Tuesday, February 18, 2014

10:03 PM



Semakin  bergesernya zaman ke arah yang lebih modern,  kegiatan membaca dan menulis akan semakin dibutuhkan dan akan berlangsung naik. Seperti  pendapat Michael Barber yang intinya  pada abad ke 21, setiap orang akan menuntut literasi yang tinggi, menguasai  penghitungan,  berpengetahuan baik, mampu belajar secara konstan, dan percaya diri serta  mampu memainkan peran sebagai warga negara yang demokratis. Sejalan dengan itu, ada kesamaan dengan pendapat Artes Liberal yang mengatakan bahwa pikiran manusia tidak dapat  membangun suatu perbandingan kecuali mereka dapat mempelajari bahasa, matematika, sosial, dan ilmu alam dengan jalan menggabungkanya.
Para ahli bahasa mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan dalam pengajaran bahasa asing dalam lima kelompok, yaitu :
·                Pendekatan grammar translation methods (populer sampai dengan perang dunia ke 2) yang fokus pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan tata bahasa. Namun, pendekatan ini tidak menjamin siswa mampu menganalisis persoalan sosial.
·                Pendekatan audiolingual atau dengar ucap (1940-1960) yang terfokus pada latihan dialog-dialog pendek. Namun, pendekatan ini kurang memberi ruang terhadap variasi ujaran untuk berbagai fungsi dan pendekatan ini mengabaikan penguasaan bahasa tulis.
·                Pendekatan kognitif dan transformatif sebagai implikasi dari teori-teori syntatic structure (Chomsky, 1957). Terfokus pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai kebutuhan lingkungannya. Meteri pengajarannya berorintasi ke sintaksis tapi secara sosiolinguistik ini tidak fungsional.
·                Pendekatan communucative competence yang tujuannya menjadikan siswa mampu berkomunikasi mulai dari komunikasi terbatas sampai spontan atau alami. Tidak hanya komunikatif tapi juga harus bernalar diketahui maknanya. Pendekatan ini kurang eksplisit dalam menjelaskan bentuk dan fungsi. Sehingga lahir tata bahasa fungsional atau systemic fungsional grammar (SFG) oleh Halliday (1985), dan lain-lain.
·                Pendekatan literasi atau genre-based sebagai implikasi dari studi wacana. Dalam pembelajaranya dilakukan empat tahapan, yaitu membangun pengetahuan, menyusun model teks, menyusun teks bareng-bareng,  menciptakan sendiri teks.
Berdasarkan definisi lama literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Istilah literasi jarang dipakai, yang digunakan yaitu pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Pada masa silam, membaca dan menulis dianggap cukup sebagai pendidikan dasar untuk membekali kehidupan manusia. Padahal literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Freebody & Luke menawarkan model literasi untuk memahami kode dalam teks, terlibat dalam memaknai teks, menggunakan teks secara fungsional, dan melakukan analisis serta mentransformasi teks secara kritis. Intinya literasi berkaitan dengan memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat ber-litersi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Makna dan rujukan litersi terus berevolusi, dan kini maknanya semakin luas dan kompleks. Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa dan merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait:
·                Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional). Dimensi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan vokasionalnya.
·                Dimensi bidang  (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dll). Literasi tampak disemua bidang, seperti militer bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan persenjataan yang digunakan.
·                Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, dan berbicara). Literasi berada pada semua aspek, seperti seorang sarjana pasti mampu membaca tapi belum tentu mampu menulis dan memiliki keteramppilan menghitung.
·                Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengatahuan, mengembangkan potensi diri). Orang yang literat mempunyai kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan yang baik.
·                Dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Menjadi orang yang literat pada zaman sekarang tidak hanya kemampuan membaca dan menulis teks, melainkan harus mengauasai IT (information technology)
·                Dimensi jumlah (satu, dua berapa). Jumlah dapat merujuk pada banyak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan sebagainya.
·                Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional). Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual. Namun, dalam hal ini bahsa pertama tetap menjadi sorotan utama.
Pendidikan bahasa berbasis litersi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :
·         Literasi adalah kecakapan hidup (life skill) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
·         Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
·         Literasi adalah kemampuan memecahkan maslah.
·         Lietrasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
·         Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
·         Literasi adalah hasil kolaborasi
·         Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Sejak 1999 indonesia ikut dalan proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (progress in international reading literacy study), PISA (program for international student assasment), dan TIMSS (the third international mathenatics adan science study) untuk mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan membaca meliputi literary purposes dan imformational purposes. Sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating, dan evaluating.
Dapat ditarik sejumlah pelajaran dari hasil dari penelitian tersebut yaitu tingkat literasi siswa indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa negara-negara lain. Artinya, pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan warga negara literat yang siap  bersaing dengan sejawatnya dari negara lain. Dapat diprediksi bahwa prestasi menulis pun sangat bergantung pada kemampuan membaca. Tanpa kegiatan membaca (banyak), orang sulit menjadi penulis. Namun, banyak membaca tidak menjamin orang akan rajin menulis.
Dalam konteks pembelajaran literasi disekolah, penguasaan tentang literasi dan pedagogi pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru. Penelitian Setiadi (2010) menemukan bahwa dalam pembelajaran membaca para guru sangat mengandalkan kurikulum nasional dan buku paket untuk materi ajar dan metodologi mengajarnya, pemodelan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru, mereka tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam kegiatan mengelola kelas. Dengan kata lain, membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun guru yang profesional, dan guru profesional hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang profesional juga.
Orang yang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi tertuju upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa sacera optimal. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi yaitu lingustik atau fokus teks, kognitif atau fokus minda, sosiokultural atau fokus kelompok, dan perkembangan atau fokus pertumbuhan (Kucer, 2005: 293-4).
Sementara itu, kurukulum pengajaran bahasa asing pada tingkat dasar cendnerung bersifat text-centric, buka reader centric dan writer centric, dan cenderung terfokus pada ketepatan (correctness), dan konvensi bahasa dalam bentuk tata bahasa, ejaan, mekanik, pemakaian bahasa, dan tulisan yang diperkenalkan lazimnya pesan singkat. Bagaimanapun, pendekatan literasi terhadap pengajaran bahasa (asing) melihat bahasa secara fungsional dan membantu kita membangun kurukulum pada setaiap tahap pendidikan secara komprehensif dan integral.
Literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra. Selama ini, pendidikan di indonesia relatif berhasil memproduksi manusia terdidik tapi pada umumnya kurang memiliki apresiasi terhadap sastra dan humaniora. Meluruskan rekayasa litersi seyogianya diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigma apengajaran literasi. Secara garis besar, ada tiga paradigma pembelajaran literasi, yaitu decoding, skills, dan whole language (kucer: 2000).
Pertama, paradigma decoding menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan belajar bahsa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa. dengan kata lain, siswa membangun literasi dengan diajari trelebih dahulu tentang literasi, yakni bagaimana memakai kode bahasa (disebut decoding). Dengan proses ini, pembelajar diharapkan mampu berliterasi secara mandiri.
Kedua, paradigma keterampilan bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni dengan cara memakai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Dengan prosesini, pembelajar diharapkan mampu berliterasi secrara mandiri.
Ketiga, paradigma bahasa secara utuh menolak pembelajaran yang meletakkan fokus pada bagian atas serpihan bahasa. pengajaran bahasa mesti terfokus pada pembelajaran makna, yaitu kegiatan mengajarkan makna secara utuh, tidak parsial.proses merespon berbagai bentuk morfemik dan morfofonemik melibatkan pproses kognitif seperti sampling, pedicting, integrating dan sebagainya. Menurut paradigma ini, pembelajar mengumpulkan data, membuat hopotesis, menguju hipotesis dan mengubah hipotesis terus-menerus. Dengan sendirinya siswa menemukan keteraturan bahasa.
Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi pada metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Guru bahasa akan melakukan hal seperti tidak melihat apa atau berapa banyak tulisan yang dihasilkan oleh siswa melainkan proses pembuatan suatu tulisan dari A sampai Z dan tidak menentukan target yang sama karena kemampuan setiap siswa berbeda-beda. Akan lebih baik jika mendorong siswa menulis sesuai hobi dan keperluannya secara bebas, yang penting berekspresi tulis.
Bila literasi di negara ini rendah, bisa jadi penyebabnya karena metode dan pengajaran literasi selama ini kurang mencerdaskan. Dengan demikian, perlu adanya perubahan mengenai pandangan dalam pengajaran literasi di jajaran pengambil kebijakan. Jadi, pengembangan literasi bukan hanya melibatkan satu pihak melainkan keseluruhan yang ada di dalamnya.

0 comments:

Post a Comment