Saturday, February 22, 2014


1st Critical review
Wacana Perubahan Sosial dalam Multikultur Bangsa

Critical review yang dianalisis dalam suatu bahasan yang panjang, dari teks opini yang ditulis oleh prof. Chaedar Al wasilah yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Sesuai dengan judulnya, penulis memulai tulisannya dengan membahas mengenai kualitas bangsa yang dipengaruhi oleh pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Masyarakat terdiri dari berbagai macam kelompok yang berbeda suku, ras, etnis, agama dan kebudayaan, sehingga dari keberagaman itu yang menyebabkan terjadinya konflik sosial dan kesenjangan sosial. Konflik antar etnis dan agama besar yang terjadi di daerah sambas pada tahun 2008, terjadi juga di ambon pada tahun 2009, dan di papua pada tahun 2010, menjadi contoh dan pelajaran untuk bangsa Indonesia, karena potensi yang sangat besar bisa terulang lagi karena Indonesia sangat beragam jika tidak ada upaya untuk mencegahnya. Konflik-konflik itu akan menjadi besar, jika dibiarkan akan merubah keharmonisan menjadi ketidakharmonisan dalam beragama.
Dari judul Foster Religius Harmony yaitu melalui pendidikan diharapkan siswa mampu bertoleransi dengan keberagaman yang terjadi di masyarakat. Wacana sipil yang harus diterapkan dalam pendidikan di indonesia sebagai cara untuk menyadarkan siswa terhadap keberagaman sosial. Selanjutnya critical review ini akan menjelaskan mengenai kebergaman budaya yang menyebabkan adanya kesenjangan sosial dan teori perubahan sosial, yang menjelaskan lebih dalam mengenai multikultur bangsa.
Bangsa yang mempunyai keragaman geografis akan menyebabkan keragaman budaya, sikap, pola pikir masyarakat. Lingkungan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya masyarakat, seperti orang makassar dengan letak geografis yang panas akan membentuk karakter masyarakat yang bersikap tegas dan kasar, mereka mempunyai kebudayaan sendiri. Berbeda dengan orang sunda yang tinggal di dataran tinggi dengan cuaca dingin, orang sunda mempunyai karakter halus. karakter mereka terbentuk dari geografis daerah di besarkannya.
Keragaman mutlak terjadi sebagai bagian dari kehidupan, keragaman dalam masyarakat disebut dengan multikultur. Dalam masyarakat multikultur banyak terjadi konflik-konflik sosial, kaum minoritas dalam masyarakat multikultur sering terdiskriminasi, timbul kelompok-kelompok primordial, etnosentrisme, yang disebabkan karena perbedaan agama, budaya. Jika sudah demikian kesenjangan-kesenjangan terjadi di masyarakat, masyarakat merasa tidak nyaman menjalani hidupnya, keharmonisan tidak dirasakan oleh masyarakat.
Masyarakat multikultur menyebabkan terjadinya perubahan sosial, perubahan yang terjadi tidak selalu mengakibatkan hal yang buruk, tetapi bisa menyebabkan hal yang baik. Namun, sesuai kadarnya, berikut teori-teori perubahan sosial yang bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi kemajemukan masyarakat:
1.     Teori Evolusi
Teori evolusi yaitu perubahan terjadi secara terus menerus (linier). Linier adalah berubah dengan tahapan-tahapan namun setelah selesai tahapan pertama terus berlanjut ke tahapan selanjutnya tanpa kembali ke tahapan sebelumnya. Teori evolusi ini mengadopsi teori evolusi Charles Darwin. Tokoh yang menganut teori ini adalah August Comte. Teori ini pernah di terapkan pada masa orde baru yakni REPELITA (REncana PEmbangunan LIma TAhun).
2.    Teori Struktural-Fungsional
Teori Struktur-fungsional yaitu teori yang melihat fungsi dan peran dari suatu hal. Jika hal tersebut mempunyai fungsi dan berperan dalam masyarakat akan terangkat dengan sendirinya, begitupun sebaliknya jika hal tersebut tidak mempunyai fungsi dan peran dalam masyarakat akan tenggelam dengan sendirinya. Contohnya dalam masyarakat orang yang berperan dan memiliki fungsi seperti orang-orang kaya menempati struktur di masyarakat, sedangkan orang kecil tidak bisa menempati struktur di masyarakat. Tokoh yang menganut teori ini adalah Robert K. Merton.
Dalam politik, teori ini sepaham dengan sistem politik oligarkis, sistem oligarkis yakni suara dikuasai oleh partai-partai besar yang berkonsolidasi dengan partai-partai kecil, dan partai-partai kecil tidak bisa bersaing dan maju dalam perpolitikan. Begitupun dalam pendidikan, di Indonesia pendidikan di kuasai oleh orang-orang kaya, orang-orang kaya bisa merasakan pendidikan dengan fasilitas yang baik, sedangkan bagi orang-orang kecil tidak bisa merasakan pendidikan yang layak. Dalam perbedan agama, agama mayoritas yang dianut masyarakat akan menguasai struktur kehidupan, sedangkan penduduk yang menganut agama minoritas keberadaannya terpinggirkan dan terdiskriminasi. Hal ini akan menyebabkan munculnya konflik dan kesenjangan sosial.
3.    Teori Konflik
Teori yang terjadi bukan hanya dari keberagaman budaya dan agama saja tetapi dari ketidaksamaan pendapat. Teori ini bentuk kritik terhadap teori struktural-fungsional yakni yang menguntungkan orang-orang besar, dan orang-orang kecil tidak mendapatkan tempat. Contoh kasus ini adalah dalam pengambilan keputusan, biasanya yang diambil adalah berdasarkan suara terbanyak. Namun, dalam teori ini suara terbanyak tidak bisa dijadikan putusan akhir karena pengambilan suara terbanyak adalah bentuk paksaan dari tidak menghargai pendapat minoritas, tanpa adanya musyawarah yang menghasilkan putusan akan merugikan salah satu golongan, untuk itu musyawarah dalam teori ini sangat mendominasi.
4.    Teori interaksionalisme simbolik
Teori ini menitik beratkan pada interaksi antarindividu dan limgkungannya, perubahan sosial terjadi ketika ada interaksi dari individu. Masyarakat, lembaga dan negara hanya menjadi sistem kelanjutan dari interaksi individu, karena tanpa adanya interaksi antarindividu tidak akan ada masyarakat. Kemudian bentuk interaksi antar individu tersebut berupa simbol, baik lisan maupun tulisan jika tidak ada pemahaman tidak bisa diartikan, simbol-simbol tersebut harus diinterpretasi dan harus menyepakati agar tidak ada kesalahpahaman ketika berinteraksi. Contohnya, gedang dalam bahasa jawa itu berarti pisang berbeda dengan bahasa sunda gedang artinya pepaya. Maka dari itu ketika berinteraksi harus mengetahui kesamaan dalam bahasa agar tidak ada salah pengertian. Untuk itu ketika berinteraksi dengan orang berbeda daerah gunakanlah bahasa nasional, ketika berinteraksi dengan orang asing, dengan menggunakan bahasa internasional, agar komunikasi berjalan dengan baik.
Begitupun di pendidikan, seorang pendidik harus bisa menggunakan kesamaan konsep interaksi dengan siswanya agar terjalin chemistry antara guru dengan siswanya. Tokoh yang menganut teori ini adalah George Herbert Mead.
5.    Teori Pertukaran Sosial
Teori ini menyatakan bahwa, tindakan sosial selalu memperhitungkan untung dan rugi dari suatu tindakan, orang akan melakukan tindakan yang menguntungkan secara terus menerus agar dia mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, dan sebaliknya jika tindakan tersebut tidak menguntungkan atau bahkan merugikan, orang tidak akan melakukan tindakan itu lagi. Contoh teori ini adalah seseorang ingin mendapatkan simpati dari rekannya, kemudian dia melakukan hal yang baik secara terus menerus sehingga orang akan memberikan simpati kepadanya. Tokoh yang menganut teori ini adalah George Horman.
Multikultur bangsa Indonesia menyebabkan konflik antar etnis, suku, antar agama, antar golongan. Seperti kaum minoritas yang terdiskriminasi contohnya kekerasan terhadap etnis cina di jakarta tahun 1998, konflik antar agama yang terjadi antara kristen dan islam di maluku pada tahun 1999, konflik yang terjadi antar penggemar klub sepek bola dan tawuran antar pelajar yang dikarenakan oleh primordialisme dan egosentrisme, contohnya di cirebon setiap hari sabtu sudah menjadi agenda para pelajar melakukan tawuran antarsekolah dengan background Nahdlatul Ulama dengan sekolah yang backgroundnya Muhammadiyah. Dalam pembagian konflik ini termasuk ke dalam konflik out-group karena termasuk kedalam konflik antar organisasi atau luar organisasi, tetapi masih dalam satu jenis yakni perbedaan paham. Sangat lucu ketika pelajar yang tidak mengetahui sejarah yang dijadikan konflik, mereka hanya mengikuti tanpa adanya pemahaman yang menjadi landasan perbuatannya. Yang di sayangkan lagi ketika konflik yang sepele ini menyebabkan dampak yang besar, merugikan diri sendiri, membuat warga menjadi resah, begitupun sekolah yang mendapatkan dampaknya. Dari sini timbul pertanyaan, apakah sekolah tersebut diam saja dengan tawuran-tawuran yang dilakukan oleh siswanya, ataukah memang siswa itu intoleran.
Teori-teori yang telah dijelaskan di atas mengenai perubahan-perubahan yang terjadi diakibatkan oleh masyarakat multikultur, dapat di simpulkan bahwa, keberagaman bisa menyebabkan konflik sosial, karena ketidakpahaman masyarakat tentang toleransi dan menghormati keberagaman.
Upaya menyadarkan masyarakat tentang toleransi dalam hidup bermasyarakat sangatlah penting, karena perbedaan-perbedaan yang menimbulkan golongan-golongan primordial, etnosentrisme, sangat merugikan bangsa terutama masyarakat minoritas, kemerdekaan tidak di rasakan oleh kaum minoritas, kebebasan berpendapat telah menutup diri untuk mereka. Wacana sosial harus di terapkan dalam pendidikan agar masyarakat menyadari kerukunan hidup dalam perbedaan.
Berikut critical review ini akan menganalisis artikel prof. Chaedar dengan menjelaskan satu persatu sub-sub bahasan yakni dengan melihat bahasa dan gaya bahasa yang digunakan penulis, penulisan dan penyusunan teks, masalah yang disajikan dalam artikel, kekuatan-kekuatan artikel, kelemahannya dan hal-hal penting yang dibicarakan dalam artikel.
1.     Bahasa, Gaya Bahasa dan Penulisan
Artikel opini yang ditulis prof. Chaedar Al Wasilah menggunakan bahasa inggris yang mudah dipahami, bahasa yang digunakan bagus dan coheren yakni saling menyambung atau linier. Gaya bahasa dalam pemaparannya singkat, padat dan jelas.
Penulisan teks opini ini sistematis, dimulai dari pembahasan pendidikan sebagai tempat untuk mengembangkan kualitas individu, keterampilan dalam bermasyarakat, dan bernegara. Kemudian dalam masyarakat yang beranekaragam timbul adanya konflik, seperti tawuran pelajar, bentrok antar warga yang dikarenakan oleh perbedaan budaya, ras, dan agama. Sampai kepada pendidikan sangat penting dalam mewujudkan keharmonisan hidup, dengan memberikan wacana sosial dalam pendidikan, dan pentingnya menghormati terhadap perbedaan.
2.     Masalah yang disajikan artikel
Ulasan dalam sajian teks artikel sangat jelas dan tidak membuat pembaca merasa asing dengan bahasan-bahasannya, penulis juga memberikan contoh yang terjadi di masyarakat sehingga pembaca merasa yakin dengan opini-opini yang diajukan penulis, seperti kasus yang terjadi di sambas, ambon, papua, ini menguatkan penulis dalam memaparkan masalahnya.
Teks yang ditulis penulis sebagai hasil penelitiannya terhadap konflik yang terjadi diakibatkan oleh keberagaman budaya dalam masyarakat multikultur. Sedikit menyinggung yang sudah dijelaskan oleh penulis, namun dalam critical review ini akan memperjelas pemaparan penulis.
Pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu cara dalam  mengenalkan keberagaman yang ada di indonesia, simbol bhineka tunggal ika adalah wujud dari wacana persatuan terhadap kemajemukan bangsa indonesia. Namun, di indonesia bhineka tunggal ika itu tidak dilaksanakan oleh masyarakat, dengan bukti yang sekarang masih banyak terjadi konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan, bukankah perbedaan itu adalah absolut ada. Dalam islam pun toleransi harus diterapkan dalam kehidupan, karena dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan tentang penciptaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, yang diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya saling mengenal satu sama lain, untuk itu perbedaan sudah laiknya terjadi agar menjadi warna dalam kehidupan. Namun, dari perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik karena kurangnya rasa toleransi dan hormat dengan perbedaan.
Jika melihat kurikulum pendidikan indonesia yang sekarang, pendidikan kewarganegaraan tidak mendapatkan tempat, pendidikan kewarganegaraan dihapuskan dalam mata pelajaran, ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak mengenalkan keragaman budaya, memang diterapkan dalam mata pelajaran sosial yakni sosiologi tetapi penjelasannya tidak memadai, jika dalam sosiologi pendidikan tentang warga negara tidak sejelas dalam pendidikan kewarganegaraan, sosiologi hanya membahas tentang interaksi sosial dan kehidupan sosial, masyarakan multikultural, dan konfik yang tejadi di masyarakat serta penyelesaiannya. Namun, pendidikan sosial ini di terapkan pada sekolah kanjutan atas sehingga untuk memberikan pengenalan pada anak-anak tidak ada. Ini sangat bagus jika diterapkan dalam pendidikan di usia dini, sehingga anak mengenal tentang perbedaan dan belajar menghargai keragaman budaya, agama, dan menerapkan sikap toleransi kepada orang lain.
Teks artikel Prof. Chaedar mengenai wacana sosial yang harus diterapkan dalam menanggulangi konflik yang terjadi disebabkan keragaman budaya, menjadi masalah yang dihadapi ketika wacana yang disajikan kepada masyarakat tidak kunjung direspon oleh masyarakat, seperti wacana yang terdapat dalam simbol negara Indonesia (garuda) yang cakarnya membawa tulisan “bhineka tungal ika” itu adalah bentuk wacana untuk bertoleransi terhadap berbagai perbedaan aspek kehidupan. Akan tetapi, wacana tersebut tidak dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, apakah masyarakat tidak memahami maknanya atau sikap masyarakat yang hanya memetingkan keinginannya dan kelompoknya.
3.    Kekuatan-kekuatan teks
Jika dalam pembuka teks opini penulis, beliau mengatakan bahwa untuk mengetahui kualitas suatu bangsa, hanya melihat dari perkembangan pendidikan. Ini sangat relevan, karena pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia. Namun, melihat pendidikan di Indonesia yang sekarang tidak tentu arah, tanpa tujuan yang jelas. Seperti dalam kutipan yang dimuat dalam harian Kompas (19/02/2014), pada tanggal 18 februari lalu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengadakan konvensi dengan tema “Pendidikan Indonesia dan Daya Saing Bangsa”, dalam konvensi tersebut dihadiri oleh mantan presiden BJ. Habibie, mantan wakil presiden Jusuf Kalla, ketua DPR Marzuki Alie, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri-Edi Swasono, Guru Besar Pendidikan (Emeritus) universitas Negeri Jakarta HAR Tilaar. Dan acara dibuka oleh ketua PGRI Sulistiyo.
HAR Tilaar menegaskan pendidikan Indonesia belum memiliki arah tujuan yang jelas untuk menyiapkan manusia-manusia yang cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. Padahal, Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa memajukan kehidupan bangsa. Menurutnya, Neoliberalisme sudah masuk ke dunia pendidikan sehingga arah pendidikan menjadi tidak jelas seperti sekarang. Neoliberalisme adalah bentuk dari arus globalisasi, dan mengarah kepada praktek kapitalisme. Jika neoliberalisme sudah masuk ke dalam pendidikan bangsa Indonesia, pendidikan hanya bisa dirasakan oleh orang-orang borjuis (orang kaya), sedangkan orang-orang kecil tidak bisa merasakannya, karena pendidikan yang mahal sehingga masyarakat kecil tidak bisa merasakan. Padahal, pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia.
Arah dan tujuan pendidikan di Indonesia yang tidak tentu sudah terlihat dari kurikulum yang menjadi patokan dalam pendidikan di Indonesia, kurikulum pendidikan belum menemukan yang pas bagi masyarakat, walaupun pendidikan harus berjalan secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, jika ada patokan dan kurikulum yang menjadi dasar bisa dijadikan tujuan pendidikan di Indonesia. Dari pergantian-pergantian kurikulum pendidikan memberikan kesan pada pemerintah yang asal-asalan dalam menetapkan kurikulum, dan kurikulum yang dijadikan sebagai ajang percobaan pemerintah saja. Jika menengok pada negara-negara liberal yang pendidikannya menganut paham liberal, menghasilkan masyarakat yang maju, dan perkembangan kualitas sumber daya manusia menjadi kreatif dan maju. Yang menjadi pertanyaannya, jika pendidikan liberal diterapkan di Indonesia apakah bisa menjadikan Indonesia menjadi maju?
Pentingnya pendidikan liberal, yang ditawarkan oleh tokoh filsafat pendidikan Amerika yang dimuat dalam teks opini prof. Chaedar menyebutkan bahwa seseorang bisa menjadi orang sebelum dia bisa menjadi seorang petani yang baik, atau seorang pedagang, atau seorang insinyur, filsuf itu menunjukkan bahwa pendidikan liberal penting diterapkan untuk mencetak manusia sejati, karena manusia sejati adalah manusia yang memiliki pengetahuan. Menurutnya pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan tentang etnis, agama, budaya, terlepas dari profesi dan karir seseorang, baik itu seorang politisi, pengusaha, pedagang, ataupun nelayan.
Pendidikan harus dilaksanakan dan melepaskan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, perbedaan budaya, bahasa, agama. Apalagi bahasa Indonesia menjadi teks Sumpah yang diucapkan oleh pemuda-pemuda bangsa pada tahun 1928 menjadi bahasa nasional. Kemudian agama yang diakui oleh Indonesia telah merubah teks piagam jakarta yang berbunyi “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang berubah menjadi pancasila dalam sila pertama “ketuhanan yang Maha Esa” piagam jakarta banyak mengundang perselisihan antara kaum pemeluk agama minoritas, sehingga konteksya diganti dengan tujuan untuk melakukan toleransi terhadap perbedaan agama.
Pendidikan di Indonesia bukan menganut paham liberal karena pendidikan di Indonesia adalah pendidikan dengan kurikulum. Namun, pelaksanaannya pendidikan di Indonesia sudah menganut paham liberal, seperti sekarang pendidikan hanya dirasakan oleh orang-orang kaya, dengan bukti masih banyak orang-orang kecil, anak jalanan yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Orang borjuis mendapatkan fasilitas pendidikan yang enak, sarana dan prasarana yang layak dengan standar internasional, sedangkan pendidikan di pelosok sarana dan prasarana yang tidak layak, bangunan yang sudah rusak. Pendidikan sudah menganut liberal, namun bukan dengan legal menyatakan pendidikan Indonesia adalah pendidikan liberal, ini dinamakan dengan Liberalisasi Pendidikan yakni menganut paham tetapi tidak secara sah menyatakan Liberal.
Namun, jika liberal di sini diartikan dalam sikap pluralitas terhadap kemajemukan masyarakat, penerapan pendidikan di Indonesia perlu dilakukan karena dengan pendidikan orang akan diberi pemahaman dan pengertian mengenai keragaman dan konflik yang terjadi dikarenakan oleh keragaman sosial, untuk itu perlu dikembangkan wacana-wacana yang memberikan pemahaman sosial, ini harus diterapkan se-dini mungkin sebagai pengenalan dan penanaman sikap toleransi dan saling menghormati antar agama, antar ras, suku, etnis dan budaya.
4.    Kelemahan-kelemahan teks
Wacana yang disajikan oleh artikel Prof. Chaedar mengenai wacana sosial terhadap kemajemukan masyarakat sehingga diharapkan dapat meminimalisir terjadinya konflik yang sampai kepada bentrok antar warga yang disebabkan karena perbedaan dan egosentrisme tiap-tiap golongan, wacana sangat bagus, tetapi jika dalam artikel hanya ditujukan pada orang-orang yang berpendidikan saja, bagaimana dengan memberikan pemahaman kepada orang-orang yang tidak berpendidikan, apakah sama dengan menggunakan wacana-wacana sosial.
Wacana sosial sebagai alat untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya toleransi dan menghormati perbedaan agama, kebudayaan,  perlu diperhatikan oleh setiap lapisan masyarakat. Namun, dalam artikel Prof. Chaedar tidak memberikan contoh wacana yang seperti apa yang perlu di terapkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Kemudian hal penting lagi sebelum wacana dalam memberikan pemahaman terhadap multikultur adalah seorang guru.
Guru sebagai kuncinya, guru dalam proses pendidikan sangat penting, karena guru menjadi tolak ukur dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Tilaar dalam Kompas (19/02/2014) “peran guru sangat penting, guru wajib dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan pendidikan. Untuk meningkatkan peran guru dan kualitas guru, perlu adanya pelatihan secara berkala terhadap guru pada kebutuhan materi yang dirasa menjadi kekurangan setiap guru”. Dalam artikel tidak membahas mengenai guru, hanya menyebutkan peran guru untuk bisa memberikan wacana sosial kepada siswa, jika guru tersebut juga tidak paham dengan multikultur bangsa, bagaimana dia bisa memberikan pemahaman dan wacana sosial kepada siswa. Jadi guru perlu disoroti agar terlebih dahulu memahami hal demikian.
5.    Kesimpulan
Dari critical review ini yang berjudul Wacana Perubahan Sosial dalam Multikultur Bangsa, bisa ditarik kesimpulan bahwa sebuah wacana bisa membuat perubahan dalam kehidupan sosial, dalam multikultur bangsa dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi di masyarakat yang mengakibatkan konflik antar agama, ras, suku dan budaya, wacana perlu dicoba untuk memberikan pemahaman akan sikap toleransi dan menghormati terhadap perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Berikut point-point yang dibahas dalam kritikal review terhadap teks artikel Prof. Chaedar:
1)    Pendidikan sebagai kunci yang dalam memberikan pemahaman terhadap multikultur bangsa
2)   Keragaman budaya yang ada di Indonesia banyak menyebabkan konflik-konflik antar agama, ras, suku, etnis dan budaya. Dikarenakan kurang respect dan sikap toleransi yang tidak dimiliki oleh masyarakat, sehingga perlu diterapkannya perubahan sosial untuk memberikan pengertian terhadap masyarakat.
3)   Teori-teori perubahan sosial yang disajikan dalam critical review bisa dijadikan contoh dalam perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat multikultur.
4)   Pendidikan liberal bukanlah pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya Indonesia telah menganut pendidikan liberal atau bisa disebut Liberalisasi Pendidikan, tetapi secara legal Indonesia bukan Pendidikan Liberal.
5)   Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan kurikulum yang belum tetap, sehingga prakteknya pendidikan terlihat sebagai percobaan dalam menentukan kurikulum pendidikan. Walaupun pendidikan harus berjalan secara dinamis sesuai perkembangan zaman, tetapi pendidikan di Indonesia harus mempunyai arah dan tujuan yang jelas.
6)   Wacana sosial sebagai sarana dalam menyuarakan pentingnya toleransi dan menghormati perbedaan dalam masyarakat multikultur perlu diterapkan. Namun, peran guru yang seharusnya di sentralisasikan terlebih dahulu, agar guru bisa mengerti tentang peranan dan tanggung jawabnya.

1 comments:

  1. Judul ko ga terasa ga pas ya? kalu mau meliaht kekurangan teks orang lian pastikan kamu menguasai subject-matternya dulu. Definisi classroom discourse pun bellum digali dengan baik di sini

    ReplyDelete