Papua; Dimakan Mabuk Dibuang sayang
Setelah masa hibernasi selama satu minggu, tanpa tugas
dan class review. Kini, kita mempunyai proyek yang tidak tanggung-tanggung
menantangnya. Proyek ini akan menjadi proyek pertama kami tentang argumentative
essay. Akan tetapi sebelum menuju proyek tersebut, kami diwarming up untuk
menjadi seorang intensive reader. Sebuah artikel dari S. Eben Kirksey berjudul
“Don’t Use Your Data as a Pillow” kami baca melalui sebuah grup kecil atau
semacam reading club yang terdiri dari 5 orang anggota. Disana kami sharing
satu persatu kalimat yang Eben tulis. Dimulai dari judul yang menurut kami
mempunyai sebuah pesan yang besar. “Don’t Use Your Data as a Pillow”
menceritakan tentang penelitian Eben di Papua Barat. Ditinjau dari judulnya
seperti terdapat dua fokus disana yaitu data dan pillow. Data sendiri bisa
dimaknai sebagai informasi, data didapatkan ketika seseorang melakukan
research. Dan bantal adalah benda yang
biasa dijadikan alas untuk menyanggah kepala. Sehingga apa yang bisa
disimpulkan kami kemarin dari “Don’t Use Your Data as a Pillow” seperti sebuah
larangan untuk menggunakan data sebagai alas atau dasar, yang membuat nyaman
dan terlena. Apa yang kami lakukan
diakui oleh Lehtonen dalam bukunya (The Cultural Analysis of : 77) :
‘The work itself’ is an abstract produced from a
concrete text by a
researcher. Often, another equivalent construction
‘the qualified reader’
sets to reading it. ‘Qualified’ readers, in turn,
appear to be those who
attempt to obey the instructions formed by the system
of unchanging
qualities that the text contains. Therefore, ‘a
qualified reader’ is able to see
what ‘the work itself’ is. Again, the touchstone of
qualification is expressly
this ability to see ‘behind’ the text. When a reader
is capable of recognizing
the being of some text, s/he becomes ‘qualified’. The
circle is complete: a
qualified reader defines ‘the work itself’, which in
turn defines the qualified
reader.
Menjadi
qualified reader adalah dengan membaca secara detail, tanpa melewatkan satu
katapun. Dimana kami harus membaca secara detail dan membuat meaning negotiation
bersama teman-teman satu grup
Eben menulis tentang penelitiannya di Papua Barat,
dimana Papua Barat adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Papua.
Ibukotanya adalah Manokwari. Mendengar Papua
Barat langsung terbersit dibenak tentang apa yang terjadi di provinsi ini, dari
dulu hingga saat ini Papua Barat selalu penuh dengan masalah yang kompleks.
Kompleksitisitas permasalahan yang terjadi di Papua Barat seperti mengendap
bagai api dalam sekam. Heterogenitas etnik yang tinggi, kebudayaan dan
kompleksitas adat yang ada, serta gerakan sosial di tanah Papua memiliki
sejarah yang komplek membuat penuh ketegangan dan konflik. Belum lagi dengan
etnik, bahasa, kepercayaan/agama, struktur sosial, tradisi, dan kondisi
geografis yang berbeda-beda.
Kompleksitas permasalahan yang
terjadi ditanah Papua semakin pelik. Percikan-percikan ekspresi rakyat Papua
terus-menerus muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan, kekerasan, dan pengingkaran
akan kemanusiaan. Salah satu momen penting pentas kekuasaan terhadap tanah
Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu terjadi perang dunia II yang
berimplikasi kepada proses penyerahan kedaulatan Belanda terhadap Indonesia
termasuk di dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan ini berujung pada
Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) Juli-Agustus 1969 yang menyatakan Papua
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, pasca
Perpera tersebut terjadi konflik yang berkepanjangan.
Berikut adalah 26 poin dari 26 paragraf artikel “Don’t
Use Your Data as a Pillow” hasil diskusi reading club:
1.
Pesta perpisahan sebagai bentuk
penghormatan rakyat Papua (terutama Denny Yomaki) kepada S. Eben Kirksey dan
diadakan dengan sangat tradisional
2.
Berawal dari Eben yang hendak meneliti kekeringan di Papua namun berubah
jadi meneliti kehidupan orang Papua, terutama keadaan politiknya yang pada saat
itu masa reformasi. Salah satunya sikap penasaran ia terhadap perubahan nama
dari Papua Barat menjadi Irian Jaya.
3.
Konflik yang ada di Papua menjadi seperti sebuah peristiwa genosida,
pembunuhan dengan mudahnya bisa terjadi.
4.
Tentang AS yang mendukung adanya
dukungan terhadap militer, dan menginginkan Papua merdeka.
5.
Eben merasa dirinya sebagai sekutu dalam gerakan yang dilakukan oleh
masyarakat Papua yang kebanyakan ingin merdeka, dan memisahkan diri dari
Indonesia.
6.
Telys Waropen seorang pembela dan anggota Komnas HAM namun lebih
dianggap sebagai penghasut muda.
7.
Penelitian Eben di Wasior, ketika militer pemerintah Indonesia melakukan
Operasi Penyisiran dan Penumpasan)
8.
Penelitian Eben dibawah pengawasan semua pihak
9.
Eben dan Denny Yomako mencoba mewawancari shaman namun urung
dilaksanakan karena tidak berani mengambil resiko
10. Eben
mulai melihat Waropen sebagai sumber yang penting untuk penelitiannya
11. Eben meminta Waropen agar bisa ia wawancarai,
namun Waropen mengatakan bahwa yang mewawancarainya harus merahasiakan namanya.
Atau dengan kata lain menjadikan Waropen sebagai sumber anonim
12. Ketika
sumber anonym bisa diperhitungkan
13. Namun, sumber anonym selalu dicurigai
14. Data menjadi andalan dibanding dengan
wawasan dari budaya kritis
15. Disana terdapat hak asasi manusia karenanya
mengapa saksi harus dilindungi. Itu sebabnya, jangan hanya menggunakan data
sebagai bantal, sebagai pendukung untuk profesi sendiri. Tapi gunakanlah untuk
yang sebenanya harus diluruskan.
16. Eben melalui Waropen yang memprovokasi
dirinya, untuk melihat lebih detail terhadap kaum yang termarjinalkan
17. Warophen memprovokasi Eben, dengan meminta
meninjau balik apa itu “data” dalam penelitian anthropology
18. Waropen memberi penyadaran kepada Eben,
bahwa ia harus melakukan aksi nyata. Tidak hanya lewat kata-kata
19. Pertanyaan besar mengenai hubungan Beyond Petroleum
(BP), provokasi militer, korban polisi, dan kemerdekaan Papua?
20. Menguhubungkan kekerasan di Wasior dengan
BP
21. John Rumbiak (pembela HAM di Papua)
meminta Eben untuk datang ke London untuk membicarakan tentang BP dan iklim HAM
di Papua. Bersama Dr Byron Grote
22. Eben bertemu dengan Rumbiak sebelum pergi
ke kantor BP. Rumbiak, seorang pria yang murah senyum
23. Berhadapan dengan orang yang berkuasa di
Eropa membuat Eben terpacu adrenalinnya. Byron Grote dan O’ Reilly adalah orang
penting BP, dimana sebelumnya bekerja di BP Colombia perusahaan yang terlibat
kontroversi paramiliter yang membunuh aktivis lingkungan
24. Pernyataan jelas Rumbiak bahwa BP dengan
kebijakan keamanan telah menghasut kekerasan
25. Akan tetapi Grote tetap yakin bahwa
perusahaan berbasis keamanan ini akan terus bekerja, jika tidak maka akan ada perusahan
ladang gas lain yang akan masuk ke Papua
26. Rumbiak
meminta Eben untuk berbicara tentang penemuannya di Wasior bahwa ada tidaknya
peran BP dalam kisruh di Papua
Dari artikel Eben diatas, kita tahu bahwa apa yang Eben tulis menunjukkan siapa dirinya, dan di sisi mana ia berpihak. Akan tetapi, yang ada di artikelnya adalah "analisa". Sekedar hipotesa, pihak satu mengeluarkan hipotesa ini, pihak lain juga punya versi lain, sehingga masyarakat hanya bisa menduga-duga, menafsir-nafsir saja. Itu juga mengapa konflik di Papua berkepanjangan.
Kesimpulannya,
selain kompleksitisitas sejarah dan manipulasi status politik, ingatan
kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua menjadi persoalan paling akut
dan membekas. Ingatan sosial kejahatan kemanusiaan pemerintah Indonesia melalui
aparat TNI/Polri diwariskan secara turun temurun menjadi “ingatan penderitaan
bangsa Papua” dan dasar gerakan sosial yang ada. Di tanah Papua, sudah menjadi
pandangan umum bahwa aparat TNI/Polri jauh melebihi tenaga pendidikan dan
tenaga kesehatan. Wilayah-wilayah dimana kehadiran TNI/Polri amat dominan
biasanya rentan mengalami konflik dan bentrokan antar rakyat, dan gerakan
perlawanan
0 comments:
Post a Comment