Makna Merdeka Bagi Papua
Perjalanan menulis masih panjang. Tenaga, pikiran dan hati harus
terus disiapkan. Mata pun harus siap siaga untuk bertempur dengan setiap kata,
kalimat dan paragraf pada suatu teks. Memaknai mereka, kemudian menulis kembali
apa yang kita pandang dan kita maknai dari mereka. Sungguh perjalanan yang
begitu membutuhkan tenaga ekstra dan ketelitian.
Minggu ini merupakan reading time. Bukan hanya membaca dan sekedar
membaca. Akan tetapi, kita harus begitu tilik memaknai setiap kata, kalimat,
dan paragraf. Kemudian, mencari tahu apa maksud dari setiap kalimat dalam teks
tersebut. Fokus harus diutamakan. Dan fokus itu berat. Berbicara mengenai
reading time, teks yang akan dicerna yaitu sebuah artikel yang berjudul “Don’t
Use Your Data as a Pillow”, oleh S. Eben Kirksey.
Pada pertemuan sebelumnya, dibentuk reading club. Setiap kelompok
harus membaca artikel “Don’t Use Your Data as a Pillow” dan memahami serta
memaknai isi artikel tersebut. Diawali dengan memaknai judulya terlebih dahulu.
Kemudian, dilanjutkan ke paragraf pertama dan paragraf selanjutnya. Dimaknai
setiap kalimatnya kemudian didiskusikan pemahaman dari setiap anggota
kelompoknya atas suatu kalimat yang telah dibaca.
Jika kita amati, artikel yang berjudul “Don’t Use Your Data as a
Pillow” itu tersimpan teka-teki yang perlu pembaca ungkap maknanya. Bahkan,
judul artikelnya pun masih menjadi misteri dan masih dipertanyakan apa
maknanya. Kata yang perlu digaris bawahi pada judul artikel tersebut yaitu,
“Data” dan Pillow.
Di sini terdapat beberapa penafsiran data dan pillow yang telah
didiskusikan pada setiap kelompok di reading club, diantaranya:
>Data
·
Data
merupakan ilmu.
·
Data
merupakan fakta.
·
Data
merupakan sandaran.
·
Data
merupakan bukti yang berharga (valuable).
·
Data
itu tidak hanya tumpukan, tetapi infomasi, juga merupakan research/ penelitian.
·
Data
merupakan informasi/kasus-kasusnya.
>Pillow
·
Pillow
merupakan benda yang diam yang tidak bisa digunakan untuk sesuatu.
·
Pillow
merupakan kejadian/event.
·
Pillow
merupakan tempat peristirahatan/ kuburan.
·
Pillow
merupakan sandaran.
·
Pillow
merupakan sesuatu yang tersebunyi dan ditutup-tutupi (hidden).
Menurut Mr. Lala Bumela, makna yang paling mengena tentang data
yaitu Data itu tidak hanya tumpukan, tetapi infomasi, juga merupakan research/
penelitian. Pillow pun dimaknai sebagai sandaran/alas. Sehingga, makna judul
dari artikel Don’t Use Your Data as a Pillow yaitu jangan jadikan informasi
atau research yang ada sebagai sandaran atau alas. Kemudian muncul pertanyaan,
apakah sebuah informasi itu bisa dijadikan data? Lalu, ketika konteks apa
informasi dijadikan data? Di ambil dari kata research itu sendiri, research itu
menjawab pertanyaan yang belum diketahui dan sumbernya yaitu data. Adapun pembahasan
yang dicantumkan Lehtonen dalam bukunya “Cultural Analysis of Texts” (hal. 77),
yaitu “The work itself is an abstract produced from a concrete text by a researcher.
Often, another equivalent construction ‘the qualified reader’ sets to reading
it. ‘Qualified’ readers, in turn, appear to be those who attempt to obey the
instructions formed by the system of unchanging qualities that the text contains.
Therefore, ‘a qualified reader’ is able to see what ‘the work itself’ is.
Again, the touchstone of qualification is expressly this ability to see
‘behind’ the text. When a reader is capable of recognizing the being of some
text, s/he becomes ‘qualified’. The circle is complete: a qualified reader
defines ‘the work itself’, which in turn defines the qualified reader.”
Data itu dalam bentuk teks. Menurut Lehtonen dalam bukunya, “Cultural
Analysis of Texts” (hal. 48), menyebutkan bahwa:
“Text can mean any form of signification: writings, photographs,
movies, newspapers and magazines, advertisements and commercials; all and all,
every kind of human signification practice.”
Yang kemudian Lehtonen mengkategorikan teks ke dalam bentuk verbal
dan non-verbal. Bentuk verbal yaitu speech dan writing. Writing pun merupakan
jenis visual text, dan speech merupakan jenis auditory text. Kemudian, yang
termasuk non-verbal yaitu music dan picture. Music pun merupakan jenis auditory
text, dan picture merupakan visual text. Sehingga dapat kita cermati bahwa,
data itu bisa berupa verbal, non-verbal, visual, maupun audio.
Dalam artikelnya Eben, pembahasan yang dijadikan pusat yaitu
mengenai Papua Barat. Papua Barat adalah bagian barat dari pulau New
Guinea. Berbatasan langsung dengan Negara merdeka Papua Nugini dan menjadi
bagian dari Indonesia setelah melalui sebuah proses yang didiskreditkan,
dikenal sebagai ‘Act of Free Choice’ (Tindakan Pilihan Bebas) pada tahun 1969. Ia terletak persis di sebelah selatan khatulistiwa antara benua
Asia dan Australia.
Pada
tahun 1961 pemerintah Belanda melakukan persiapan-persiapan untuk membentuk
negara Papua yang terpisah dari NKRI dan puncaknya pada tanggal 1 Desember
1961, bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan negara Papua Barat, bendera
Bintang Kejora dikibarkan dan lagu Hai, Tanahku Papua dikumandangkan untuk
pertama kalinya. Inilah awal mula benih fanatisme ke-Papua-an yang dengan
sengaja disemaikan oleh Belanda dan masih tumbuh berkembang sampai dengan
sekarang, pemerintah Belanda hanya ingin tetap menancapkan cengkramannya saja
di bumi Papua yang pada waktu itu belum pengakuai kemerdekaan Indonesia di
tahun 1945.
Pada
tanggal 19 Desember 1963 di Yogyakarta, sebagai reaksi atas pengingkaran
Belanda terhadap integritas Papua dalam bingkai NKRI maka Presiden RI Bung
Karno menggalang dukungan dari negara-negara Asia-Afrika, bahkan hingga ke Uni
Sovyet. Sukarno membuat
pidato yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Trikora, atau Tri Komando
Rakyat, mengumumkan:
“..tekad
pemerintahannya: (a) bubarkan pembentukan negara boneka Irian Barat buatan
Belanda; (b) kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat; dan (c)
persiapkan mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
bangsa.”
Dia juga membentuk pasukan Komando Mandala guna
merebut Papua dari Belanda. Panglimanya yang ditunjuk kelak jadi diktator
Indonesia, Mayor Jenderal Suharto. Kekuatan militer Komando Mandala tak terlalu
mengancam administrasi Belanda tapi sudah cukup memengaruhi perkembangan
geopolitik. Amerika Serikat secara khusus khawatir atas kesediaan Sukarno minta
dukungan Uni Soviet dalam bentuk bantuan dana dan senjata. Itu memengaruhi
Perserikatan Bangsa-Bangsa turut campur dalam diplomasi antara Belanda dan
Indonesia. Di bawah tekanan AS, sebuah perjanjian diteken pada 15 Agustus 1962.
Dikenal New York Agreement, ia mengatur pemindahan kekuasaan sementara atas
Papua Barat ke UNTEA, atau United Nations Temporary Executive Authority, dari 1
Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, menyusul kemudian periode di bawah administrasi
Indonesia yang lebih panjang. Penduduk Papua diharuskan ‘berpartisipasi dalam
tindakan pilhan bebas berdasarkan praktik internasional’ sebelum berakhirnya
tahun 1969.
Suatu pemberontakan melawan pemerintahan
Indonesia mulai terjadi nyaris seketika, dan pada
tahun 1965,
beberapa nasionalis Papua bagian barat membentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai
sarana perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan dari Indonesia dan membentuk
negara sendiri. Usaha-usaha dirancang untuk menaikkan bendera
Bintang Kejora tapi selalu dilawan oleh tentara Indonesia. Beberapa serdadu
diserang dan dibunuh oleh pegawai pemerintahan Papua Barat selama upacara
pengibaran bendera pada 26 Juli 1965. Angkatan Udara Indonesia menyerang
kampung-kampung dengan senjata mesin dan bom, menangkap para pembangkang Papua
Barat selama waktu yang panjang tanpa pengadilan, dan mereka yang menuntut
pemisahan diri disiksa dan dibunuh. Represi militer bersepadan dengan
otoritarianisme politik, yang menutup ruang kebebasan dari apa yang disebut
“Act of Free Choice,” atau dikenal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dalam
sejarah versi Indonesia, yang mestinya diadakan ‘berdasarkan praktik
internasional’ sebelum pungkas tahun 1969.
Sebuah tuntutan pokok orang Papua Barat ialah
‘merdeka’, secara umum dipahami orang luar sebagai negara merdeka. Namun ada
sekurang-kurangnya pandangan yang menyatakan semua rakyat Papua Barat tak
selalu mendukung ide kemerdekaan langsung dan bahwa,
Banyak orang
yang tinggal di daerah terpencil tak tahu sama sekali apakah kemerdekaan itu
diperlukan. Ada orang Papua Barat berpandangan bahwa, jika wilayahnya diizinkan
mengendalikan keuntungan dari kekayaan minyak dan mineral yang amat luas, dan
menjalankan beberapa bentuk pemerintahan mandiri secara terbatas, dengan skala
cukup besar mengurangi kehadiran militer, orang akan merasa puas.
Orang Indonesia sekarang ini memahami ‘Papua
merdeka’ sebagai kemerdekaan dari Indonesia. Tapi bagi etnis Papua Barat,
‘merdeka’ mungkin saja mengandung sejumlah maksud, termasuk konsep yang begitu
kompleks ketimbang sekadar kemerdekaan. Satu pengertian secara pasti terkait
oleh apa yang digambarkan anthropolog Brigham Golden sebagai teologi pembebasan
Papua Barat — suatu ‘perang moral bagi terciptanya perdamaian dan keadilan di
muka bumi’. Anthropolog lain, S. Eben Kirksey, berpendapat bahwa ‘merdeka’
dapat diartikan sistem pemerintahan baru berdasarkan tata-kelola kewenangan
adat (indigenous) yang semestinya mampu dicapai tanpa memisahkan diri
dari Indonesia. Dalam pemahaman itu, ‘merdeka’ dan kemerdekaan/ Otonomi Khusus
mengandung pengertian yang satu sama lain sangatlah tidak ekslusif.
Sekilas pembahasan di atas mengenai papua, dapat dijadikan pencerahan
mengenai papua yang mana dibahas pula dalam artikel Eben yang berjudul “Don’t
Use Your Data as a Pillow”.
Kemudian, di sini akan berbicara mengenai poin-poin yang ada dalam
artikel Eben Kirksey yang berjudul “Don’t Use Your Data as a Pillow”. Pada Paragraf
pertama, yaitu mengenai pesta perpisahan sebagai bentuk penghormatan
terhadap Eben Kirksey. Paragraf kedua, yaitu mengenai penelitian Eben
yang awalnya akan meneliti tentang kekeringan dan munculnya pertanyaan dalam
benak Eben terhadap Papua yang ingin membentuk pemerintahan baru dan memisahkan
diri. Paragraf ketiga, yaitu pemahaman Eben atas alasan mengapa orang
Papua ingin mengambil jalan kemerdekaan. Yaitu terjadi serangkaian pembantaian
militer Indonesia. Paragraf keempat, yaitu berita yang ia dengar
mengenai konflik yang terjadi membuat Eben memikirkan kembali penelitiannya. Paragraf
kelima, yaitu banyak orang Papua meminta Eben untuk bersekutu dengan mereka
untuk mendorong gerakan militer mereka. Dan untuk paragraf selanjutnya belum
dapat saya cantumkan di sini.
Setelah saya membaca sebagian artikel S. Eben Kirksey yang berjudul
“Don’t Use Your Data as a Pillow”, masih banyak kalimat yang masih belum saya
pahami betul. Kemudian, pengetahuan saya mengenai papua masih belum matang
sehingga terdapat kebingungan yang saya rasakan ketika membaca artikel
tersebut. Juga penerapan makna ketika membaca masih belum kental dalam diri
saya. Pembahasan artikel yang setiap paragrafnya berpindah-pindah focus pun
membuat saya bingung. Akan tetapi,
setidaknya saya sudah dapat bisa sedikit mengutarakan dengan bahasa sendiri
atas artikel yang saya baca. Kemudian pendapat saya mengenai Papua, yaitu Papua
meskipun membentuk Negara baru akan tetap diincar kekayaan alamnya oleh Negara lain
dan akan menghadapi permasalahan yang lebih parah dari sebelumnya. Sehingga,
lebih baik Papua tetap bersama Indonesia untuk tetap berjuang sebagai Rakyat
Indonesia.
Jadi, dapat kita lihat begitu rumitnya sejarah yang ada disetiap
belahan bumi dunia ini. Semuanya penuh misteri dan penuh tanda tanya. Seperti halnya
dengan Papua Barat yang mengalami masalah dan konflik juga tuntutan dari orang
Papua untuk mendapatkan kemerdekaan.
0 comments:
Post a Comment