Seperti bermain sebuah permainan menembak yang dibutuhkan
kecerdikan atau biasa dikenal dengan “Russian Roulette” begitulah kiranya apa
yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam konflik Beyond Petroleum.
Pihak yang terlibat dalam konflik tersebut harus saling cerdik menutupi
keburukan mereka dengan berbagai cara dan spekulasi agar tidak menjadi pihak
yang kalah. Konflik yang melibatkan militer dan polisi Indonesia serta rakyat
papua ini telah berlangsung cukup lama, namun jarang sekali terekspos media
nasional. Sehingga membuat kasus ini berlalut-lalut hingga kini.
Konflik ini diawali oleh pembukaan sebuah perusahaan
minyak asal Inggris yang membangun tambangnya di Papua, yang dikenal dengan
Beyond Petroleum (British Petroleum). Rakyat papua yang mendengar hal tersebut
tentu saja marah melihat tanah mereka dieksploitasi, dan lagi-lagi oleh pihak
asing. Sedangkan dari pihak militer dan polisi malah menganggap pembukaan
perusahaan asing di tanah papua tersebut bisa jadi menjadi pemasukan tambahan
bagi mereka. Polisi dan militer pun akhirnya saling berlomba untuk menyusun
siasat agar perusahaan tersebut memilih mereka sebagai pasukan pengaman
pertambangan tersebut dengan kontrak yang tinggi.
Tanpa ingin menunggu lama pihak militer pun langsung
menjalankan siasat buruk mereka. Pada suatu malam dia membantai puluhan polisi
secara brutal di dekat daerah pertambangan perusahaan tersebut. Saat pihak
Beyond Petroleum menyadari telah terjadi sebuah hal yang tidak biasa terjadi,
militer pun datang ke perusahaan dan menawarkan sebuah kesepakatan. Militer
mengatakan bahwa papua sangatlah tidak aman, ditengah hutan para pemberontak
bersembunyi dan suatu saat mereka menyerang, pembantaian polisi pun dituduhkan
kepada masayarakat papua sebagai pihak yang harus bertanggungjawab. Militer pun
kemuadian menawarkan diri agar dikontrak sebagai pasukan pengaman dengan harga
yang tinggi. Menyadari bahwa keamanan adalah faktor penting bagi suatu
perusahaan akhirnya perushaan Beyond Petroleum mengiyakan apa yang militer
inginkan.
Setelah lama mengkontrak militer, Beyond Petroleum pun
merasa terjadi sebuah pemerasan yang dilakukan oleh militer pada perusahaan
mereka. Sehingga pada suatu hari perusahaan tersebut mengundang para pejuang
HAM papua ke kantor pusat perusahaan mereka di London. Disana pihak Beyond
Petroleum membeberkan tindakan pemerasan yang dilakukan militer terhadap
perusahaan mereka dan kasus pembunuhan
polisi yang mengkambing-hitamkan masyarakat papua.
Saat pejuang HAM nelakukan pertemuan dengan para pejabat
Beyond Petroleum, mereka membawa serta seorang penulis yang merupakan seorang
ahli antropolog asal Amerika Serikat, bernama Eben Kricksay. Saat para pejuang
HAM itu mengetahui hal tersebut, dia langsung menyuruh Eben menulis artikel tentang
kejahatan militer Indonesia ke media internasional. Mereka pun merasa akan
menang saat dunia tahu tentang kejahatan militer Indonesia. Disaat itu BP pun
merasa senang karena telah memprofokasi para pejuang HAM papua untuk
menjatuhkan. Sehingga pihak perusahaan tidak perlu terlibat dalam konflik dan
nama mereka akan tetap terlihat benar, baik dimata militer, pejuang HAM papua,
dan juga dimata dunia Internasional, tanpa harus bersitegang dengan senjata.
Namun sayangnya apa yang ditulis Eben dalam bukunya malah
berbanding terbalik dengan kenyataannya. Beyond Petroleum sebenarnya adalah
musuh yang nyata bagi rakyat papua, bahkan mereka telah merenggut hak-hak
mereka. Segala sesuatu yang kita takutkan dari BP pun benar-benar terjadi. Orang-orang
tidak diizinkan untuk menangkap ikan atau udang di zona eksklusif yang
ditetapkan oleh BP. Padahal jelas-jelas tanah dan perairan papua adalah milik
masyarakat papua. Selain itu semakin banyak migran yang datangyang masuk ke
Papua. Inflasi yang sangat tinggi pun terjadi karena ada banyak uang yang
beredar disana. Bahkan jumlah penduduk setempat dari Bintuni Bay yang bekerja
di proyek ini sangat rendah. Malah Perusahaan lebih memilih merekrut para
imigran sebagai pekerjanya.
Pada awalnya perusahaan BP berjanji akan menetapkan
standar sosial dan lingkungan baru, serta tanggung jawab. Awalnya masyarakat
terkesan ketika BP membangun kembali satu desa nelayan, mengalirkan uang ke
masyarakat sekitar, dan mempekerjakan mereka dilingkungan terkemuka. Mereka pun
kemudian menyalurkan para ahli hak asasi manusia dan kelompok-kelompok
kesehatan untuk memberitahu mereka tentang cara untuk menghindari konflik dan
membawa kemakmuran ke desa-desa.
Namun saat proyek
makin mendekati pembukaan, orang telah membanjiri daerah tersebut. Para migran
[dari seluruh Indonesia] telah datang ke sini untuk mencari pekerjaan, dan
tinggal. Bahkan mereka menjadi mayoritas
di semua desa disana. BP memang telah
membangun rumah untuk setiap kepala keluarga dan semua terlihat indah. Tetapi
orang-orang benar-benar menderita secara mental di pemukiman baru mereka. Akses
mereka ke laut terbatas karena zona eksklusi perusahaan, dan mereka tidak dapat
memperluas kebun mereka.
Kritik terhadap kebijakan ketenagakerjaan BP ditujukan
pada perusahaan, untuk memantau proyek dan mendorong BP untuk mempekerjakan lebih banyak
orang Papua dan untuk mendidik penduduk setempat tentang
"demobilisasi" proses ketika pekerjaan konstruksi selesai. Meskipun
hampir 6.000 orang telah dipekerjakan dalam membangun pabrik, namun hanya kurang
dari 500 akan dipekerjakan oleh perusahaan setelah bangunan selesai akhir tahun
ini. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 50 papua yang diharapkan menjadi
pegawai.
Ketergantungan Rakyat pada BP sangat tinggi. Akan ada
masalah ketika pekerjaan berakhir. Akan ada degradasi ekonomi dan psikologis. Mereka
memperkirakan bahwa BP dan Indonesia tidak akan peduli tentang kelangsungan
hidup orang Papua di tanah mereka dan bangsa mereka. Mereka terus akan
menghancurkan hutan dan pohon-pohon dan mencemari sungai dan laut. Dan masyarakat
papua khawatir bahwa BP dan Indonesia akan membawa malapetaka bagi orang Papua.
BP menyangkal bahwa itu yang menyebabkan kerusakan
lingkungan, atau bahwa itu mendukung non-Papua. Perusahaan itu mengatakan
terikat oleh pedoman ketat tentang berapa banyak orang Papua harus digunakan.
Seorang juru bicara mengatakan: ".. Kami pikir sekitar 30% dari tenaga
kerja konstruksi adalah Papua Tujuannya adalah bahwa akan ada pekerjaan jangka
panjang untuk Papua Kami memprioritaskan desa yang paling terkena dampak.” Tapi
mereka juga mengakui bahwa Papua adalah besar dan bahwa ia telah sulit untuk
mengidentifikasi yang merupakan penduduk asli desa tersebut. Pada situasi
memancing, ia menunjukkan bahwa BP telah memberikan motor tempel untuk beberapa
orang, sehingga mereka dapat melakukan perjalanan lebih lanjut untuk lahan
perikanan. "Kami percaya kami telah menetapkan standar baru untuk kelompok
BP. Telah ada banyak kemajuan namun tidak ada kepuasan," katanya.
Kesimpulan :
Konflik BP
sebenarnya merupakan konflik memperebutkan kekayaan Papua. Dan lagi-lagi yang
menjadi pihak yang paling dirugikan adalah rakyat papua itu sendiri.
0 comments:
Post a Comment