Thursday, February 27, 2014

Literacy Wave

Pernah mendengar istilah “Korean Wave?” ya, itu adalah istilah yang digunakan untuk tersebarnya budaya pop-korea secara global ke seluruh penjuru dunia. Oleh karenanya, Literacy wave. Istilah yang saya berikan khusus untuk mendeskripsikan tersebarnya budaya literasi secara global di berbagai negara di dunia termasuk indonesia bahkan PBI semester 4 IAIN SNJ Cirebon.
Di PBI semester 4 IAIN SNJ Cirebon sendiri, rating literasi semakin hari semakin memunculkan eksistensinya, bahkan kini literasi mencapai rating tertinggi dalam deretan tangga wacana yang paling sering dibicarakan sejurusan PBI. Sejatinya seperti yang dikatakan oppa Hylland bahwa ‘literacy is something we do’.
Sedikit membahas tentang  pembahasan minggu kemarin atas tulisan bapak Prof. Chaedar Al-Wasilah dalam salah satu bukunya yakni Rekayasa Literasi. Menurut beliau literasi merupakan praktek budaya yang berkaitan tak hanya dengan persoalan politik, namun juga persoalan sosial, ekonomi, bahkan psikologi. Praktek budaya semacam ini lama-kelamaan akan membentuk sebuah peradaban, peradaban literasi.
Sebuah negara dikatakan sebagai negara yang berperadaban adalah ketika negara tersebut mampu memakmurkan warga negaranya (bengsa yang kaya), tingkat keamanannya tinggi, dan tingkat kenyamanannya terjamin atau dengan kata lain negara yang berperadaban adalah negara yang seimbang baik secara ekonomi, sosial, politik bahkan psikologinya dan yang paling penting adalah negara yang high literate.
Seiring berkembangnya jaman yang semakin menggila ini, menuntut literasi untuk terus mengembangkan definisinya sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaranpun tak terelakkan lagi. Dalam tulisannya beliau juga menjelaskan tentang model literasi yang populer ala Freebody and Luke (2003) dimana : breaking the codes of texts; participating in the meanings of text; using texts functionally; critically analysing and transforming texts. Kemudian beliau meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
Masih seputar literasi, menurut beliau rujukan literasi dalam dunia pendidikan tak henti-hentinya berevolusi dari masa ke masa, sedangkan disisi lainnya rujukan linguistik relatif konstan atau statis. Akibatnya praktek studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) dengan dimensinya yang sangat luas. Menanggapi kasus semacam ini, dibutuhkan peran aktif pemerintah sebagai pengambil keputusan tertinggi seyogyanya mampu menciptakan pendidikan yang berkualitas tinggi, karena sejatinya pendidikan yang berkualitas tinggi akan mengasilkan literasi berkualitas tinggi pula, begitupun sebaliknya.
Berbicara mengenai pendidikan berkualitas tak lepas kaitannya dengan peran serta GURU. Dituliskan pula oleh bapak Chaedar bahwasanya ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994). Oleh karena itu penting bagi seorang guru mengajarkan dan mengaplikasikan empat pokok pelajaran: Reading, writing, arithmetic, and reasoning sebagai bekal modal hidup mereka dimasa depan.
Keempat pokok pelajaran ini, jika tersampaikan secara sempurna maka akan menghasilkan siswa yang mempunyai cita rasa literasi atau berliterat karena orang yang multiliteratlah yang mampu berinteraksi dalam berbagai situasi, namun sebaliknya bagi mereka yang tidak literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media masa.
Jika Prof. Chaedar sibuk merekayasa litersinya, sebagian dari kita pasti sibuk dengan sesuatu yang direkayasa beliau. Ya, sebenarnya apa sih yang direkayasa itu? Literasi? Rekayasa literasi itu, yang direkayasa apanya? Sejatinya rekayasa literasi itu adalah merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi rekayasa literasi: linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Karena pengertian dari Rekayasa literasi itu sendiri adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Menggarisbawahi penguasaan bahasa secara optimal, Hyland berpendapat: “academic literacy emphasizes that the ways in we use language, referred to as literacy practices, are patterned by social institution and power relationships.” Menurutnya berbahasa adalah berliterasi -literacy as an activity located in the interactions between people, Hamilton (1998), as cited in Hyland (2006: 21). Oleh karenanya lewat keberhasilan akademis berarti repersenting yourself in a way valued by your discipline, adopting the values, beliefs, and identities which academic dissourse embody. Singkatnya literasi sudah masuk kedalam berbagai aspek kehidupan manusia yang ditandai dengan merebaknya Literasi wave.
Salah satu jalur yang dilalui oleh literasi wave adalah academic writing. Seperti yang dikutip oleh bapak Chaedar dari Michael Barber “In the 21st century, world class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play their part as citizen of a democratic society.” Oleh karenanya pembelajaran academic writing harus diajarkan seuai standar high literate agar mahasiswa mampu bersaing di kancah dunia sekarang ini.
Persiapan pertama adalam mengetahui elemen-elemen dasar academic writing yang mana berbeda dengan writing context lainnya. Elemen academic writing menurut pak Lala ada 9.
1.      Cohesion       : the smooth movement or “flow” between sentences and paragraphs. Intinya kohesi harus ada untuk menghubungkan kalimat dengan kalimat selanjutnya atau kalimat dengan parangrap setelah dan sebelumnya agar tidak merjadi diintegrasi makna.
2.      Clarity            : the meaning of what you are intending to communicate is perfectly clear. Penggunaan bahasa yang tepat, tidak berbelit, serta tidak melebar ataupun keluar dari topik agar makna yang dimaksud tersampaikan dengan baik. Untuk meningkatkan kejelasan tulisan, bisa gunakan kalimat deskriptif atau gunakan referensi yang jelas.
3.      Logical Order: refers to a logical ordering of information. In academic writing, writers tend to move from general to specific. Singkatnya kronologi ide paragraf, penempatan setiap paragraf harus tersusun dengan rapih dan berurutan.
4.      Consistency  : Consistency refers to uniformity of writing style. Pemilihan style dalam menulis perlu diperhatikan. Gunakan hanya satu style, jika ingin menjabarkan tulisan anda dengan deskriptif maka harus gunakan structure dari teks deskriptif.
5.      Unity              : At its simplest, unity refers to the exclusion of information that does not directly relate to the topic being discussed in a given paragraph. Semua yang berada dalam paragraf berkaitan dengan ide pengendali. Penulis yang baik
6.      Conciseness  : Conciseness is economy in the use of words. Tulisan yang baik akan dengan modah diambil poin-poinnya dan menghilangkan kata yang tidak dibutuhkan serta tidak perlu pengulangan (pemborosan kata, or “dead word.”) pemberian informasi yang tidak penting akan mempengaruhi unity dan cohesion.
7.      Completeness    : While repetitive or unnecessary information must be eliminated, the writer has to provide essential information on a given topic.     
For example, in a definition of chicken pox, the reader would expect to learn that it is primarily a children’s disease characterized by a rash. Ketika pemborosan kata harus dihilangkan maka penulis harus menyediakan informasi yang esensial sebagai topik.
8.      Variety           : Variety helps the reader by adding some “spice” to the text. Bumbu-bumbu penyedap boleh ditambahkan pada tulisan agar tulisan berwarna dan tidak monoton.
9.      Formality       : Academic writing adalah ranah formal yang berarti sophiticated vocabulary dan struktur gramatikalnya patut digunakan. Tambahan: perlu hindari pemakaian pronoun “I” karena mengindikasikan bahwa tulisan itu bersifat subjektif.
Jadi yang dapat disimpulkan dari pembahasan diatas adalah, pertama literasi sudah menjadi sesuatu yang pokok dalam kehidupan, baik ketika berbahasa atau beraktifitas sehari-hari. Sudah sepatutnya generasi muda melek literasi agar mampy bersaing di masa sekarang ataupun masa yang akan datang. Kedua, dalam mempelajari academic writing perlu sadar akan elemen-elemen penyusunnya terlebih dahulu karena kita tidak bisa membangun tanpa pondasi.

Lebih banyak orang yang merasa dekat dengan budaya lliterasi
maka pelan-pelan akan memunculkan

Sense of belonging terhadap literasi itu sendiri.

0 comments:

Post a Comment