Mendengar kata uranium,
kita sudah pasti langsung teringat pada sebuah pulau nan indah yang penuh akan
pesona di ujung timur negeri kita ini, yakni Papua. Pulau yang sejak
bereabad-abad lamanya menjadi rebutan koloni asing ini memang tak pernah habis
menyedot perhatian dunia. Dimulai semenjak kedatangan bangsa bangsa barat
seperti Jerman, Inggris dan Belanda pada tahun tahun 1515, yang kemudian
membagi pulau tersebut menjadi dua bagian : bagian timur dikuasai oleh Jerman
(bagian utara Irian timur) dan Inggris (bagian selatan Irian timur). Sedangkan
bagian barat dimilki oleh Belanda dengan garis busur 141 diakui sebagai batas
timur Irian barat. Pada 1898 - 1949, Papua bagian barat dikenal sebagai Nugini
Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea) yang merupakan bagian
dari Hindia Belanda dan kini wilayah tersebut merupakan bagian dari negara kita
yakni provinsi Papua (West Papua). Sedangkan Bagian timur pulau tersebut kini
telah menjadi sebuah negara berdaulat yang bernama Papua Nugini (Papua New
Guinea) yang merupakan salah satu dari anggota negara pesemakmuran keajaan
Inggris.
Kekayaan yang dimiliki
pulau tersebut tak lantas menjadikan penduduk yang mendiaminya hidup bahagia.
Layaknya bumerang, kandungan uranium serta emas yang bersemayam di perut bumi
papua malah menjadi serangan mematikan bagi para pribumi. Selama berabad-abad
hingga kini mereka hidup dalam penjajahan bila zaman sebelum kemerdekaan mereka
dijajah oleh kolonial belanda, maka pada zaman ini tanah mereka dijajah oleh
asing lewat propaganda pemerintah orde baru melalui eksploitasi tambang emas
yang dilakukan oleh PT Freeport. Perusahaan tersebut merupakan perusahan asal
Amerika yang berkonsentrasi pada pertambangan emas. Setiap tahunnya ribuan ton
emas dikeruk oleh perusahaan tersebut lalu diekspornya ke luar negeri. Namun
sayangnya tidak banyak masyarakat Papua yang dapat merasakan hasil dari
kekayaan bumi mereka. Tidak sepeserpun hasil dari emas tersebut yang masuk pada
kantong mereka, sang pemilik asli tanah tersebut.
Bila ditilik dari sisi
sejarah, bumi papua selalu menjadi magnet bagi setiap bangsa lain untuk
diperebutkan. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hindia Belanda memproklamasikan
kemerdekaannya menjadi negara Indonesia. Indonesia pun menuntut semua wilayah
bekas Hindia Belanda sebagai wilayahnya, termasuk papua didalamnya. Akan
tetapi, Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara terpisah
karena adanya perbedaan etnis. Sehingga kasus tersebut pun dibawanya dalam
Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Namun sayangnya kasusnya tidak
terselesaikan dan diputuskan untuk ditunda pembahasannya selama 1 tahun.
Penyelesaian status Papua bagian barat menjadi berlarut-larut dan tidak selesai
juga hingga tahun 1961, sampai terjadilah pertikaian bersenjata antara
Indonesia dan Belanda pada Desember 1961 dan awal 1962 untuk memperebutkan
wilayah ini. Melalui Perjanjian New York, akhirnya disetujui untuk menyerahkan
sementara Papua bagian barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) sebelum diberikan sepenuhnya kepada Indonesia pada 1 Mei
1963. Kedudukan Papua bagian barat menjadi lebih pasti setelah diadakan sebuah
referendum act of free choice pada tahun 1969, dimana rakyat Papua bagian barat
memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Ekspansi Indonesia pun dimulai pada saat
penyerahan kekuasaan yang diberikan kepada Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore
yang diangkat oleh pemerintah RI menjadi gubernur pertama Papua tahun 1956-1961
yang saat itu beribukota di Soasiu, pulau Tidore. Setelah berada di bawah
penguasaan Indonesia sepenuhnya, Papua bagian barat dikenal sebagai Provinsi
Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi
Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas
Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama
provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi
menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama
Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang
Papua Barat).
Setelah bersatu selama
beberapa tahun dengan Indonesia, Penduduk asli Papua bagian barat pun lambat laun
merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia
yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam
Indonesia sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan
Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini
dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian
tersebut oleh sebagian masyarakat Papua tidak diakui dan dianggap sebagai
penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain. Pada tahun 1965,
beberapa nasionalis Papua bagian barat membentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM)
sebagai sarana perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan dari Indonesia dan
membentuk negara sendiri.
Organisasi sparatis yang
mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan
dari grup gerilya New People's Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai
organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat tersebut
dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat
provinsi dapat dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara. Sejak
berdiri, OPM berusaha mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang
Kejora, dan melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Para
pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora dan simbol persatuan
Papua lainnya, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan
lambang nasional. Aksi itu banyak memicu konflik diberbagai tempat, baik
didalam maupun diluar negeri. Konflik tersbut terjadi antara militer Indonesia
dan para milisi Papua yang sama-sama menganggap bahwa apa yang dilakukannya
adalah benar. Konflik itu pun membuat banyak merugikan kedua belah pihak baik
secara materil hingga nyawa.
Kabar soal papua barat pun akhirnya terdengar hingga Amerika. Seorang
antropolog kebangsaan amerika serikat, S. Eben Kriksey pada tahun 1998 datang
ke tanah sejuta pesona tesebut untuk meneliti kebudayaan dan kehidupan
masyarakat papua dipedalaman yang masih primitif, namun setelah lima tahun
meneliti dia pun akhirnya menemukan suatu fakta yang mencenngangkan soal kasus
pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap masyarakat
papua yang ditulis lewat bukunya yang berjudul “Freedom in Entangled Worlds
: West Papua and the Architecture of Global Power” serta artikelnya yang
berjudul “Don’t Use Your Data as a Pillow”, yang dengan gamblang
menyebutkan hal-hal apa saja yang dialami masyarakat pribumi, mulai dari
penindasan hingga aksi genosida yang dilakukan dengan sistematis.
Dalam
paragraf pertama dalam artikelnya, dia menuliskan tentang pesta kecil
yang diadakan oleh masyarakat papua untuk melepas dirinya kembali ke negeri
asalnya Amerika Serikat. Entah apa yang dilakukannya hingga membuat masyarakat
tesebut rela membuatkan pesta baginya yang merupakan seorang asing. Tapi yang
pasti apa yang telah dilakukannya adalah hal yang positif hingga mampu mebuat
masyarakat mengadakan perayaan tersebut.
Paragaraf
kedua, menjelaskan saat dia datang pertama kali ke indonesia untuk
melakukan penelitiannya terhadap El-Nino. Namun, secara tidak sengaja saat dia tiba di sini bertepatan dengan masa
reformasi pasca jatuhnya rezim soeharto dengan maraknya aksi para sparatis yang
ingin membebaskan diri dari negara kesatuan, yang salah satunya adalah papua
atau wilayah yang sedang saat ia jadikan objek penelitian saat itu. Dia merasa
heran dengan maraknya aksi tersebut dan sebenarnya apa yang meneyebabkan aksi
tersebut marak tejadi di negeri ini?
Jawabannya pun dengan tegas ia tulis
pada paragraf ketiga, yang menerangkan bahwa sebuah kampanye genosida
sistematis telah terjadi di tanah tesebut. Ia telah menyaksikan serangkaian
pembantaian militer indonesia yang menembaki puluhan mahasiswa yang
berdemonstrasi lalu dengan kejam dibuangnya mereka ke laut. Data itu pun
didukung oleh pendapatnya di paragraf berikutnya (paragraf empat) yang
menerangkan bahwa apa yang terjadi di papua adalah suatu hal memang selalu
terjadi di daerah konflik, seperti cerita tentang penyiksaan dan pendudukan
militer. Penemuan tak terduga itu pun membuat ia memikirkan kembali
penelitiannya, dan memberikan dukungan kepada aktivis kemerdekaan papua.
Pada
paragraf kelima, dia menjelaskan bahwa saat dia meneliti masyarakat
papua, dia pernah dianggap sebagai sekutu. Lalu dia sempat ditarik kedalam
gerakan sparatis mereka dan mereka menjelaskan kepadanya soal teror yang
dilakukan mititer Indonesia terhadap mereka. Meraka pun meminta kepadanya untu
membantu mereka agar terbebas dari teror dan rezim pendudukan Indonesia. Dan
hal itu lah yang kemudian mempertemukannya dengan seorang aktivis HAM yang juga
merupakan penghasud muda, Telys Waropen, yang dijelaskan pada paragraf enam.
Waropen
berasal dari Wasior, tempat dimana polisi Indonesia saat itu melakukan serangan
pada para sparator melalui operasi penyisiran dan penumpasan. Dia pun akhirnya
mengunjungi tempat tersebut untuk meneliti rumor bahwa polisi indonesia
diam-diam mendukung milisi papua yang secara eksplisit ia tulis dalam paragraf tujuh.
Penelitian itu pun berlangsung dibawah penangan intens yang ia jelaskan pada
paragraf berikutnya (paragraf delapan). Dia mewawancarai orang-orang
untuk menceritakan kisah mereka dari rumah kerumah di tengah malam agar tidak
terlihat polisi Indonesia yang kemungkinan beresiko mengancam jiwa mereka bila
mereka ketahuan menceritakan cerita mereka pada peneliti asing.
Pada
paragraf sembilan, dia
menjelaskan bahwa dia juga sempat berencana akan mewawancarai seorang dukun
terkenal di pegunungan di dekat wasior yang mengklaim telah bertanggung jawab
atas gempa yang tejadi di pulau jawa. Namun sayangnya hal tersebut tidak terpenuhi.
Kesempatan untuk mendapatkan informasi soal dukun pun, baru dia dapatkan dari
Waropen pada sebuah pesta. Dan itu pun yang membuat dia mengira bahwa waropen
bisa jadi merupakan narasumber yang paling penting bagi penelitiannya, yang ia
jelaskan pada paragraf kesepuluh.
Dijelaskan pada paragraf sebeleas, saat Eben memulai
mewawancarai waropen. Prosedur yang dilakukannya sama seperti saat dia
mewawancarai 350 narasumber yang pernah ia tanyai mulai dari politisi, korban
kekerasan hingga para aktivis. Dia akan membuat mereka tetap anonim untuk
menjaga mereka dari resiko. Namun waropen dengan tegas menolak prosedur
tersebut. Dia mempertanyakan apakah identitas narasumber itu tidak penting?
Padahal sebuah penelitian akan lebih kuat bila mengutip sumber-sumber yang
kredibel.
Eben
pun tersadar bahwa dengan membuat mereka tetap anonim memang membuat mereka
aman dari resiko, tapi saat ia menghapus identitas mereka itu sama halnya
dengan tidak mengakui mereka sebagai intelektual publik seperti apa yang
Waropen tuntut, pernyataan itu pun kemudian ia tulis pada paragraf duabelas.
Terdapat kutipan untuk memperkuat
pendapat Waropen yang ia cantumkan pada paragraf tigabelas yakni “sumber
anonim dipandang sebagai rasa mencurigakan dan misteri oleh pembaca surat kabar
dan majalah. Jurnalis dan editor biasanya menggunakan satu set pedoman ketat
untuk menentukan kapan harus menggunakan sumber anonim” ( Boeyink 1990
). Kriteria ini menjaga terhadap pembuatan cerita oleh penulis tidak etis dan
penyebaran informasi yang salah dari sumber yang didapat oleh wartawan.
Pada
paragraf empatbelas, dia menuliskan soal waropen yang yang menginginkan
keadilan, dan ekpektasi dia tentang tanah leluhurnya di masa depan. Waropen
menganggap bahwa Eben merupakan salah satu seorang yang potensial yang dapat
membantu menyelesaikan masalah ini dengan banyaknya data yang telah ia peroleh.
Pada paragraf lima belas pun
waropen menambahkan “jangan gunakan data yang anda punya sebagai bantal dan
pergi tidur ketika saat anda kembali ke Amerika dan jangan hanya menggunakan
ini sebagai jembatan untuk peluang profesional anda sendiri.”
Pada
paragraf berikutnya (mulai paragraf enam belas hingga delapan belas),
waropen memprovokasi Eben untuk mengungkapkan fakta sebenarnya yang terjadi di
tanahnya. Bicaralah secara penuh dari data yang anda dapat. Jangan takut pada
penguasa, karena menguak fakta lebih penting dibandingkan dengan hanya
menjadikan penelitian sebagai jembatan untuk peluang profesional sendiri.
Konflik
antara polisi dan milisi papua pun ditulisnya pada paragraf sembilan belas
, konflik itu terjadi karena provokasi yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap
pihak lainnya melalui perusahaan BP (British Petroleum yang kemudian berganti
nama menjadi Beyond Petroleum). Dan pada paragraf berikutnya (pada paragraf
dua puluh ) Eben mengungkapan rumor kekerasan yang terjadi di proyek BP
oleh para pejuang kemerdekaan (Papua double agen).
Pada paragraf dua puluh satu, Eben menulis bahwa
ia pernah diminta oleh seorang pembela HAM asal papua lainnya yakni John
Rumbiak pada akhir mei 2003 untuk menghadiri pertemuan di markas besar BP di
London dengan Dr Byron Grote, CFO dari perusahaan minyak raksasa tersebut. Dan pada pargraf berikutnya (paragraf dua
puluh dua dan dua puluh tiga )
menjelaskan soal perjalanan Eben dalam menemukan kantor BP di London.
Seperti yang dijelaskan di paragraf dua puluh empat, disana
dia menemukan fakta baru soal keterlibatan polisi Indonesia atas kekerasan yang
terjadi di sekitar perusahaan tersebut di Papua. Pasukan keamanan negara
Indonesia membuat sekitar 80 persen dari pendapatan mereka dari konrak adalah
untuk melindungi perusahaan. Dan agen rahasia di militer Indonesia memprovokasi
kekerasan sampai perusahaan mengalah dan memberi mereka kontrak keamanan.
Sedangkan pada paragraf berikutnya (paragraf dua puluh lima dan dua puluh
enam) Eben berspekulasi atas fakta yang ia temukan diatas dengan berfikir
bahwa perusahaan ini bisa menjadi kekuatan untuk membantu mengesampingkan
militer Indonesia di Papua Barat.
Setelah
membaca artikel Eben diatas, cukup membuat saya tercengang akan apa yang
dilakukan polisi Indonesia disana. Ternyata terdapat benyak kasus pelanggaran
HAM yang terjadi disana. Namun sayangnya artikel tersebut hanya berbicara soal
papua dari sudut pandang aktivis HAM papua yang juga merupakan salah satu
bagian dari sparatis. Sehingga kebenarannya pun tidak bisa kita nyatakan 100
persen benar. Selain itu, terdapat beberapa cerita yang sulit dimengerti.
Alurnya yang maju mundur sedikit membuat saya sebagai seorang pembaca sukar
menentukan arah jalan dari ceritanya. Selain itu fokusnya pun selalu
berpindah-pindah sehingga menyulitkan kita memahami teks tersebut secara
keseluruhan. Saya sebagai seorang pembaca pemula sangat kebingungan namun juga
sering bertanya-tanya. Mencari tahu lewat sumber lain akan suatu hal yang
kurang dimengerti di artikel ini pun kita lakukan agar bisa sepenuhnya memahami
teks tersebut.
KESIMPULAN
Tragedi kemanusiaan yang
terjadi di Papua pada intinya bersumber dari satu hal, ketidakpuasaan rakyat
papua terhadap pemerintah pusat. Mereka menuntut haknya untuk kembali menjadi
negara mandiri yang merdeka seperti apa yang mereka perjuangkan pada Belanda
sebelum wilayahnya menjadi bagian dari NKRI saat ini. Gerakan sparatis pun
akhirnya mereka gunakan sebagai langkah awal agar tercapainya tujuan mereka.
Dan apa yang dikatakan sebagai pelanggaran HAM juga adalah salah satu cara
pemerintah pusat untuk menggagalkan aksi sparatis demi kelangsungan NKRI
sendiri. Pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan otonomi khusus untuk
Papua, namun sayangnya bagi mereka otonomi itu tak berpengaruh apa-apa. Sehingga
satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan melakukan
perundingan antar kedua belah pihak secara sistematis dan berkelanjutan
berdasarkan data-data yang dimiliki karena bila tidak isu ini bisa bertambah
besar dan lagi-lagi bisa menggerus kesatuan NKRI.
0 comments:
Post a Comment