untuk
memerdekakan wilayahnya sendiri (Aceh, Papua, dan Timor Timur). Si penulispun
tidak mengerti dengan keinginan wilayah-wilayah tersebut untuk merdeka karena
menurutnya untuk apa repot-repot memisahkan diri jika telah merdeka. Namun,si
penulispun akhirnya mengerti kenapa Papua ingin merdeka karena militer
Indonesia saat itu sangat kejam dan melakukan genosida pada masyarakat Papua.
Sampai-sampai ia membandingkan cara penguasaan antara AS di Irak peningkatan
militer Indonesia di Papua. Paragraf keempat, si penulis menganalogikan teror
di Papua dengan cerita Dracula di negaranya. Menurutnya, keduanya seperti teror
yang kapan saja dapat merenggut nyawa seseorang tanpa jejak. Masyarakat Papua
pun ingin bersekutu dengan penulis demi mencapai kemerdekaan mereka. Penulis
pun merasa tertarik untuk meneliti gerakan dan teror yang terjadi di tanah
Papua. Sehingga, ia berfikir dapat membantu masyarakat Papua untuk mencapai
kemerdekaanya.(S. Eben Kriksey, 2009:146-147)
Dalam paragraf
6-9, penulis mencoba mengungkapkan tentang kemajuannya dalam mengumpulkan
data-data penelitian. Denny Yomaki seorang aktifis HAM mmeperkenalkan Talys
Waropen kepada si penulis guna memperoleh data yang lain, mengingat dia adalah
seorang sarjana yang sedang menysun tesis tentang wilayahnya di Wasior. Di
wasior pulalah polisi Indonesia melakukan penyerangan yang bernama OPP (Operasi
Penyisiran dan Penumpasan). Hal tersebut menjadikan si penulis ingin
menyelidiki rumor yang ada di daerah tersebut. Penelitiannya di Wasior berada
dibawah pengawasan yang intens. Di sisi lain, penulis dan rekannya harus
melindungi identitas narasumber dengar mengatur tempat dan waktu wawancara. Si
penulis juga ingin menjadikan dukun di Wasior sebagai salah satu narasumbernya
karena mereka menganggap gempa bumi yang terjadi di Jawa adalah sebagai
tanggungjawab dan pengawasan mereka. (S. Eben Kriksey, 2009:147-148)
Selain itu,
pada paragraf 10-15, penulis menceritakan tentang berbagai pelajaran yang
ia dapat dari Waropen. Penulis menganggap Waropen adalah sebagai sumber data
penting yang dapat membantu pebelitiannya tentang Papua. Ia pun memutuskan akan
mewawancara Waropen dan tetap menyimpannya sebagai anonim. Namun, hal yang tak
terduga karena Waropen mundur sebagai narasumber ketika ia tahu bahwa dia akan
dianggap sebagai anonim seperti narasumber lain. Si penulis merasa kaget dan
kembali mempertanyakan nilai dari penelitiannya ketika Waropen menyudutkannya
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang data dan ientitas narasumber. Si penulis,
semakin bingung ketika ia ingat tentang pesan-pesan informal dari teman-teman
dan mentornya tentang di bebaskannya peninjau dan catatan lapangan dari data
pribadi. Dia pun merasa harus mempertimbangkannya kembali tentang semua itu. Dia
juga menyadari bahwa Waropen ingin kutipan atau data dari para informan diakui
sebegai intelektual publik atau umum. Namun, menurut si penulis narasumber yang
di-anonimkan adalah bentuk dari perlindungan terhadap narasumber karena ada
beberapa informasi yang tidak dapat dibicarakan di muka umum. Dalam bidang
jurnalis dan editor pun menggunakan anonim untuk sumber data mereka, walaupun
hanya untuk data tertentu saja. Di sisi lain, penggunaan anonim adalah sebagai
fungsi dari yuridis hukum yang sangat penting karena untuk melindungi diri dari
tindakan pencemaran nama baik. Kepada penulis, Waropen menyampaikan pula
keinginannya mengenai Tanahnya. Hal tersebut, seperti anggota pasukan keamanan
yang ada di tanah Papua di tuntut di pengadilan Indonesia, dan desa atau
wilayah disana perlu di tata ulang kembali. Dia pun melihat si penulis sebagai
sekutu yang dapat membantu keinginannya tercapai. Penulis masih bersikeras
untuk tetap menggunakan anonim, sehingga dia pun beralasan bahwa disinyalir
terdapat kasus dimana HAM melaporkan identitas korban dan menginginkan saksi
harus di lindungi. Namun, tiba-tiba si penulis merasa kaget dengan statement
Waropen yang menasehatinya tentang penggunaan data. Menurut Waropen, jangan
menggunakan data hanya sebagai pilihan antara mau digunakan atau tidak, atau hanya
sebagai alat untuk bersandar. Kemudian pergi ke negri asal untuk beristirahat
tanpa menyiarkan penelitian atau data yang telah penulis dapatkan. Sehingga,
seolah-olah menjadikan penelitian atau data hanya sebagai sarana untuk mencapai
ke-profesionalan. (S. Eben Kriksey, 2009:148-149)
Ungkapan lain
dari si penulis pada paragraf 16-18 adalah tentang dorongan dari Waropen
terhadap si penulis untuk mengumpulkan dan menyimpan data dengan tetap pada
fakta-fakta.Waropen menginginkan penulis untuk menjadi seorang yang handal
tentang regional dan mampu mengetahui fakta-fakta dengan pasti, serta seseorang
yang berani mengambil pertanyaan serius dan tajam. Penulis pun di tuntut atau
diingatkan untuk hati-hati dengan penelitiannya karena penelitiannya
berhubungan dengan kekuasaan. Sehingga sangat beresiko mengalami hambatan. Oleh
karenanya, pengetahuan tentang hal lain, seperti tentang kolonial dan
imperialisme dapat membantu penelitian. Waropen pun meminta penulis untuk
mengevaluasi kembali data dalam antropolgi budaya. Dia pun memberi semangat
kepada si penulis dengan menantangnya untuk tahu dan mengenal masyarakat Papua
dengan baik. Di juga menyuruh si penulis untuk lebih baik, si penulispun
teringat akan desakan Charles Hale untuk para antropolog agar mengambil
metodologi positivis serius. Oleh karenanya dibutuhkan sikap berterus terang,
menguasai antropolog, menjadi ahli geohrafi, dan kritikus (Hale 2006). Waropen
pun jelas tidak akan setuju jika penelitian penulis hanya untuk profesionalis
saja. namun, kenyataanya penulis sudah banyak menghasilkan artikel di
koran-koran baik untuk di Papua dan di Lndon. Penulis juga di tantang untuk
bertindak nyata, sehingga ia berfikir untuk membawa penelitian ini ke tingkat
yang lebih tinggi.(S. Eben Kriksey, 2009:149-150)
Pada paragraph
19-20, penulis membahas tentang BP (Beyond Patroleum) atau perusahaan yang
bergerak dibidang eksploitasi ladang gas alam di Papua Barat. Rumor yang
beredar adalah hubungan BP dengan kekerasan yang sedang terjadi saat ini.
Terdapat banyak pemain yang berhubungan dengan kekerasan disini, seperti
provokator militer, korban polisi, dan Papua double agen. Si penulis pun
berhasil mewawancarai pejuang kemerdekaan atau Papua double agen dan
mendapatkan data yang cukup mencengangkan. Dia membunuh para perwira polisi
Indonesia, namun ia juga mendapatkan bahan logistik dan intelegen dari militer
Indonesia. Dia mengaku bahwa hidupnya dalam bahaya karena ia telah banyak
mengetahui informasi tentang pejabat kantor militer. (S. Eben Kriksey,
2009:150-151)
Pada paragraf
21-26. Penulis telah lebih baik dalam menggunakan datanya. Ketika ia
kembali ke Inggris, dia menjadi semakin mempelajari penelitiannya. Penulis diundang
oleh aktifis HAM, John Rumbiak untuk menghadiri pertemuan di markas London. Dia
meminta penulis untuk menjadi saksi atas klaim kuat untuk pengetahuan. Dalam
pertemuan tersebut, si penulis di beritahu tentang bisnis dari BP itu sendiri.
Dia menemukan pemikiran yang aneh, yakni apakah bisnis atau perusahaan ini
dapat menjadi kekuatan untuk mengesampingkan militer Indonesia di Papua.
Mengingat, menurut Rumbiak kekerasan itu tidak cocok untuk bisnis. (S. Eben
Kriksey, 2009:151-152)
Dari pembahasan diatas,
saya sedikit demi sedikit dapat mengerti dan menemukan kelemahan dan kekuatan
saya dalam memebaca, yang mampu menunjang produktifitas tulisan. Dari sisi kelemahan
saya dalam membaca, yaitu: 1). Mudah tergoyahkan konsentrasinya. 2). Mudah lupa
apa yang telah dibaca sebelumnya, jika pembahasannya kurang menarik. 3). Mudah
terganggu oleh alur yang tiba-tiba mundur atau maju (berubah-ubah). Sedangkan kekuatan
yang saya miliki dalam membaca adalah: 1). Mudah tertarik dan ingat jika wacana
yang di baca tentang sejarah atau fakta-fakta baru. 2). Terkadang dapat
langsung mengaitkan kejadian atau fakta satu dengan fakta lainnya.
Kesimpulan
dari pembahasan-pembahasan di atas adalah bahwa ‘kemerdekaan ialah hak segala
bangsa’. Walaupun memang Papua tidak terjajah secara fisik, tapi secara mental
mereka merasa tak di anggap sehingga mereka melakukan perlawanan atau teror
sebagai bentuk keinginan untuk membebaskan diri dari pemerintahan. Selain itu,
bagaimanapun musyawarah dan diplomasi adalah unsur yang sangat penting demi
untuk menjaga keutuhan dan kestabilan keamanan. Kenapa banyak orang yang tidak
mau menjaga hubungan baik tersebut? Sungguh itu sebuah fakta yang sangat
menggelikan. Bagaimana tidak? Bukankah Nabi Muhammad Saw, selalu mengajarkan
untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat? Begitu indahnya jika dari Sabang
sampai Merauke memang benar-benar aman dan damai.
0 comments:
Post a Comment