Wednesday, February 26, 2014

Praktik Literasi di Nusantara
Dalam class review ke-3 ini kita masih membahas mengenai hal literasi. Ya, karena literasi merupakan hal yang begitu crucial bagi kita dan perlu ditanamkan sejak dini. Mengapa demikian? Sebab jika literasi ditanamkan sejak dini maka akan melahirkan para pemikir yang hebat di masa mendatang. Seperti yang telah dibahas dalam pertemuan minggu lalu bahwasanya semakin tinggi literasi, maka semakin kaya ilmu yng dimiliki. Dan Negara-negara maju yang berkembang pesat di bidang industri dan tkhnologi canggih pun tentunya memiliki basic literasi yang kuat. Perlu kita ketahui, pada tanggal 8 September 1964 UNESCO menetapkan sebagai hari literasi Internasional (International Literacy Day). Penetapan tersebut dilakukan untuk mengingatkan dunia tentang pentingnya budaya literasi.
Tidak dapat dipungkiri, tradisi budaya local kita adalah budaya lisa (orality), bukan budaya tulis. Hal itu membuat penyimpanan gagasan dan pengetahuan hanya dalam hapalan ingatan semata. Ignas kleden dalam Buku Indonesia Baru menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), dimana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan secara sempurna (Maya.S, 2009).
Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan, bahkan pada era saat ini sumber informasi lebih bersifat audio-visual. Keadaan tersebut menegaskan bahwa budaya baca-tulis belum pernah benar-benar mendarah daging di Indonesia, hal ini sebagaimana Data BPS (2006) menunjukkan, orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 % dari total penduduk selebihnya lebih suka mendengarkan informasi dari televisi.
Budaya lisan primer yang belum terkikis oleh hadirnya budaya baca-tulis kini telah tergantikan oleh gempuran budaya lisan baru lewat media televisi. Budaya lisan baru itu mempunyai daya pikat lebih dan ”mudah” dilakukan, sehingga lebih disukai masyarakat Indonesia. Padahal, dengan membaca dan menulis, dapat membawa kepada perubahan yang sangat sensasional.
Membaca bukan sekadar melafalkan huruf-huruf terhadap objek bacaan (baca: tulisan yang informastif), tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita baca. Mengolah dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan tersebut. Seorang pembaca dituntut memiliki sikap kreatif-kritis. Jadi kita harus menerima secara kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan nilai apa yang terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa dampaknya bagi diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.
Lebih lanjut menurut Smith (1973) membaca bukan semata-mata proses visual. Ada dua macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama, informasi yang datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di belakang mata. Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf. Sedangkan, informasi yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang terkandung dalam bacaan itu. Memahami isi bacaan itu menutut pembaca untuk memiliki kemampuan berpikir dan bernalar.
Membaca merupakan hal yang sangat penting bagi kita, karena membaca dapat membuka wawasan dan menciptakan perubahan. Untuk melahirkan generasi seperti itu diperlukan sarana pendukung, dan program pengadaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) adalah solusi terbaik yang bisa dilakukan. Dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VIII pasal 35, menegaskan: Pendidikan tidak mungkin terselenggara dengan baik bilamana para tenaga kependidikan maupun peserta didik tidak didukung oleh sumber yang diperlukan, salah satu sumber yang sangat penting tetapi bukan satu-satunya adalah perpustakaan. Terkait dengan perpustakaan sebagai salah satu sumber belajar, dalam kacamata pendidikan peranannya cukup penting.  Karena proses belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif jika sumber belajarnya tersedia. Melalui perpustakaan dengan sumber-sumber informasi yang ada di dalamnya dapat membantu dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan outputnya kelak.
Keluasan ilmu, sebagian besar didapat dengan rakusnya membaca. Apapun itu, baik buku, majalah, artikel, koran, dan setiap tulisan yang melintas di depan mata. Ketika kita membaca, neuron-neuron dalam otak kita akan berteriak karena bahagia, neuron-neuron itu saling berkoneksi (bersilaturahmi) satu sama lain. Dan kemudian ilmu meluncur deras ke dalam diri kita. Ilmu bisa didapat jika kita benar-benar cinta kepada buku. Keadaan ini akan menjauhkan kita dari kesempitan langkah dan kepicikan wawasan. Kegiatan ini akan mengiringi umur kita dalam kebaikan. Sastrawan kondang Mesir, Abbas Mahmud Al-’Aqod berkata dalam salah satu bukunya yang berjudul, “Pedang dan Buku”, sebagai berikut:
“Membaca bagi kita adalah bagaikan sebuah sihir yang mampu mengantarkan banyak manusia mengetahui tugas-tugasnya dan menjadikan dirinya orang yang bermanfaat. Dan, membaca bagi peradaban manusia modern adalah sebagai sebuah kemuliaan dan kemajuan seseorang.”
Meminjam moto Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), ”gemar membaca, bangsa maju dan unggul”. Hal ini bisa difahami bahwa bangsa yang unggul adalah bangsa yang memiliki fondasi kokoh yang dicerminkan dengan tingginya minat baca masyarakatnya.
Menyadari hal itu, sudah waktunya, keterpurukan bangsa harus diakhiri dengan jalan memaknai realita yang tengah terjadi berikut solusinya. Salah satunya dengan jalan membaca dan menulis. Dan kunci utama dari menulis adalah membaca. Sosok sekaliber Nabi Muhammad (saw) yang oleh Michael Heart diletakkan pada urutan pertama pada buku Seratus Tokoh Dunia, saat diangkat menjadi seoarang Rasul mendapat perintah pertama, yaitu membaca.
Lima belas Abad perintah itu tidak akan lekang oleh waktu dan budaya. Budaya membaca harus senantiasa digalakkan di sekitar kita. Jangan manjakan akal tanpa pernah menyentuh ranah berpikir. Dengan membaca kian menambah daya intelektual kita dan mampu melatih diri untuk dapat menulis. Karena jika aktivitas baca tanpa kita tuangkan dalam tulisan, laksana berjalan dengan satu kaki. Sebab, ilmu yang diperoleh dari membaca tidak akan terikat tanpa adanya aktivitas menulis.

Itulah pentingnya literasi dalam kehidupan kita, karena ada pepatah mengatakan “Literasi can change the world”. Oleh sebab itu, budayakanlah literasi sedini mungkin karena literasi merupakan fondasi suatu bangsa untuk menjadi bangsa yang besar.

0 comments:

Post a Comment