Saturday, February 22, 2014

10:36 PM
1




Benarkah Sistem Pendidikan dan Toleransi antar Umat Beragama di Indonesia itu Buruk?

Setelah saya membaca dan meresapi sebuah artikel yang di tulis oleh Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, saya dapat memahami isi dari artikel tersebut yang berjudul “ Classroom Discourse to Foster Relligious Harmony”  Wacana 7.2  dalam bukunya yang berjudul “Pokonya Rekayasa Literasi” halaman 217-219 bab 7, Topik yang dibahas dalam artikel ini intinya mengenai wacana siswa di kelas untuk mendorong, menciptakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia ini. Berbicara mengenai topik, beliau mengatakan jika kita inggin mengetahui kualitas suatu bangsa , maka kita lihat bagaimana sistem pendidikannya. Dan hampir semua negara maju melakukannya, sehingga dengan demikian mereka membentuk sistem pendidikan yang paling baik untuk membentuk negaranya menjadi negara yang maju.
Artikel ini juga  menjelaskan bahwa seolah  beliau sebagai penulis membeberkan tentang pendidikan di Indonesia yang menurut beliau, pendidikan liberal itu harus diterapkan di Indonesia karena bertujuan untuk membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap orang lain dan tidak memiliki sikap toleransi terhadap orang lain. Dan menurut beliau, pada dasarnya , pendidikan liberal itu penempatan insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis . Dalam konteks Indonesia , pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya . Terlepas dari karir mereka , politisi , insinyur , petani, atau pengusaha, menurut beliau para siswa Indonesia harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah mereka.
Intinya artikel ini membahas mengenai jika kita ingin mengetahui kualitas sebuah bangsa kita harus mengetahui sistem pendidikannya, dan para siswa di indonesia harus menjalankan pendidikan liberal agar tumbuhnya sikap dan rasa toleransi antar umat beragama.

Sebelum saya mengkritisi artikel Prop. Dr. A, Chaedar Alwasilah ini, marilah kita tinjau sedalam-dalamnya kekuatan dan kelemahan artikel beliau. Disini saya akan mengkajinya satu per satu apa saja yang jadi kekuatan dan kelebihan artikel ini, mungkin saya tidak banyak memiliki sumber pengetahuan seperti penulis, tapi demi menemukan bahwa ini adalah adil dan wajar, baik beliau sebagai penulis dan kami sebagai pengkritik.
Diawali dari paragraf pertama, disebutkan bahwa apabila kita ingin mengetahui kualitas bagus atau buruknya suatu bangsa, maka kita harus melihat seperti apa sistem pendidikan bangsa tersebut. Nah penuturan penulis ini menurut saya adalah benar, karena dengan mengetahui sistem pendidikannya seperti apa, maka kita bisa mengontrol bagaimana cara kita untuk menjalankan sistem yang baik, bila ada kekurangan bahkan kesalahan maka kita perbaiki sistem pendidikan tersebut. Dengan mengetahui sistem pendidikan jelas semua akan terkontrol dan jika sistem pendidikan yang berlaku di negara kita tidak baik, maka buruk pula hasil anak-anak didik bangsa kita, itu salah satu yang menjadi kekuatan artikel ini.
Kemudian, menurut penulis, “salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk bisa mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu , anggota masyarakat dan warga negara . Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut . Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar , bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial , yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Nah, argumen ini juga salah satu kekuatan dari artikel ini, berkaitan dengan tujuan dari pendidikan dasar, yaitu untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar agar , mampu mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, perlu di garis bawahi, menurut saya ini merupakan “peer collaboration” atau kolaborasi dengan teman sebaya dan “interaction social” atau interaksi sosial ini penting di terapkan pada siswa-siswa agar mereka bisa berkolaborasi dengan teman sebayanya dalam kegiatan yang positif dan mendorong kemajuan pada diri mereka dan berinteraksi dilingkungan sosial dengan baik, karena itu juga untuk menangkal. Karena jika tidak ada kolaborasi antar sebaya, mereka bisa saja seperti yang dikatakan oleh penulis, seperti munculnya masalah sosial, seperti tawuran anak-anak pelajar, bentrokan pemuda, dan lain-lain. Jadi benar kata penulis, bahwa untuk mencegah munculnya penyakit sosial seperti itu harus adanya penanaman sejak dini dalam diri anak-anak sebagai individu yang berkolaborasi dngan teman sebaya dan berinteraksi dilingkungan sosial dengan baik. Mereka harus dididik bagaimana cara menghormati orang lain.
Tetapi kemudian, saya mengkkritisi argumen penulis berkaitan dengan topik yang memang sedang kita bahas yaitu  classroom discourse (wacana kelas) dan relligious harmony (kerukunan beragama). Hal ini akan saya bandingkan dengan fenomenna yang terjadi di Amerika, jika di Amerika menerapkan para pelajar bertempat tinggal di asrama, peer interaction social, sehingga clasroom discourse (wacana kelas) terjadi, lalu ada apa dengan Indonesia? Padahal, Indonesia sudah menerapkan sistem tersebut, contohnya “pesantren”, bukannya dengan adanya pesantren itu suatu bukti bahwa kita sudah melakukan kedua-duanya?  “Pesantren” adalah pendidikan terbaik. Peer interaction di pesantren (khususnya di Indonesia) laki-laki dan perempuan dipisahkan, sementara bagaimana di Amerika? Peer interaction yang terjadi disana benar-benar bebas tanpa batas, mereka tinggal bercampur, misalnya single sex full, ketika mereka tinggal dalam atap yang sama, banyak sekali efek negatif yang akan terjadi, mungkin mereka akan lebih sering mengintip lawan jenisnya, bahkan tidak sedikit yang sesama jenis pun disana terjadi. Kemudian jika dilihat dari segi agama, dipesantren pasti agamanya hanya satu (Islam), hanya saja yang membedakan biasanya aliran-aliran masing-masing atau perbedaan-perbedaan pendapat dalam mengikuti ajaran imam madzhab.
Selanjutnya, dalam artikel tersebut tertulis “Dalam pengaturan multikultural , siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.” Menanggapi ungkapan tersebut, saya kira itu benar, mengingat di Indonesia ini negara yang multikultural banyak sekali perbedaan budaya, maka wajar bila lahir siswa-siswa yang berbeda-beda dalam pola pikir dan cara berbudaya mereka, dan justru menurut saya itu bagus, bukankah ini hal yang patut kita banggakan bukan? Berarti negara Indonesia ini kaya akan budaya, tinggal kita jaga dan kita bangun lebih kuat lagi dan harus kita lestarikan. Sesuai dengan semboyan negara Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tapi satu tujuan. Ini juga menjadi satu poin kekuatan dari artikel beliau, karena ini fakta.
Dan saya juga sangat setuju dengan pendapat penulis mengenai indikator wacana sipil, diantaranya mendengarkan penuh perhatian , menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat . Dalam arti praktis , ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah. Jika indikasi-indikasi ini diterapkan pada para siswa, maka dengan sendirinya mereka akan terlatih menjadi anak-anak yang terampil. Namun saya kurang setuju jika indikasi-indikasi tersebut diberlakukan untuk semua mata pelajaran, karena tidak semua mata pelajaran ingin menerima pendapat, misalnya belajar matematika dan fisika, saya rasa disana kurang dibutuhkan penampungan pendapat dari siswa, karena itu ilmu pasti dan mutlak, rumus-rumus tersebut tidak dapat dirubah. Kecuali jika mereka ingin menciptakan rumus-rumus baru dalam matematika, itu berarti mereka hebat.
Saya juga ingin mengkritisi berkaitan dengan pendapat penulis mengenai fungsi guru SD (sekolah dasar) yang fungsinya itu mengawasi siswanya sepanjang hari. Nah coba kita bandingkan kembali dengan guru SD di Forlandia, guru SD saja di Forlandia pendidikan minimalnya harus S2, dan otomatis ilmu yang disampaikan pada anak-anak pun akan lebih tinggi dibandingkan dengan guru SD yang mengajar di Indonesia, dan disana juga tidak ada yang namanya ujian, PR (pekerjaan rumah), juga gajih guru SD disana jauh lebih besar dibandingkan dengan di Indonesia. Bagaimana mungkin di Indonesia yang gajinya tidak seberapa, tapi harus mengawasi siswanya hampir sepanjang hari? Emh, kasian juga guru SD di negara kita ya? Apalagi sudah bukan rahasia umum lagi jika anak-anak seusia mereka itu nakalnya minta ampun dan mau tidak mau guru harus siap lelah dan sabar mengurusi mereka.

Lalu mengenai pendapat penulis yang menyatakan bahwa untuk  menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu . Sebaliknya , ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu. Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ), Ambon ( 2009 ), Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa. Tanpa langkah yang tepat yang diambil , konflik seperti itu akan terulang kembali. Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat . Kasus bunuh diri - pemboman gereja di Surakarta bulan lalu, misalnya, mungkin ( mudah-mudahan tidak ) menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid. Dan ini bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan agama besar. 
Nah secara tidak langsung penulis menyatakan bahwa wacana kelas menjadi kerukunan berinteraksi, lalu apa bedanya dengan kohesi? Di dalam kelas Guru tidak hanya mengajarkan mengajarkan scientific, tetapi juga tentang norma, moral, karakter dan lain sebagainya. Menurut saya, kericuhan antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon, Papua dan Singkawang penelitian dari Apriliawati. Secara tidak langsung inti dari ungkapan penulis  tersebut kembali menguatkan bahwa siswa-siswa di Indonesia harus di terapkan sistem pendidian liberal, namun saya kembali kritisi, itu semua terjadi karena adanya opnum dari luar yang mengadu domba kedua umat beragama. Sehingga kekacauan dalam kedua agama yang tidak di inginkan terjadi. mengapa di Indonesia harus adanya Departemen Agama? Departemen Agama itu kan berfungsi untuk mengururusi hal-hal yang berkaitan dengan masalah agama, bersangkutan dengan pendidikan agama. Jika memang ada konflik maka kita bisa selesaikan disana juga. Departemen agama itu sangat banyak sekali jasanya di Indonesia. Jika tidak ada Depag, bisa di bayangkan bagaimana kacaunya pendidikan di Indonesia ini, terutama berkaitan dengan keagamaan.
Kemudian mengingat kasus diatas, misalnya mengenai pemboman gereja di Surakarta, haruskah Indonesia menghapuskan sekolah agama dan kristen menjadi sekolah umum? Sangat disayangkan bukan jika sampai itu terjadi? Mengingat kita sebagai umat muslim, sangat tidak rela jika itu sampai terjadi. Dan ketidakrelaan itu terjadi juga karena kita tahu bangsa Indonesia ini mayoritas penduduknya hampir 75% bragama Islam. Lalu kemudian, mari kita tilik sejarah di Indonesia tentang keharmonisan agama, kita tahu di Indonesia agama yang di akui itu ada lima.  Nah, ragam agama di Indonesia itu sebagai aset bangsa, bukan sebagai konflik. Justru dengan banyaknya agama di Indonesia, kita bisa melakukan dialog antar umat beragama untuk tukar kognitif, afektif dan lain sebagainya. Dan kita semua tahu bahwa di Indonesia ini kita menganut sistem pendidikan yang demokratis, bukan liberal. Lalu bagaimana hubungan liberal dengan demokratis? Setelah ditinjau ternyata sistem liberal itu lebih bersipat toleransi artinya disini sipatnya lebih individu kalau dalam basa sunda “urang-urang maneh-maneh” disinilah letak toleransinya itu seperti ini. Sedangkan dalam sistem demokratis, yang harus lebih sfesisik itu keharmonisan agama. Kenapa sampai adanya konflik antar umat beragama di Indonesia? Salah satu alasan terjadinya konflik antar umat beragama adalah adanya ketidakharmonisan sosial. Adanya opnum pengadu domba antara kedua umat beragama. Seperti pengalaman saya ketika di jejaring sosial, dulu ketika saya masih duduk di bangku SMA, jejaring sosial facebook, sempat ramai dengan ulah seseorang yang membuat akun dengan beridentitaskan agama kristiani dan semua statusnya menjelek-jelekan agama Islam, mengolok-olok dan menghina nabi muhamad SAW, dengan sangat keji. Sehingga disana muncul konflik saling menghina agama antara umat Islam dan si pemilik akun tersebut yang entah dari agama apa sebenarnya dia berasal.  Karena banyak orang berpendapat bahwa sebenarnya dia bukan agama kristen, melainkan dia seorang yang tidak beragama, sebagian pendapat juga mengatakan dia seorang pemuja setan. Nah disana jelas, adanya opnum yang tidak bertanggung jawab yang melakukan adu domba terhadap dua agama.  
Kemudian, konflik antar umat beragama adalah disebabkan karena mereka itu terlalu fanatik terhadap satu sama lain. Sehingga mereka saling membenarkan ajaran masing-masing dan menganggap salah terhadap ajaran orang lain. Pada dasarnya sifat fanatik ini membuat agama lainnya tidak nyaman dan berbalik saling cerca bahkan saling mencelakakan. Namun bila kita mengingat lagi ke masa silam pada tahun 2000-2001, pada masanya KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita panggil “Gusdur” itu memegang teori pluralisme eksklusifme. Plural disini berarti toleransi dan eksklusifme disini bahwa agama Islam adalah agama yang paling benar, teori inklusifme itu  menganggap bahwa semua agama itu benar, tetapi Islam yang paling benar. Karena semua bertujuan kesatu titik yaitu Allah SWT. Pada zaman Gusdur juga munculnya agama baru Konghucu, kita dapat melihat adanya toleransi disana. Jika ditanya negara manakah yang paling bagus toleransinya? Ya jawabannya adalah Indonesia. Sebgai buktinya yaitu coba kita lihat gereja yang paling besar ada di depan masjid Istiqlal Jakarta, dan kita semua tahu mesjid Istiqlal itu adalah masjid yang paling besar di Indonesia ini. Nah, apakah itu masih kurang menjadi bukti sebagai bentuk toleransi antar umat beragama di Indonesia?
Selain itu, disini juga dijelaskan oleh penulis bahwa anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu , para siswa tampak percaya satu sama lain , sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil . Saya rasa argumen tersebut menjadi satu kekuatan yang real dari artikel ini. Memang yang menjadi kekuatan artikel ini adalah bagaimana penulis berargumen pada pentingnya wacana sipil atau pendidikan umum, namun saya memang kurang setuju jika pendidikan liberal itu dianggap penting oleh penulis karena banyak contoh-contoh beserta alasannya yang sudah saya jelaskan diatas.


     Selanjutnya, untuk menanggapi argumen penulis mengenai interaksi dengan teman sebaya dikelas merupakan hal yang harus selalu dilakukan baik dengan pemberian tugas kelompok dan lain-lain, menurut beliau ini adalah bisa melatih siswa-siswa saling menghormati pendapat satu sama lain saya tidak ingin mengkritisi ini. Karena menurut saya ini memang salah satu langkah yang tepat untuk dilatih, dan sejauh itu disini tidak ada masalah, selama itu dilakukan dengan cara yang hormat, dan tidak saling menjatuhkan. Salah satu cara supaya siswa mampu berpikir kritis memang dengan cara-cara tersebut, mereka akan aktif dan berwawasan tinggi.
Studi Aprilliaswati yang mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah , tetapi juga wacana sipil positif . Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual , sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Argumen ini juga menjadi salah satu poin kekuatan dari artikel ini. Saya membenarkan argumen beliau, penalaran ilmiah jelas penting, tapi tidak hanya itu, wacana sipil positif penting untuk membina warga masyarakat agar berperilaku baik.
Kemudian menurut penulis, negara kita saat ini gagal dalam kompetensi wacana sipil, dikarenakan masih banyak politisi yang mereka lulus dalam pendidikannya, tetapi tidak memiliki wacana tersebut, sangat disayangkan, sebagai contohnya insiden memalukan pada  tahun 2010,  ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri . Hal ini menjadi bahan pelajaran untuk bangsa Indonesia agar hal seperti itu tidak terulang lagi. Memang benar, berbicara tentang politisi di Indonesia saat ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Bukan hanya dalam hal yang seperti penulis sampaikan, faktanya juga banyak penyimpangan-penyimpangan lain bukan? Seperti banyaknya dari kalangan mereka yang korupsi. Itu semua melibatkan para politisi, dan tugas bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana agar kita bisa memperbaiki itu semua. Dan benar kata penulis, bahwa politisi telah memberikan contoh yang sangat buruk pada siswa-siswa di Indonesia.
Kemudian berkaitan dengan argumen penulis yang menyatakan bahwa “Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama , etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Kampus ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.” Nah dari pernyataan tersebut saya setuju bila kita mematuhi kebijakan jika ada guru atau tenaga kerja di sekolah yang berbeda agama itu kita tetap saling menghormati dan toleransi. Bahkan saya setuju jika dalam suatu kampus itu disediakan berbagai sarana tempat beribadah bagi siswa dari semua agama. Dengan begitu kita akan mengetahui cara beribadah agama lain seperti apa, dan dari sana kita khususnya saya dan penulis tentunya yang beragama Islam bisa membandingkan agama mana yang paling benar. Disana kita juga bisa sharing dan kita dapat menambah pengetahuan kita tentang bahwa agama yang kita pegang itu jauh lebih baik dan benar dari agama lain. Asalkan iman kita kuat dan kita mengerti dengan kebenaranya, saya rasa tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua orang bebas memilih.
Dan menanggapi argumen penulis yang terakhir  yang menyatakan bahwa “dalam konteks Indonesia , pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka - politisi , insinyur , petani , atau pengusaha - siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerahnya.” Disini saya menemukan kembali kelemahan dari artikel ini, menurut saya lemah. Karena saya memang tidak setuju jika penulis beranggapan bahwa pendidikan di Indonesia itu dianggap kurang baik dan pendidikan liberal dianggap penting untuk diterapkan pada siswa-siswa di Indonesia.
Jadi dapat saya simpulkan dari artikel ini intinya penulis menganjurkan pentingnya pendidikan liberal pada siswa-siswa di Indonesia dan sistem liberal antar umat beragama. Karena menurut beliau liberali itu adalah toleransi. Namun, disini saya menyanggah banyak dari argumen penulis, karena menurut saya sistem pendidikan di Indonesia itu jauh lebih baik di bandingkan dengan sistem pendidikan liberal yang contohnya di terapkan di Amerika. Dan sikap toleransi  antar umat beragama di Indonesia juga menurut saya paling baik jika dibandingkan dengan negara lain. Jadi bukan sistemnya yang salah, hanya saja mungkin cara menjalankan sistem tersebutlah yang kurang baik.



1 comments:

  1. tulisan ini menggambarkan seolah-olah kamulah yang lama tinggal di US. 'Voice' dan 'stance' kamu ga terlihat di sini

    ReplyDelete