Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa sejarah haruslah terungkap sejelas-jelasnya.
Penulisan sejarah haruslah objektif serta tidak memihak. Itulah essensi
sejarah, ia ditulis sesuai dengan realitanya. Peran sejarahwan dengan
kartografer itu berbeda. Kartografer ( Pembuat peta ) hanya mengungkap sisi
realist dengan mendesainnya secara sederhana. Ia biasanya hanya menampilkan hal
yang diperlukan dan melewatkan atau membuang hal yang tak penting untuk dilihat.
Ketika bias kartografer secara tekhnis, maka para sejarahwan biasanya tiada
lain adalah bias ideologis.
Menulis merupakan upaya
semogenesis, yakni upaya untuk menciptakan suatu makna yang baru. Jika
dikaitkan dengan sejarah, menulis harus mengungkap fakta-fakta sejarah yang
disamarkan. Artinya bagaimana kita mampu memahami tulisan engan perspektif atau
cara pandang baru.
Hal ini tidak beda jauh
dengan seorang puitis, atau sastrawan. Seperti yang dituturkan oleh Milan
kundera “ Historian => Poet => Linguist, yakni sjearahwan itu memiliki
peran sama seperti ahli sastra dan ahli linguistik. Ia dituntut untuk mampu
menghancurkan dinding dan mengungkap sesuatu yang tersembunyi yang ada dibalik
dinding tersebut. Dengan kata lain, Seorang sastrawan tugasnya berbeda dengan
kerja seorang sejarahwan, ia dituntut untuk menemukan ( Discobering )
Sejarah itu seperti penyair
(Puisi), yakni mampu mengungkap pada setiap situasi yang baru.,
kemungkinan-kemungkinan manusia yang tersembuyi, sehingga sejarahwan dapat
menciptakan suatu perspektif baru berdasarkan pengalamannya. Implikasinya bahwa
setiap sejarah itu akan selalu ditulis ulang dari waktu ke waktu dengan style
atau gaya penulisan den pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam pengaplikasiannya,
eksistensi sastrawan lebih diperhitungkan karena ia lebih jujur dari pada
sejarahwan. Ia menulis berdasarkan basic perasaan atau pengalaman yang murni.
Hal ini mengimplikasikan bahwa hakikatnya ia sedang berkomunikasi atau
berinteraksi deng lingkungan sekitarnya. Sementara sejarahwan, ia akan terjadi
dua kemungkinan, bias jadi objektif dan bias juga subjektif. Subjektif ini bias
saja terjadi jika ia hanya menginterpretasikan sejarahwan sebagai media untuk merepresentasikan
kepentingannya.
History like a Poet, artinya
mereka sama-sama berperan untuk mampu menggali sesuatu yang tersembunyi. Letak
kesamaan lainnya, mereka menggunkana karya mereka untuk mengungkap kebenaran.
Dalam prosesnya, mereka melakukan penelitian untuk menemukan bukti yang ajan
memperkuat ideology mereka (Sejarahwan). Seangkan satrawan ketika membuat suatu
karya sastra, ia hakikatnya sedang meneroka lingkungan di setiap situasi yang
sedang terjadi. Sastrawan seakan sama dengan apa yang dilakukan oleh
sejarahwan. Mereka sama-sama melakukan yang pada hakikatnya bertujuan untuk
membuka ruang kesadaran terhadap masyarakat secara utuh. Kita tidak dianjurkan
langsung percaya terhadap kesakralan sejarah yang sudah lama terpublikasikan,
pun tidak langsung tunduk terhadap dongeng sakral pemerintahan. Artinya,
melalui tangan mereka, masyarakat diharapkan akan sadar terhadap suatu
kebenaran pemerintah, tidak dibodohi dan diperbudak oleh system otokrasi
kepemerintahan, eperti praktek yang sudah pernah terjadi pada rezim Suharto.
Hal tersebut sejalan dengan
apa yang pernah dipraktekkan oleh WS Rendra (sastrawan ulung), ia membawa
karyanya ke panggung teater. Dalam sastranya tersebut, ia mengambarkan suatu
ideology mengenai kebenaran yang ditutup-tutupi datu disamarkan. Jadi dalam hal
ini, masyarakat awam yang tidak mengerti akan puisi, dengan melihat teater si
satrawan ulung ini, mereka akan lebih paham mengenai gamaran pemerintahan.
Sehingga wajar saja jika mayoritas pemerintahtakut akan eksistensi mereka,
melebihi takutnya mereka terhadap tuhan, dan sebagai buktinya mereka tidak takut
melakukan korupsi dan pembohongan yang lainnya, padahal katanya mereka patuh
dan takut terhadap tuhan.
Karya-karya WS Rendra yang
banyak berbau protes dan kontroversial ini, membuatnya sempat ditahan oleh
pemerintah yang berkuasa pada saat itu (rezim soeharto), demikian juga dengan
pementasannya. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan mastodon, dan
Burung Kondor, yang dilarang dipentaskan di taman Ismail Marzuki.
Contoh di atas
mengimplikasikan bahwa memang beanr pemerintah itu sangat takut dengan
kehadiran sastrawan. Mereka takut keapada orang-orang yang dapat meneroka
keburukanmereka yang selama ini ditutup-tutupi dengan kedok kebaikan. Itulah
eksistensi sastrawan.
Peran sejarahwan pun seperti
itu, seperti apa yang dilakukan howard zinn. Ia dengan berani mengangkap secara
jujur sisi gelap ihwal sejarah Christoper Columbus. Hal tersebut dilakukan
untuk membuka ruang kesadaran bagi generasi-generasi berikutnya bahwa apa yang
telah ditulis oleh sejarah jauh hari itu ternyata tidak sesuai dengan realita.
Tidak semua semua sejarah mengimplikasikan penulisan yang objektif, bahkan
mayoritas bersifat subjektif, artinya bahwa sejarahwan hanya ingin memenuhi kepentingan
ideologis saja, fakta sejarah banyak ditutup-ditutupi oleh orang yang mempunyai
kepentingan.
Saya teringat akan kiai kharismatik
sekaligus sastrawan islami abad sekarang. KH Musthofa Bishri. Dalam salah satu
puisinyayang berjudul “Kau Ini Bagaimana Ataukah Aku Harus Bagaimana”. Konten
dari puisi tersebut jelasnya menyindir system pemerintahan pada rezim soeharto.
Dalam satu statemennya mengungkapkan
Maksud dari bait-bait di atas secara garis
besar adalah mengenai inkonsistensi pemerintah yang maunya ingin berkuasa dan
menang sendiri.
0 comments:
Post a Comment