The 8th Class Review
What happened with Papua?
Freedom,
selama satu minggu lalu saya nikmati keindahan setiap malamnya, keindahan
setiap detik dimana saya beristirahat sejenak untuk memulihkan badan yang
terasa beku dengan kegiatan dan kepadatan tugas-tugas kuliah. Dan kali ini,
saatnya untuk bangkit dari sedikit ketenangan, yaitu war is beginning. Terkait dengan
tugas kali ini, argumentative essay yang bertemakan “Don’t Use Your Data as a
Pillow” yang merupakan sebuah artikel dari S. Eben Kirksey dalam buku ‘Anthropology
off the shelf.”
Mendengar
kata “Papua” dalam artikelnya Eben Kirksey, membuat saya bertanya-tanya dalam
benak saya. Kenapa beliau harus datang
ke Papua? Sebenarnya ada apa di balik tirai indahnya Papua? Papua Barat
merupakan wilayah bagian barat dari Pulau Papua
yang terbagi ke dalam 2 provinsi Indonesia,
yaitu Provinsi Papua
dan Papua Barat.
Wilayah ini juga sering hanya disebut sebagai Papua Barat (West Papua)
oleh berbagai media internasional. Dahulu, saya mengenal Papua dan Irian Jaya
itu sama, namun fakta dari keduanya adalah berbeda.
Dahulu,
Provinsi Papua mencakup semua wilayah Papua bagian barat. Pada zaman colonial Hindia-Belanda,
wilayah tersebut dikenal dengan Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch
New Guinea. Setelah wilayah tersebut bergabung dengan Negara Keastuan
Republik Indonesia (NKRI), maka nama Papua resmi diganti menjadi Irian Jaya
oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara
resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua
sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Papua. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi
menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama
Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat
(sekarang Papua Barat).
Terkait
dengan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) yang merupakan konflik
2 tahun yang dilancarkan Indonesia
untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember
1961, Soekarno
mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Pada saat itu, Soekarno juga membentuk Komando
Mandala. Mayor Jenderal Soeharto
diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan,
mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi
militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Dalam
hal ini, Belanda ingin untuk menguasai
dan melakukan pemekaran di Nederlands Nieuw Guinea (Papua) dari 1898 hingga
1962. Berbagai upaya pemekaran di NNG dilakukan Belanda dengan mempertimbangkan
aspek sosial, budaya, keamanan, ekonomi dan sumber daya manusia secara
menyeluruh.
Terkait
dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah organisasi
yang didirikan tahun 1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan
pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat
di Indonesia,
dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah
Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya “New People's Army” beraliran
Maois
yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan
Nasional Amerika Serikat.
Organisasi
ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat
provinsi dapat dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara. Sejak berdirinya OPM tersebut, yang berusaha mengadakan
dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan melancarkan
aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua.
Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora dan simbol
persatuan Papua lainnya, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua"
dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut diadopsi sejak tahun 1961
sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian New York.
Kembali
ke topic class review, yang masih dalam diskusi membaca di kelas tentang judul
artikel nya Eben Kirksey “Don’t Use Your Data as a Pillow”. Dalam hal tersebut,
banyak perbedaan pendapat diantara kami. Pertama, Inayatul jannah berpendapat
bahwa bantal tersebut sebagai kenyamanan. Sedangkan Laela, Neneng dan saya
berpendapat bahwa bantal itu sebagai benda yang bisa diam, dimana bersifat
statis. Dan Nofi berpendapat bahwa benda mati. Dan pendapat kami tentang data
adalah ilmu namun tidak dapat menyuarakan ilmu itu sendiri. Dari 5 pendapat
tersebut, kami (kelompok 5) berargumen bahwa data itu adalah
sebuah ilmu, sedangkan bantal itu benda yang inanimate yang bersifat statis. Apabila
data itu digunakan sebagai pedang, maka data itu akan mampu menyerang kelemahan
orang lain.
Dalam hal ini, kelompok saya memiliki banyak
perbedaan pendapat tentang judul tersebut. Kelompok pertama, berpendapat bahwa
data itu sebagai sandaran. Kelompok kedua berpendapat bahwa data merupakan
sebuah informasi dan bantal adalah sandaran yang ada di belakang, jadi dibalik
sandaran tersebut ada sesuatu yang tersembunyi yang harus kita cari. Kelompok ketiga
berpendapat bahwa data adalah bukti yang akurat (evidence) Kelompok empat
berpendapat bahwa data adalah informasi, namun kita tidak boleh terlena
dengan data yang ada. Sedangkan Kelompok enam berpendapat bahwa data adalah Source,
dan pillownya merupakan benda yang digunakan dalam waktu tertentu. Dan terakhir,
kelompok tujuh berpendapat bahwa data adalah facts sedangkan pillownya
sendiri sebagai events.
Sedangkan
data menurut (Mikko Lehtonen: 2000: 48-50) menjelaskan bahwa teks
berarti bentuk yang signifikan; tulisan, fotograf, movie, Koran, majalah,
pengumuman, dan komersiil. Dalam hal ini, teks terbagi menjadi dua, verbal dan
non verbal. Verbal teks seperti writing and speech. Sedangkan non verbal teks
seperti perbedaan antara visual dan auditory seperti antara writing and speech,
image atau sounds. Writing sebagai system tanda yang harus dikeluarkan dalam
bentuk halaman. Kecenderungan teks, hitam putih, penggunaan gambar dalam sebuah
buku sebagai produksi yang dipercaya untuk mencirikan hubungan menuju “matter
of factness, seriousness, dan scholarship.”
Oleh
sebab itu, tulisan atau printed teks tidak sesederhana seperti pengulangan spoken
language dalam bentuk visual. Kesusastraan mereperesentasikan suara yang pasti
yang menunjukkan keluasan, akan tetapi
banyak bahan materi yang dihadirkan dalam bentuk tulisan yang spoken
language tidak bisa memiliki hal tersebut.
Berlanjut
ke topic artikel, dalam artikel Eben Kirksey terdapat sekitar 50 lebih paragraph,
namun dalam hal ini saya hanya menuliskan 26 point atau list dari 50 paragraf
tersebut:
Dalam
paragraph utama dan kedua, dijelaskan bahwa
terjadi sebuah pesta perpisahan yang diadakan oleh Denny Yomaki, seorang
pekerja Hak Asasi Manusia (HAM). Awal mula tujuan Eben ke Indonesia, tepatnya
di Papua adalah untuk mempelajari kekeringan El Nino yang melanda wilayah
tersebut. Namun sayangnya, beliau datang pada saat yang tidak tepat. Beliau datang
pada saat Papua musim hujan. Menurutnya, tidak etis saja dalam musim hujan
membahas tentang kemarau. Namun, pada
saat beliau tiba di Papua, Irian Jaya menjadi Papua, dan Papua itu sendiri ingin
merdeka. (paragraph ketiga, keempat dan kelima)
Mungkin
hal ini disebabkan pembantaian massal oleh militer Indonesia yang mana
mahasiswa yang ditembak karena ingin bersikap kritis dengan konflik Papua dan
puluhan demonstran yang hanya membawa tangan kosong dibuang ke lautan. Hal ini
sangat sesuai dengan laporan yang disusun Asian Human Rights Commission (AHRC)
Hongkong menyatakan bahwa Indonesia menggunakan helicopter yang disuplai dari
Australia dalam genosida di Paua Barat paa tahun 1970-an. Bukan hanya itu saja,
bahkan ada dua helicopter milik Amerika Serikat
yang dikerahkan militer Indonesia ke Papua.
Dalam
hal ini, menyebabkan sekitar 4000 lebih warga Papua tewas akibat serangan udara
dari helicopter milik Amerika Serikat. Dalam laporannya juga memaparkan bahwa
penduduk yang selamat memberitahu AHRC bahwa pasukan memaksa warga Papua untuk memakan tinjanya sendiri, sementara
mereka yang ditahan oleh militer dipaksa berbaris dan ditembaki secara membabi
buta. Serta, wanita Papua juga tidak luput dari tindak kekerasan seksual. Bahkan
ada sebagian wanita yang dikubur, dibakar, bahkan direbus hidup-hidup. Dan pada
laporannya juga termasuk mantan presiden Soeharto yang terlibat dalam
pembunuhan massal Papua Barat.
"Lamanya
pemerintahan otoriter di bawah Soeharto telah benar-benar membungkam rakyat
Indonesia untuk tidak membahas sejarah kelam terkait Papua," kata Basil
Fernando, direktur AHRC untuk pengembangan kebijakan dan program.
"Tanpa
kesadaran dari pemerintah dan masyarakat Indonesia akan kebobrokan yang terjadi
di Papua, konflik di daerah itu akan terus terjadi. Seharusnya ada usaha
sendiri dari pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi rakyat Papua, salah
satunya adalah dengan memenuhi hak mereka akan kebenaran," lanjut
Fernando.
Sementara
itu, Jennifer Robinson dari International Lawyers for West Papua meyakini bahwa
laporan genosida Papua Barat yang dibuat AHRC "tidak terhingga
nilainya".
"Sudah
terlalu lama Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan komunitas internasional
mengabaikan penderitaan rakyat Papua Barat akibat kejahatan Indonesia. Tanpa
kesadaran dan keadilan, tidak akan ada kedamaian di Papua," kata Robinson.
Setelah itu, Eben memahami bahwa
mengapa banyak orang Papua ingin mengambil jalan kemerdekaan bukan reformasi. Dan
Eben pada saat itu menyadari bahwa banyak orang Papua yang mencarinya sebagai
teman dan mungkin Eben bisa untuk membantu orang Papua untuk mencapai kebebasan
dari terror dalam rezim Indonesia. Dari kisah itu pula, dapat difahami bahwa
aksi genosida tersebut terdapat unsure jual beli senjata antara Amerika-Indonesia,
dimana Amerika menunjukkan dirinya sebagai Negara Adikuasa yang mampu menunjukkan
kehebatan teknologinya.
Kembali ke pesta perpisahan, Eben berbicara dengan Telys
Waropen yang merupakan anggota Komnas HAM. Meskipun diantara mereka belum
saling mengenal, namun Waropen diundang ke pestanya Eben dan Denny. Telys Waropen,
yang juga merupakan penghasut muda di era 20-an. Waropen berasal dari Wasior,
tempat dimana polisi Indonesia melakukan serangan berkelanjutan “Operasi
Penyisiran Dana Penumpasan”. Akhirnya, Denni dan Eben memutuskan untuk
menyelidiki agen militer Indonesia mendukung milisi Papua secara sembunyi. (paragraph keenam dan ketujuh)
Meskipun dalam penelitian Eben dan Denny berada di bawah
pengawasan, mereka hanya ingin mewawancarai orang-orang yang ingin mengambil
resiko untuk menceritakan kisah mereka. Dalam penelitiannya, mereka juga
bermaksud untuk mewawancarai seorang dukun terkenal di pegunungannya. Namun,
karena hal itu terlalu beresiko akhirnya mereka membatalkan ambisi tersebut. Waropen
yang merupakan sumber penting yang dapat membantu memenuhi beberapa kesenjangan
dalam penelitian Eben, akhirnya Eben memutuskan untuk mewawancarai Waropen. (paragraph kedelapan, Sembilan dan sepuluh)
Dalam paragraph kesebelas dan
duabelas tentang wawancaranya, Waropen bertanya tentang nilai
penelitiannya seperti “bukankah data anda menjadikan lebih juat jika anda
mengutip sumber-sumber yang kredibel?” sungguh hal itu membuat sedikit
tersinggung di hati Eben. Kemudian, melakukan penelitian lapangan di Papua
barat telah membawa Eben bahwa pentingnya menjaga sumber anonym bukan hanya
sebagai sarana untuk menghindari omong kosong birokrat. Jelas, sebagian orang
Papua seperti Waropen menginginkan kutipannya diakui sebagai intelektual public.
Tentu hal ini menjadikan Eben untuk menjadi pribadi yang professional, hokum,
dll.
Paragraph ketigabelas, Sumber anonym dipandang dengan
rasa kecurigaan dan penuh misteri oleh pembaca surat kabar dan majalah. Jurnalis
dan editor biasanya menggunakan satu set ketat untuk menentukan kapan ia harus
menggunakan anonym (Boeyink: 1990). Dalam hal ini, adalah bagimana jurnalis dan
penerbit melindungi diri dalam gugatan pencemaran nama baik. Oleh karenanya,
Eben memahami bahwa pentingnya menjaga sumber anonym tergantung pada konteks
dimana harus digunakan.
Terkait dengan Waropen yang menanggapi keandalannya Eben,
Eben mencoba untuk menunjukkan kepadanya bagaimana kritik budaya yang structural
mungkin yang menawarkan perspektif yang fresh tentang konflik di Papua barat. Hal
ini disebabkan Waropen memandang Eben sebagai sekutu yang berkompeten. Ketika perbincangan
antara keduanya mulai memanas, Eben memulai berdalih dengan Waropen, bahwa
pasti ada kasus dimana hak asasi manusia melaporrkan identitas korban dan saksi
harus dilindungi. Tiba-tiba waropen berkata “jangan gunakan data anda hanya
sebagai bantal dan pergi tidur ketika anda kembali ke Amerika. Jangan
menggunakan jembatan ini untuk peluang professional anda sendiri.” (paragraph keempatbelas dan limabelas)
Hal itu
menjadikan Eben semakin panas untuk menjadi seorang ahli regional yang handal. Waropen
meminta Eben untuk memikirkan kembali apa yang dihitung sebagai data dalam
antropologi budaya. Waropen mendorong dan memaksa Eben untuk menjadi lebih baik
dan otoritatif. Waropen juga menantang Eben untuk megetahui hal-hal penting dan
mengenal Papua lebih baik. (paragraph ketujuhbelas)
Pada paragraph
selanjutnya (paragraph kedelapanbelas), Waropen
mendorong Eben untuk mengungkap apa di balik tabir kondisi Papua ini. Jadi,
fakta data yang digunakan lebih untuk diutamakan sebagai bukti kepada public tentang
apa yang sebenanya terjadi di Papua. Terkait dengan paragraph
kesembilan belas, menjelaskan tentang permasalahan yang terjadi karena
suatu pihak perusahaan yang bernama BP (British Petroleum) menjadi Beyond
Petroleum. Sedangakan paragraph duapuluh
menjelaskan tentang kekerasan yang terjadi di BP (Beyond Petroleum).
Paragraph selanjutnya
(duapuluh satu) bahwa pada ahir Mei 2003, John
Rumbiak memintanya untuk mengahdiri pertemuan di markas London BP dengan Dr.
Byron Grote, kepala Financial Officer. Dalam perjalanannya menuju markas
London, Eben banyak bercerita tentang kisahnya dalam perjalan tersebut, yang
salah satunya adalah Eben diminta untuk menunggu pendamping di sofa mewah
sebelum memasuki ruangan sempit dengan
CFO Byron Grote dan John O’Reilly. (paragraph duapuluh
dua dan duapuluh tiga)
Dalam paragraph duapuluh empat,
Eben mendapat informasi dari Rumbiak bahwa agan rahasia militer Indonesia bertekad
untuk memprovokasi kekerasan sampai mereka member kontrak keamanan. Kemudian,
Eben berdalih kepada dirinya setelah dia menemukan fakta –fakta bahwa
perusahaan tersebut bisa menjadi kekuatan untuk mengesampingkan militer Indonesia
di Papua barat. (paragraph keduapuluh lima dan keduapuluh
enam)
Dari artikel tersebut, dapat disimpulkan bahwa peristiwa
yang tidak berperikemanusiaan ini terjadi karena ketidakpuasan penduduk Papua
terhadap pemerintah. Padahal pemerintah sudah memberikan rasa peduli dan simpatinya
terhadap Papua, seperti apa yang diucapkan dalam pidatonya Sukarno:
Yang dinamakan tanah air Indonesia ialah
segenap wilayah yang dulu
dijajah oleh pihak Belanda,
yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu
dinamakan Nederlands Indiƫ.
Itulah wilayah Republik Indonesia.
Dengarkan benar kataku, itulah wilayah
Republik Indonesia.
Itu berarti bahwa sejak 17
Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam wilayah Republik Indonesia.
weaknesses as reader:
strengthness as reader:
- belum memiliki background knowledge yang lengkap tentang Sejarah Papua sebelum membaca artikel Eben Kirksey, jadi membuat pembaca kaget mendengar sebagian kisah yang diceritakan oleh Eben,
- ada beberapa cerita yang menurut pembacasulit difahami sehingga harus berulang-ulang kali membaca cerita tersebut,
- belum memahami alur cerita Eben, flashback kah, maju, atau mundurnya,
- pemahaman mengenai tokoh terlalu banyak dalam cerita sehingga membuat pembaca bingung.
strengthness as reader:
- sangat tertarik ketika mendengar paragraf awalnya tentang pesta, yang didalamnya berisikan penelitian Eben, sehingga membuat penasaran,
- judul artikel nya sangat amazing, membuat pembaca semakin penasaran apa yang ada di dalam artikel tersebut.
0 comments:
Post a Comment