8th
Class Review
Written by Muhammad Saefullah
Bagaikan
seorang Jose Morinho yang selalu punya target untuk tim asuhannya. Ceruk-ceruk
baru harus diteroka oleh kita sebagai kaum akademisi di Pendidikan Bahasa
Inggris, jangan sampai pemain sekuat asuhan Mr.Lala dangkal akan informasi. Setengah
musim yang sudah dijalani ini memberikan tamparan yang sangat keras untuk
merebut gelar ‘The Winner’ dalam kompetisi Writing & Composition 4. Selaku
pelatih, Mr.Lala ingin timnya ini bisa melenggang bebas dan menyelesaikan
permainan yang tinggal menghitung bulan lagi. Setengah musim kedepan pemain
digadang-gadang akan diuji dengan sejarah dilematis yang ada di Negara
Indonesia hingga sekarang.
Jum’at
04 April 2014 menjadi saksi bisu dalam janji kebangkitan setengah musim nanti.
Berbagai puing-puing inspirasi bertebaran untuk memberikan suntikan semangat
kepada para pemain, sorotan mata begitu tajam terfokus kepada pelatih yang baru
datang dari tournya musim ini. Beberapa hal yang perlu disimpan dalam memori
pemain ketika berlaga di lapangan ialah salah satunya focus. Dengan
kekuatan yang on fire pemain dalam Writing & Composition 4 harus bisa
mengatur konsentrasinya saat berlaga, disamping itu juga menurutnya tidak ada
pemain bintang writing yang sukses tanpa adanya commitment dalam sesi
latihan maupun sesi pertandingan. Pemain yang siap menghadapi laga yang begitu
ekstim pastilah harus tahan banting (perseverance) untuk menghadapi
berbagai tantangan, satu hal yang harus diperhatikan ialah teamwork.
Tidak pernah ada club yang sukses menyabet gelar jaura tanpa adanya teamwork
dari pemain, hal ini juga berlaku dalam Writing & Composition 4. Buat apa
banyak pemain bintang yang bertaburan dalam menulis sedangkan kerjasama antar
timnya itu tidak ada, lebih baik melatih pemain yang biasa-biasa saja tapi
punya teamwork dan semangat yang tinggi.
Jemari
terus melenggang bebas di arena lapangan yang siap akan ide-ide. Tak
henti-hentinya teriakan diberikan untuk semua pemain yang siap berlaga, sesi
latihan yang ke-8 kemarin nampaknya menjadi buih yang brilliant untuk
mengembangkan wawasan kita terhadap tanah air Indonesia. Dialah Papua yang
menjadi warming up dalam setengah musim nanti dan diprediksi akan menjadi
trending topic di kalangan akademisi bahasa Inggis. Kita akan mengungkap
wilayah paling ujung dari Negara Indonesia ini yang begitu kaya dengan alamnya.
Group-group
kecilpun dibagi oleh Mr.Lala untuk meneliti salah satu artikelnya S. Eben
Kirksey yang berjudul Don’t Use Data as a Pillow. Artikel ini mengungkap
Papua yang dilihat dari berbagai sudut pandang berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh pengarang. Judul yang tersemat di atas paragraf pertama ini
terlihat begitu elegant dan penuh arti, berbagai ekspektasi dari setiap group
mewarnai tentang judul dari artikel Eben. Divisi atas yang berjumalah 7 group
ini sangat spektakuler dalam memprediksi sebuah judul yang sulit, tak heran
jika artikel tentang Papua ini telah menjelma menjadi sosok yang menghipnotis
dan membuat penasaran pembaca untuk mencari tahu lebih lanjut.
Berawal
dari group kecil pertama yang diwakili oleh Ms.Qori, mereka berpendapat bahwa
istilah yang digunakan pengarang yaitu kata “Data” diibaratkan sebagai suatu
kuburan dan “Pillow” berperan sebagai hal yang menutupi. Dianalogikan data
merupakan suatu kebenaran yang terkubur selama ratusan tahun, tidak ada satu
orangpun yang mengetahuinya. Hal ini disebabkan karena tertutupinya oleh sebuah
sandungan yang abadi menutupi semuanya. Kemudian menurut group kedua “Data” ini
diibaratkan sebuah informasi yang tidak pernah terungkap, sedangkan “Pillow”
sendiri telah menghalangi informasi untuk dipublikasikan kepada masyarakat yang
belum tau apa-apa. Group ketiga menduga bahwa “Data” itu sebenarnya sesuatu yang bisa menguntungkan (evidence)
sekelompok yang bersifat kecil maupun besar, kemudian tidak bisa memberi
manfaat kepada orang disekitarnya karena tertutupi oleh sebuah hal “Pillow”.
Kemungkinan yang selanjutnya datang dari group keempat, mereka berasumsi bahwa
“data” yang digunakan di dalam judulnya Eben itu merupakan sebuah informasi,
namun informasi itu lagi-lagi tidak dapat diketahui oleh banyak orang karena
ada faktor kata-kata “pillow” yang dalam bahasa Indonesia berarti bantal. Data
itu ilmu, dugaan itu datang dari group lima yang menganalogikannya dengan kata
“pillow”. Menurut group enam “data” itu sumber segala hal yang memberi banyak
manfaat namun tidak bisa diambil manfaatnya karena terhalang oleh “pillow”.
Dugaan terakhir yaitu dari kelompok tujuh yang berasumsi “data” itu merupakan
sebuah fakta.
Semua
dugaan yang telah muncul dari pemain Mr.Lala itu memang benar dan hampir
mencapai arti yang hakiki dari judul “Don’t Use Your Data as a Pillow ini.
Logika untuk memahami judul artikel ini bantal itu diibaratkan sesuatu yang
bersifat opsional, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak mungkin kerap kali
ingin tidur selalu menggunakan bantal/pillow. Bahkan, ada beberapa orang
yang hanya bisa tidup nyenyak tanpa adanya alas kepala yaitu pelatih kita
sendiri. Begitu juga dengan bukunya Eben ini, berbagai data yang dikumpulkan
dari Papua itu hanya digunakan sewaktu-waktu saja tidak selalu digunakan dalam
berbagai alasan. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang mubadzir, buat apa banyak
data tentang Papua tetapi jarang digunakan, percuma. Melihat sebuah Research
“data” itu merupakan sesuatu yang bersifat obligation atau wajib ada dalam
penelitiannya, sedangkan judul tersebut mengungkap data-data itu bersifat
opsional. Jangan sampai
data/penelitian itu menggunakan ornamen-ornamen saja untuk eksistensinya.
Warming up untuk membahas Papua pada
trivia quiz kemarin memang sudah menggugah hasrat para pemain writing untuk
meneliti lebih lanjut. Mendiskusikan wilayah ini sangatlah kompleks dan perlu
hati-hati untuk menelaah berbagai sumber, karena banyak pihak-pihak yang
menuliskan Papua dengan perspektif yang berbeda-beda. Papua Barat atau West
Papua merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan
merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua
masih berupa hutan belantara, pulau ini merupakan pulau terbesar ke-dua di
dunia setelah Greenlad. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari
Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea. Papua
memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi
penduduk hanya sekitar 2, 3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan
hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari
lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan
tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini
ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke
selatan.
Lika-liku wilayah Papua ini begitu
rumit dari jaman dahulu, begitu juga dengan penamaannya. Awalnya wilayah ini bernama
Irian Barat yang diberikan oleh presiden pertama yaitu Soekarno. Irian
mempunyai kepanjangan Ikut Republik Indonesia Anti Nederland, penamaan ini
bertahan dari tahun 1969-1973. Kemudian nama Irian Barat diganti oleh Presiden
Soeharto menjadi nama Irian Jaya, ketika meresmikan tambang tembaga emas dan
emas Freeport, nama itu tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama
provinsi tersebut itu diganti lagi menjadi Papua sesuai dengan Undang-Undang Khusus
Papua Nomor 21 Tahun 2001 pada tahun 2004. Berbagai aksi protes mewarnai
povinsi ini. Papua kemudian dibagi dua provinsi oleh pemerintah. Wilayah bagian
timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian Barat bernama provinsi Irian
Jaya Barat (kini Papua Barat). Penduduk asli Papua Barat merasa bahwa merka
tidak memiliki hubungan sejarah dengan Indonesia maupun dengan Negara Asia
lain.
Ada beberapa hal yang bisa kita
lihat dari nama Irian Jaya dengan Papua. Nama Irian Jaya yang dicetus oleh
presiden Soekarno beberapa orang berpendapat bahwa nama itu merupakan keinginan
penguasa, sehingga untuk meminimalisasi hal tersebut maka diganti dengan dengan
nama Papua Barat. Perubahan tersebut menurut Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno
penamaan pemekaran provinsi sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Otnus
tentu saja akan menyamakan penamaan provinsi seperti Papua Barat, Papua
Selatan, Papua Tengah.
Permasalahan Papua dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terjadi sejak permulaan integrasi
Papua ke dalam NKRI. Penyelesaian Papua Barat berlarut-larut bahkan tidak
selesai hingga 1961, sampai terjadi pertikaian antara Indonesia-Belanda untuk
memperebutkan wilayah tersebut. Melalui perjanjian New York, disepakati Papua
Barat diserahkan kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA). Kemudian pada tangal 1 Mei 1963 Papua Barat diserahkan
sepenuhnya kepada Indonesia, kedudukan papua Barat menjadi lebih pasti setelah
diadakan sebuah referendum act of free choise pada tahun 1969. Proses
integrasi yang diadakan melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA) di tahun
1969 ini telah menghasilkan bahwa Papua itu termasuk ke dalam wilayah
Indonesia.
Sosok presiden Soekarno dalam
mempertahankan Papua sebagai satu kesatuan NKRI tidak bisa terlepaskan. Peranan
Ir.Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 telah mencetuskan operasi TRIKORA
yang bertempat di alun-alun Utara Yogyakarta. Isi TRIKORA yaitu:
1.
Gagalkan pembentukan Negara Papua oleh Belanda
2.
Kibarkan merah-putih di Irian Barat tanah air Indonesia
3.
Bersiap untuk mobilisasai umum
Trikora merupakan sebuah operasi
yang bertujuan untuk mengembalikan wilayah Papua Barat ke NKRI. Trikora muncul
karena adanya kekecewaan dari pihak Indonesia yang selalu gagal dalam
perundingan dengan Belanda untuk mengembalikan Irian Barat yang secara sepihak
diklaim sebagai salah satu provinsi kerajaan Belanda. Soekarnopun berhasil
mengadakan perjanjian jual beli senjata dan peralatan tempur buatan Amerika,
dengan berhasilnya mendatangkan peralatan militer yang banyak Indonesia
menjelma menjadi Negara yang memiliki angkatan udara terkuat di bumi bagian
selatan. Soekarno juga membentuk komando MANDALA yang dikomandani oleh Mayjen.
Soeharto yang bertugas untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian Barat dengan Indonesia. Untuk
melakukan tugas tersebut Mayjen. Soeharto menerapkan strategi Infiltrasi
(penyusupan), Eksploitasi, dan Konsolidasi.
Kolonialisasi yang telah dilakukan
Belanda terhadap Papua telah menyebabkan konflik hingga saat ini. Bahkan suatu
organisasi yang ada di Papua yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ingin memisahkan
diri dari NKRI telah banyak berperan salah satunya sebagai pendukung dari kemerdekaan
Papua. Organisasi Papua Merdeka mencoba memproklamirkan kemrdekaan Republik
Papua Barat namun tidak berhasil. Kemudian pada tanggal 14 Desember 1984
Republik Melanesia Raya diproklamirkan tapi pemimpinnya ditangkap aparat
Indonesia.
Organisasi Papua Merdeka berdiri
pada tahun 1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan
pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di
Indonesia. Orgainisasi ini menggelar kampanye di sejumlah Negara seperti
Belanda dan Australia ini menunjukkan keseriusan mereka unutk melepaskan diri
dari NKRI. OPM berdalih bahwa “Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan
apapun: rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan dan organisasi
pemerintahan. Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan
Mammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New People’s Army beraliran
Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan
Nasional Amerika Serikat, organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia.
Rakyat papua yang tergabung dalam
OPM menyuarakan keadilan di atas tanah Papua dihancurkan secara sistematis.
Atas nama keutuhan NKRI, pembunuhan, penghilangan, dan pemerkosaan rakyat Papua
dilegalkan. Sumber Daya Alam terutama hasil hutan, laut, tambang, dan minyak
bumi dikeruk sampai tidak ada sisa. Eksploitasi sumberdaya alam di tanah Papua
terus berlangsung, sementara manusia Papua terabaikan bahkan terlupakan.
Akibatnya, penduduk dan orang Papua yang berdiam di tanah ini tercatat sebagai
manusia termiskin di Indonesia. Orang papua berteriak karena setelah sekian
tahun bergabung dengan Indonesia mereka tidak mengalami kemajuan apa pun.
Pembangunan yang dilakukan di Papua dinikmati oleh kaum imigran yang tinggal di
kota-kota di Papua. Sementara orang Papua sendiri semakin termarginalkan tidak menikmati
apa pun. Namun, setiap gejolak yang muncul selalu ditafsirkan sebagai upaya
untuk memisahkan diri dari NKRI. Entah mengapa Indonesia selalu takut dan alergi terhadap tuntutan orang Papua
untuk memisahkan diri, kalau pembangunan berjalan dengan lancar, kalau saja
orang Papua diperhatikan, kalau saja orang Papua derajat dan martabat hidupnya
dihormati tentu tudak aa suara-suara merdeka/referendum “ngapain orang Papua
berteriak merdeka, akalu mereka sudah sejahtera?”.
Profesor Massachusetts Institute of
Technology (MIT) Noam Chomsky juga ikut berpendapat tentang gejolak yang ada di
papua. Chomsky menilai Amerika Serikat dan Australia berada di balik Papua
Barat, menurutnya kedua Negara itu melakukan skandal besar mengenai masalah
papua. “Saya piker perlawanan Papua Barat akan berdiri dengan kasus lainnya
dalam perlawanan terhadap terror dan penindasan besar-besaran sebagai inspirasi
dari apa yang manusia dapat capai dan itu belum mungkin berhasil. Juka
(Negara-negara merah) barat bersedia untuk menghadapi tanggung jawab dan tindakan
itu, hal ini dapat berhasil” ungkap Chomsky. AS dan Australia menurutnya
ialah sebagai aktor utama dibalik skandal Papua Barat karena kepentingan atas
sumber daya alam. Indonesia hanyalah sebuah Negara yang disupport oleh Amerika
Serikat unutk menjalankan skandal tersebut. Amerika menurut Chomsky mendukung
demokrasi dan kebangsaan bagi semua namun bersekutu dengan organisasi
non-demokratis dan represif seperti Chilli di bawah Augusto Pinochet yang
merupakan pelanggaran HAM besar-besaran.
Orang Papua yang mempuyai pemikiran
dan tindakan yang kritis selalu dicap sebagai separatis. Bentuk kecurigaan
pemerintah RI terhadap orang Papua termanifestasi dalam dan melalui kehadiran
aparat militer yang tidak dapat dihitung. Di mana-mana di tanah Papua dibangun
pos-pos militer untuk mengawasi gerak hidup orang Papua. Akibatnya, orang Papua
tidak merasa nyaman di atas tanah airnya sendiri. Papua sudah hidup menderita,
selalu diawasi, dan diberi aneka stigma negatif, bagaimana rasanya gidup
menderita di atas tanah yang kaya raya? Bagaimana menyaksikan orang lain hidup
kaya raya sementara para pemilik tanah ini hidup melarat.
Secara pribadi, jika dari pemerintah
Indonesia masih saja membiarkan dan tidak ada tindakan represif apapun untuk Papua,
Merdeka memang sudah menjadi harga mati untuk tanah Papua. Pasalnya berbagai
aktifitas yang dilakukan oleh para investor-investor asing sudah mengeruk
kekayaan yang ada di Papua namun pribuminya sendiri menderita, pantas saja
Papua mencari dukungan dari Negara-negara lain untuk merdeka. Akan tetapi, jika
para pejabat masih ingin Papua itu menjadi bagian dari NKRI tentu wilayah yang
kaya itu tetap akan dipertahankan dengan berbagai cara. Jangan sampai wilayah
yang sudah direbut dengan penuh perjuangan lepas begitu saja, pemerintah akan
mengadakan konsolidasi dengan OPM untuk mengambil jalan tengah agar terjadi
kesepakatan bersama.
Akhirul Kalam, dapat disimpulakan
bahwa dari pembahasan di atas Papua memanglah wilayah yang mutlak milik Negar
Indonesia. Berbagai perjuangan telah dilakukan oleh pejuang termasuk sosok
Soekarno lewat TRIKORA untuk mempertahankan tanah Papua, jangan sampai orang
lain yang menginginkan kekayaan alam mengobok-obok Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jika tanah Papua ingin kemerdekaan tentu kita sebagai masyarakat
yang sadar akan budaya literasi merenungi kenapa bisa seperti itu, pemerintah
juga mesti bertindak represif untuk menyingkapi kemungkinan Papua ke depan
bagaimana. Sudah cukup adanya Freeport itu menjadi mimpi buruk bangsa Indonesia
yang tak terprediksi entah kapan selesainya.
REFERENCES
https://www.facebook.com/InfoPengetahuanUmum/posts/399973453417669 Diunduh pada tanggal 05 April
2014 jam 13.30 WIB.
http://www.umaginews.com/2013/06/mengapa-orang-papua-ingin-merdeka.html
Diunduh pada tanggal 05 April 2014 jam 13.30 WIB.
http://tatoarai.blogspot.com/2013/12/as-dan-australia-aktor-di-balik-papua.html
Diunduh pada tanggal 05 April 2014 jam 13.30 WIB.
http://indomiliter.mywapblog.com/trikora-operasi-pembebasan-irian-barat.xhtml
Diunduh
pada tanggal 05 April 2014 jam 13.30 WIB.
http://hankam.kompasiana.com/2011/12/01/siapa-di-balik-gerakan-opm-415202.html
Diunduh
pada tanggal 05 April 2014 jam 13.30 WIB.
http://www.myheritage.com/FP/newsItem.php?s=11319482&newsID=42
Diunduh pada tanggal 05 April 2014 jam 13.30 WIB.
Tanggapan Terhadap Salah Satu Artikelnya Eben Yang Berjudul Don’t Use
Your Data as a Pillow:
Untuk memahami artikelnya Eben memang butuh
konsentrasi penuh, salah satu kata yang disematkan pada judulnya yaitu kata
“data”. secara linguistik, menurut buku yang dikarang oleh Mikko Lehtonen bahasa
dan sistem yang lainnya itu merupakan simbol yang tidak bisa ada di dunia
secara abstrak, keberadaan data itu tentunya ditulis dengan bahasa yang tersusun
secara benar. Konsep dari bahasa itu sendiri tidak dalam hal tulis menulis dan
berbicara saja, namun konsep dari bahasa itu berkembang meliputi gambar dan
musik. Salah satu jalan untuk membagi text kedalam verbal and non verbal itu
bisa dilihat dari hal yang ditulis atau dibicarakan.
Pembahasan yang ada di
artikelnya Eben ini mempunyai relasi dengan apa yang ada di buku Lehtonen.
Menulis dan berbicara tentang data itu ditandai karena verbal mereka, menulis
juga bisa dibandingkan sebagai tipe dari teks visual dan berbicara sebagai tipe
dari teks pendengaran. Selain itu, pembahasan tentang kualitas pendengaran dan
visual ditekankan pada fakta dan teks itu sendiri yang selalu jelas dilihat
dari mata dan pendengaran. Data yang dimuat oleh Eben tentang Papua itu juga
bisa termuat dalam dua bentuk yaitu verbal dan non-verbal. Data verbal
dikategorikan melalui pendengaran itu bisa lewat berbicara, sedangkan lewat
visual dilihat dari proses menulisnya. Sedangkan data non-verbal pendengarannya
itu meliputi music dan penglihatannya dengan gambar, begitu juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh Eben di Papua.
Secara garis besar, artikel yang baru dibaca sampai paragraph 26 ini menceritakan
penelitiannya di tanah Papua untuk melengkapi salah satu tugas akhirnya untuk
lulus dari pascarjana di salah satu Universitas. Eben datang ke Papua sebanyak dua
kali, pertama pada tahun 1998 dan datang lagi pada tahun 2003 di bulam mei.
Pada akhir penelitiannya Eben menggelar pesta adat yang dikomandoi oleh Deni
Yomaki dengan berbagai persiapa, menurutnya pesta ini hanyalah pesta yang
sederhana jika di Amerika. Namun di Papua pesta yang digelarnya sangatlah
mewah.
Eben datang ke tanah
Papua sebenarnya untuk meneliti dan berharap datang tepat pada musim panas,
tetapi prediksinya meleset karena kebetulan pada saat itu di tanah Papua sedang
musim hujan. Secara garis besar, artikelnya ini ingin meneliti tentang
seluk-beluk Papua dari berbagai aspek untuk nanti disajukan di siding akhirnya.
Di tanah Papua,
penelitiannya dilakukan dengan datang langsung ke salah satu tempat yang ada di
sana yaitu Wasior. Di Wasior Eben bertemu dengan seorang yang bernama Waropen
yang bekerja sebagai komnas HAM di Papua. Banyak cerita-cerita yang di dengar
oleh peneliti tersebut tentang Papua salah salah satunya tentang kekerasan yang
ada. Kekerasan yang ada seperti genosida, penembakan militer kepada mahasiswa
yang protes dan yang lain sebagainya. Kekerasan ini justru menimbulkan
pertanyaan kenapa dilakukan oleh militer Indonesia sendiri, operasi yang dilakukan
oleh militer tentu membuat rakyat Papua merasa gentar dan tidak bebas untuk
bergerak di wilayahnya sendiri.
Jangan gunakan data kamu
sebagai bantal memang judul yang membuat penasaran pembaca. Hal ini telah
dikutip secara eksplisit bahwa Waropen kurang begitu setuju dengan apa yang
dilakukan oleh Eben tentang penelitiannya. Alasan yang diungkapkan menurtu
Waropen jangan hanya menggunakan penelitiannya sebagai jembatan untuk peluang
professional Eben sendiri. Di sampiing itu ceruk baru yang ditemuakan juga
yaitu mewawancarai dukun yang ada di Papua. Ekspektasi yang ada dukun-dukun itu
menyebabkan adanya gempa di pusat Jawa unutk menegakkan pesawat militer
petingi. Tentulah untuk mendapatkan data yang jelas ini eben tidak serta merta
menyebutkan identitasnya, suatu hal yang wajib untuk menyembunyikan identitas
yang ada (anonym) agara tidak bisa digugat jika ada yang salah, menurut Eben.
Strengths as a
Reader:
1.
Membacanya terasa benar-benar masuk dalam suasana buku sebagai
pembaca.
2.
Artikel eben membuat penasaran pembaca khususnya bagi rakyat Indonesia
yang masih minim sisi terang dan gelap wilayah Papua.
3.
Untuk memahami tokoh-tokoh sedikit terhambat dalam artikelnya.
Weakness as a reader:
1.
Kata-kata yang digunakan sulit untuk dipahami sehingga butuh pemahaman
yang lebih.
2.
Urutan kejadian memaksa kita harus
banyak mencari informasi karena berkaitan dengan sejarah.
3.
Judul yang digunakan itu kaya akan imajinasi, sehingga tidak langsung
paham.
4.
Ide-ide terlalu banyak sehingga untuk menggabungkannya harus hati-hati.
5.
Paragraf pertama diawali dengan sebuah pesta, hal ini mengakibatkan
saya sebagai reader susah untuk langsung menangkap isi dari artikel.
0 comments:
Post a Comment