By MAJID
Polemik mengenai papua ( dulu irian Jaya ) dari dulu hingga
sekarang masih saja hangat untuk diperbincangkan. Pada saat penjajahan belanda,
papua sudah menjadi rebutan dari banyak negara jajahan, seperti inggris,
belanda dan termasuk didalamnya negara yang waktu itu baru saja lepas dari
jajahan belanda, yakni Indonesia. Hal ini disinyalir kuat karena kekayaan atau
sumber daya alam yang dimiliki oleh papua (Papua disebut sebagai Gold Island). Selain itu konflik antar warga dengan militer
Indonesia pada zaman rezim soeharto, yang menyebabkan tumbangnya banyak warga
Papua di tangan militer Indonesia, dan pembantaian terhadap demonstrator yang
tak bersenjata yang disebabkan oleh aksi protes warga yang terlalu kritis
terkait konflik papua. Yang menjadi pertanyaan krusial adalah mengapa papua
pada saat itu bersikeras ingin memisahkan diri dari negara Indonesia ? Mengapa
papua menginginkan kebebasan, bukan reformasi ? Pada hakikatnya banyak hal yang
ditutup-tutupi terkait sejarah papua ini. Nah disini, Penulis ingin mencoba
menguraikan mengenai kasus papua, dan bagaimana kasusnya hingga sekarang, juga kaitannya dengan S. Eben Kirskey,
seorang Mahasiswa dari Universitas California, yang datang ke Papua untuk
melakukakan penelitian. Eben telah menulis artikel yang berjudul “Don’t use
your Data as a Pillow”, yang konten didalamnya secara garis besar menguraikan
tentang kasus-kasus yang terjadi di papua. Selain itu, penulis juga akan
mencatat beberapa hal yang tidak dimengerti oleh penulis mengenai konten dari
artikel Eben Kirskey tersebut.
Kontroversi nama Papua, Papua bagian barat dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada
tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi
oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat).
Sejarah Papua barat dalam kaitannya sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia sangatlah unik. Walaupun Papua “agak terlambat”
diakui oleh dunia internasional sebagai bagian dari NKRI, namun sebenarnya
sejak awal penduduk Papua sudah merupakan “Keluarga Besar” penduduk yang
mendiami wilayah Nusantara yang kemudian bergabung dan membentuk Negara
Indonesia.
Pada dasarnya Indonesia dengan papua sama-sama dijajah oleh Belanda. Tapi, jika dilihat dari lama penjajahan, cara di jajah, system yang di pakai oleh belanda saat di jajah semuanya itu berbeda. Lama penjajahan di Indonesia selama 350 tahun sedangkan papua kurang lebih dari 63 tahun. Ketika papua dijajah oleh Belanda, papua merasa bukan bagian dari Indonesia. Mereka berjuang sendiri untuk kemerdekaanya sendiri. Sama-sama berjuang untuk merdeka. Rakyat Papua berjuang untuk Papua merdeka sedangkan rakayat Indonesia berjuang untuk Indonesia merdeka.
Pada dasarnya Indonesia dengan papua sama-sama dijajah oleh Belanda. Tapi, jika dilihat dari lama penjajahan, cara di jajah, system yang di pakai oleh belanda saat di jajah semuanya itu berbeda. Lama penjajahan di Indonesia selama 350 tahun sedangkan papua kurang lebih dari 63 tahun. Ketika papua dijajah oleh Belanda, papua merasa bukan bagian dari Indonesia. Mereka berjuang sendiri untuk kemerdekaanya sendiri. Sama-sama berjuang untuk merdeka. Rakyat Papua berjuang untuk Papua merdeka sedangkan rakayat Indonesia berjuang untuk Indonesia merdeka.
Umur sejarah “Bangsa
Papua” baru 19 hari setelah di
proklamirkan di Manokwari pada tahun 1961, dan di Alun-alun Utara di jogja pada
Tanggal 14 Desember 1961 bersamaan
dengan ditetapkannya suatu komando tertinggi (KOTI) Pembebasan Irian Jaya barat.
president RI (Sukarno) Berpidato, mengeluarkan
Maklumat/Mendeklarasikan Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) yang berisi :
1.Gagalkan Negara
Boneka buatan Belanda
2.Bersiaplah untuk
Memobilisasi Umum
3.Kibarkan Bendera
Merah Putih di seluruh pelosok Tanah Papua.
Padahal
disana, di tanah papua telah lahir suatu Negara baru, pemerintahan yang baru
secara sah. Dengan kata lain, pada saat itu pula papua sudah bebas atau merdeka
berkat perjuangan mereka sendiri, bukan Indonesia. Terkait statement soekarno
pada point terakhir dari TRIKORA ini, Jadi wajar saja jika warga papua marah
dengan negara RI. Jadi Saat itu Bangsa Papua, merdeka di Papua dan terjajah di
jogja sampai hari ini.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah Mengapa Papua menginginkan
kemerdekaan sendiri bukan reformasi ? Jawabannya adalah karena mereka tidak
puas dan ada ketidakadilan. Impian yang dideklarasikan OPM adalah mendirikan
“Republik Papua Barat” gabungan Propinsi Papua dan Papua Barat. “Republik Papua
Barat” dideklarasikan setelah Belanda mundur, antara lain akibat tekanan dari
negara adidaya Amerika Serikat- dari Bumi Cenderawasih, pada 1963.
Organisasi Papua Merdeka (OPM, 1965) bertujuan untuk membantu dan
melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, memisahkan diri dari Indonesia,
dan menolak pembangunan ekonomi dan
modernitas. Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New People's Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen
Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Pada 1 Juli 1971, OPM
kembali mencoba memproklamirkan kemerdekaan Republik Papua Barat, namun tak
berhasil. Kemudian,14 Desember 1984, Republik Melanesia Raya diproklamirkan, tapi pemimpinnya ditangkap aparat Indonesia.
Penyelesaian status Papua Barat berlarut-larut, bahkan tidak selesai hingga
1961, sampai terjadi pertikaian bersenjata pada Desember 1961 antara
Indonesia-Belanda, untuk memperebutkan wilayah tersebut. Melalui Perjanjian New
York, akhirnya disepakati untuk sementara Papua bagian Barat diserahkan kepada
PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebelum
diberikan sepenuhnya kepada Indonesia, 1
Mei 1963.
Inilah satu hal yang sangat mengejutkan. Berdasarkan data yang
penulis kutip dari situs INILAH.com, seorang papua yang bernama Herman dogopio,
mendeklarasikan statemennya, setelah mengetahui rumor mengenai statement SBY
pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa ia setuju Papua medeka setelah
pemerintahannya?.
Pada 1969, ketika Papua baru enam tahun kembali ke pangkuan Ibu
Pertiwi, sejumlah laki-laki rakyat Papua masuk ke hutan. Mereka tidak puas dan
mempertanyakan manfaat dari Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dibentuk
oleh PBB dan hasilnya menguntungkan Indonesia. Menghadapi 'pemberontakan' itu,
TNI yang dipimpin Brigjen Sarwo Eddhie Wibowo (kini almarhum), menerjunkan
pasukan TNI ke sejumlah tempat yang menentang PEPERA.
Yang mengesankan sehingga tak bisa dilupakan Herman Dogopio, anak
buah almarhum Sarwo Eddhie, bahwa Sang Jendral (almarhum) tidak pernah bertindak kasar apalagi membunuh
sekalipun yang mereka temui orang Papua yang membenci Indonesia.
Keadaannya sangat berbeda dengan situasi saat ini. Tak ada lagi
pendekatan seperti yang dilakukan oleh Belanda maupun pasukan anak buah Sarwo
Eddhie. Jenderal almarhum ini, merupakan mertua dari Presiden RI periode
2004-2014. Perubahan 180 derajat tersebut, kini semakin membuat rakyat Papua
ingin cepat-cepat lepas dari NKRI.
Selama 50 tahun rakyat Papua menjadi bagian dari jutaan penduduk
Indonesia, sudah tak terhitung nyawa anak Papua yang melayang akibat pembunuhan
oleh eksekutor Indonesia yang nota bene merupakan bangsanya sendiri. Anak
bangsa dibunuh oleh bangsa sendiri. "Hampir tak satu persoalan yang tidak
diselesaikan dengan cara kekerasan, termasuk pembunuhan. Sehinga menjadi
pertanyaan di kalangan kami, apa arti kemerdekaan dalam bingkai NKRI",
keluh Herman Dogopia, anggota Kaukus Papua dalam perbincangan dengan INILAH.COM
di Jakarta baru-baru ini. Perbincangan dipicu oleh adanya perkembangan politik
terbaru yang kental dengan keinginan memisahkan Papua dari NKRI.
Herman, ataupun para anggota Kaukus, yakin sekalipun secara
diplomatis Inggris menyatakan tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas
Papua, tetapi, menurut dia, Inggris bahkan negara manapun yang memahami
perlakuan Indonesia atas rakyat Papua akan selalu berpihak kepada gerakan anti
Indonesia.
Herman yang sehari-hari bekerja di Jakarta bahkan sudah menjadi
anggota salah satu partai peserta Pemilu 2014 tanpa ragu menegaskan dengan
agresifitas OPM, kemerdekaan Papua, terpisah dari NKRI tinggal soal waktu.
Kemerdekaan itu sudah ditunggu sebab pada hakekatnya seluruh rakyat Papua saat
ini sudah menjadi pendukung OPM.
"Saya berani bertaruh, sekalipun dia pejabat, mendapatkan
perlakuan istimewa dari pemerintah Jakarta, tetapi darah dan jantung mereka
sudah berubah menjadi anggota atau pendukung OPM", katanya. Alasannya
sangat sederhana. Pemerintah Indonesia yang mengendalikan Papua secara remote
dari Jakarta, tidak pernah mau melakukan dialog sehingga tidak paham atas
keadaan sebenarnya.
Ia selalu terkenang dengan almarhum Gus Dur. Presiden ke-4 RI itu, bersedia membuka dialog dengan
pemimpin OPM, termasuk merubah nama daerah itu dari Irian Jaya menjadi Papua.
Pertanyaan yang membayangi masyarakat Papua, mengapa dengan GAM (di
Aceh) pemerintah bersedia membuka dialog, tapi dengan OPM, tidak bersedia?
Herman mengakui eskalasi atau peningkatan atas keinginan untuk merdeka sempat
meredup. Tapi kemudian membara lagi setelah pemimpin OPM, Theys Eluay terbunuh.
Pada 11 Nopember 2001 ia ditemukan tewas di dalam mobilnya yang berada di luar
kota Jayapura. Keinginan menjadi merdeka, semakin membara terutama dipicu oleh
pernyataan Presiden SBY tahun 2011.
Menurut Herman, sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Papua
bahwa Presiden SBY tidak mau berdialog lagi dengan rakyat Papua. Entah apa
alasannya tapi yang pasti SBY sendiri sudah menyatakan setuju Papua merdeka.
Syaratnya: nanti setelah SBY tidak lagi menjadi Presiden RI. pemerintahannya.
"Kalian boleh merdeka, asalkan jangan di era pemerintahan
saya", kata Herman mengutip pernyataan Presiden SBY ketika bertemu dengan
para pemimpin agama dari Papua, 11
Desember 2011. Pernyataan yang tidak disampaikan kepada media itu kemudian
secara berantai diceritakan oleh para pemimpin gereja Papua yang menemui SBY di
Cikeas di ujung tahun 2011 tersebut.
Sebagai anggota Kaukus Papua, Herman menyatakan bahwa persoalan
Papua dalam NKRI saat ini memang sengaja dibiarkan oleh rezim Yudhoyono. Ia
masih bisa tersenyum sekalipun dengan muka kecut, sebab berbagai masalah yang
dibiarkan oleh rezim saat ini, ternyata bukan hanya persoalan Papua melainkan
banyak persoalan yang lainnya.
S. Eben Kirskey, seorang mahasiswa dari Universitas California, melalui artikelnya,
yang berjudul “Don’t Use Your Data as a Pillow”, menceritakan pengalamannya
ketika melakukan penelitian thesisnya di Papua. Dalam hal ini penulis akan
mencoba membahas per peragraf mengenai apa yang penulis mengerti dari substansi yang ada dalam artikel Eben
tersebut, dan penulis akan membahasnya dalam beberapa poin berikut :
• Pada tahun 1998, Eben Kirskey, datang pertama kali ke
Papua barat untuk melakukan penelitian untuk gelar thesisnya. Kedatangan Eben
ini disambut meriah oleh orang-orang papua, yang dibuktikan dengan perayaan
pesta kecil yang diselengarakan oleh Denny
Yomaki, pekerja KOMNAS HAM. Jamuan pesta ini digelar sebagai bentuk
apresiasi terhadap penelitian akhir yang dilakukan oleh Eben pada Mei 2003.
• Pada awal kedatangannya, ia berniat
untuk meneliti kekeringan yang ada disana (Papua), tetapi keadaannya tidak
tepat karena pada saat itu hujan turun, sehingga ia beralih untuk meneliti
mengenai papua, yakni ketika Irian jaya dirubah menjadi Papua. Ketika papua
menginginkan terlaksananya kemerdekaan bukan reformasi. Perlu dicatat bahwa
pada masa pemerintahan GUSDUR, beliau bersedia mengadakan diplomasi dan berdialog
secara terbuka dengan OPM. Gusdur memberikan kebebasan dan
menampung segala aspirasi dan pendapat warga Papua yang dibuktikan dengan
kembali bergantinya Irian Jaya menjadi Papua. Sedangkan pada rezim SBY,
meskipun diplomasi dilakukan, tetapi aplikasinya tidak sama ketika di lapangan. Bahkan dikatakan bahwa SBY tidak lagi bersedia untuk berdialog dengan mereka (warga papua). Hal ini lah yang membuat Papua semakin
ingin melepaskan diri dari NKRI karena seolah-olah mereka tidak dianggap
oleh Indonesia .
•
Kekerasan dan pembantaian yang
dilakukan oleh militer pada rezim soeharto membuat Eben bertanya-tanya,
Mengapa papua harus berada di bawah Negara reformasi Indonesia? mengapa tidak
merdeka sendiri saja?. Meskipun papua sudah diberikan kebijakan, yakni otonomi
daerah sendiri oleh pemerintah Indonesia, tapi pada hakikatnya papua menjadi
boneka bagi Indonesia, karena ia berada di bawah genggaman Indonesia. Padahal
secara keras papua membenci Indonesia akibat ulah dari militer Indonesia
tersebut yang telah melakukan pembantaian terhadap mereka. Jadi wajar saja jika
warga Papua menginginkan kebebasan dan lepas dari Indionesia.
•
Eben mencatat mengenai adat papua,
dan ternyata didalamnya terdapat keterkaitan dengan Amerika. Pada hakikatnya
keterkaitan dengan amerika ini disinyalir kuat karena Amerika melihat Freeport yang merupakan kekayaan alam,
dan merupakan asset terbesar yang dimiliki oleh papua. Setelah papua berganti
nama menjadi irian jaya, yakni pasca lengsernya soeharto, Indonesia membiarkan
Freeport dikontrak dan dikelola oleh Amerika hingga sekarang.
Selanjutnya, alasan Amerika mendukung
Indonesia untuk tidak melepas papua supaya Freeport tidak lepas dari genggaman
amerika yang merupakan asset kekayaan yang sangat menguntungkan bagi mereka,
karena jika Indonesia melepas Papua, Freeport kemungkinan akan lepas dari
Amerika.
•
Eben, yang notabene orang yang
berkulit putih, melakukan penelitian mengenai kasus kampanye terror dan
kekerasan yang dilakukan oleh keamanan Indonesia. Karena hal ini, ia berfikir
untuk bisa membantu terwujudnya kemerdekaan bagi Papua.
•
Pertemuan pertama kali antara Eben
dengan Waropen, anggota KOMNAS HAM yang diperkenalkan oleh rekannya, Denny.
Mereka berdua (Denny dan Waropen) adalah anggota KOMNAS HAM.
•
Waropen adalah seseorang yang
berasal dari Wasior, yakni tempat dimana polisi Indonesia melakukan serangan
terhadap golongan separatis papua yang dikenal dengan OPP (Operasi Penyisiran
dan Penumpasan). Di sana Eben ditemani Denny ingin melakukan penelitian terkait
rumor yang menyebutkan bahwa agen-agen militer Indonesia diam-diam mendukung
milisi papua.
•
Penelitian di Wasior berlangsung
dalam pngawasan intens oleh polisi Indonesia. Sehinngga Eben mengadakan
penelitiannya di waktu malam yang gelap. Hal itu dilakukan agar para polisi
Indonesia tidak mengetahuinya.
•
Eben tertarik untuk mewawancarai
dukun terkenal di dareah pegunungan. Dukun dianggap bertanggung jawab terhadap
gempa bumi yang terjadi di Jawa. Akan tetapi karena mereka berdua (Wasior dan
Eben) sedang dalam pengawasan, sehingga wawancara tidak jadi dilakukan.
•
Waropen dianggap sebagai sumber
yang sangat penting bagi Eben. Kehadiran waropen ini dianggap dapat membantu
memenuhi kekurangan (gaps) dalam penelitian Eben.
•
Eben meminta Waropen untuk
dijadikan sebagai narasumber yang anonim, tetapi Waropen mundur. Waropen disini
justru mempertanyakan mengenai penlitian si Eben yang sebagian besar
merahasiakan sumber.
•
Eben merasa harus mempertimbangkan
kembali mengenai saran-saran informal dari rekan dan mentornya tentang
narasumber yang anonim. Dalam hal ini, Eben dituntut untuk professional dalam
melakukan tindakan, Karena sumber anonim dipandang sebagai kecurigaan dan
dianggap misteri oleh pembaca surat kabar. Artinya Eben harus pandai kapan ia
menempatkan sumber anonim dan kapan pula ia harus menulis atau menampilkanya di
depan umum (Publik).
•
Eben menyatakan bahwa waswasan
mengenai rumor hanya akan menimbulkan rasa takut, sehingga rasa takut tersebut
menjadi terror. Eben ingin agar angota pasukan keamanan dibawa dan diusut
tuntas di ruang pengadilan Indonesia, karena telah melakukan tindakan
ketidakadilan bahkan pembantaian terhadap warga papua.
•
Dalam perbincangannya dengan
waropen yang semakin memanas, Eben tetap mempertahankan argumennya mengenai
penggunaan sumber yang anonim tersebut dengan alasan bahwa pasti ada kasus
dimana HAM harus melaporkan identitas korban sehingga saksi harus dilindungi.
Kemudian Waropen menyangkalnya dengan menyatakan bahwa apa yang eben
deklarasikan melaului penelitiannya tersebut seolah-olah hanya berdasarkan data
optional. Artinya ia hanya menggunakan data ketika ia butuhkan saja, sedangkan
ketika tidak dibutuhkan data tersebut dilupakan. Padahal data merupakan asset
sakral, karena ia merupakan hasil dari penelitian ilmiah. Berdarkan kasus ini,
sehingga Waropen meminta Eben untuk mengkonsep ulang kembali apa yang dihitung
sebagai data penelitian.
KESIMPULAN
Polemik kekerasan yang terjadi di Papua ini pada hakikatnya
bersumber dari ketidakpuasaan warga papua terhadap pemerintah Indonesia. Mereka
tidak diperlakukan dengan adil oleh pemerintah. Ketika GAM diizinkan untuk
berdialog atau diplomasi dengan pemerintah, maka OPM sama sekali tidak
diijinkan. Praktek diskriminasi inilah yang menjadikan warga Papua semakin
ingin pisah dari Indonesia Yang mereka inginkan itu bukan reformasi melainkan
Kemerdekaan.
References
SBY Setuju Papua Merdeka Pasca
Pilpres 2014?. (http://web.inilah.com/read/detail/1991004/sby-setuju-papua-merdeka-pasca-pilpres-2014#.U0CEBqKCrIU) Diunduh pada 6 April 2014
Sejarah Papua Barat Sebelum Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2334454) Diunduh pada 6 april 2014
0 comments:
Post a Comment