Monday, February 24, 2014



The 3rd Class Review
17 February 2014



Stayed On Literacy


Masih dalam kajian literasi, yang semakin spesifik. Definisi literasi tidak hanya dimaknai sebagai membaca dan menulis. Akan tetapi, semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia merupakan bagian dari literasi. Dimana diantara dimensinya adalah social, politik, ekonomi dan psikologi. Dimensi tersebut termasuk dalam budaya (Culture), karena culture is about norm, belief, values, thought, social, custom, system of symbols which is use in any symbols and bounded and salient to any individual.
Keempat dimensi tersebutlah yang akan membentuk suatu peradaban (civilization) yang selalu diperbaharui dan tentunya perubahan tersebut akan bereferk pada gaya hidup kita, seperti prosperous, security, comfort, dan tentunya beuty. Hal ini dibuktikan dengan adanya kota Melbourn yang merupakan kota layak huni nomor 1 di dunia, baik dari segi keamanan, kenyamanan, dan tidak adanya kemacetan lalu lintas serta lingkungan yang bersih. Dalam penilaiannya, 140 negara dinilai terlebih dahulu oleh EIU Global livability survey 2013 yang berupa stabilitas, pendidikan, dan infrastruktur kota, kesehatan, budaya dan lingkungan. Lalu setiap Negara akan mendapatkan poin untuk menentukan tingkat peringkatnya.
Di bawah ini merupakan 10 urutan kota yang layak huni di bawah Melbourn:
1.      Melbourn, Australia (97,5)
2.      Wina, Austria (97,4)
3.      Vancouver, Kanada (97,3)
4.      Toronto, Kanada (97,2)
5.      Calgary, Kanada (96,6)
6.      Adelaide, Australia (96,6)
7.      Sydney, Australia (96, 1)
8.      Helsinki, Finlandia (96,0)
9.      Perth, Australia (95,9)
10.  Auckland, Selandia Baru (95,7)
Jadi, dari 10 kota tersebut, yang paling nyaman untuk dikunjungi kebanyakan berada di Australia dan Kanada. Hanya beberapa kota di Eropa dan Selandia Baru yang masuk dalam daftar kota tersebut.
Berlanjut ke pembahasan power point yang berjudul “3rd Match: Exploring nothing but literacy engineering.” Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire—William Butler Yeats. Hal ini berarti bahwa pendidikan bukanlah seperti mengisi ember yang siswanya dating ke sekolah membawa tangan kosong, akan tetapi pendidikan itu seperti kita membawa obor dengan nyalanya api, kemudian guru tersebut memadamkannya. Dan ia tidak peduli apa yang terjadi pada siswanya setelah kejadian tersebut karena ia menginginkan siswanya kuat mengahadapinya, baik ia dalam kondisi terkejut, dan lain sebagainya.
Di bawah ini, terdapat beberapa elemen dari academic writing. Seperti yang telah kita ketahui, penulisan dalam academic writing itu sendiri tidak berbunga-bunga, akan tetapi direct dalam sisi penulisannya.
1.      Cohesion => Perpindahan yang halus atau mengalir antara kalimat dan paragraph lainnya.
2.      Clarity => Maksud/ tujuan apa yang dimaksud tersebut terkomunikasi secara jelas dan sempurna.
3.      Logical Order => Dalam academic writing, seorang penulis harus menulis dari yang bersifat general ke yang lebih spesifik.
4.      Consistency => Hal ini berarti bahwa keseragaman gaya penulis harus sama.
5.      Unity => Sederhananya, unity bermaksud pada pengecualian informasi yang secara tidak langsung berhubungan dengan topic itu sendiri yang didiskusikan atau dibicarakan dalam sebuah paragraph.
6.      Conciseness => Keringkasan yang padat isinya. Tidak minim dalam penggunaan kata-kata karena good writing dengan cepat mereka menemukan poin dan mengeliminasi kata yang tidak penting. Dalam hal ini, masih berkaitan dengan unity dan cohesion.
7.      Completeness => Kelengkapan. Ketika pengulangan atau informasi tidak penting harus dieliminasi, maka seorang penulis harus memberikan informasi yang esensial pada topic.
8.      Variety => Hal ini menambahkan beberapa teks yang pedas untuk menolong pembaca.
9.      Formality => Akademik writing merupakan formal nada. Hal ini berarti bahwa vocabulary yang digunakan harus mutakhir terutama struktur grammarnya. Dalam hal ini juga, penggunaan “I” dalam penulisan harus dihindari.
Setelah penjelasan mengenai key elemen academic writing. Kemudian pak Lala mengecek chapter review, namun sebelumnya, kami harus mengoreksi terlebih dahulu tulisan kami. Seperti :
1.      Target;
2.      Argument penting;
3.      Bukti;
4.      Claim yang tidak ada bukti;
5.      Buktinya cukup/tidak?;
6.      Terkesan emosional?
Dari keenam point diatas, masih banyak yang kurang dalam penulisan saya. Dan beliau mengomentari bahwa tulisan kami masih bercita rasa pak Chaedar. Dengan demikian, kami belum menemukan bumbu yang pas dank has untuk masakan kami. Semoga kedepannya, citarasanya semakin “wow”. Delicious….. ^__^
“Your group did a great job on the 3rd match”. Inilah kata-kata yangpaling menakutkan untukku. Pujian orang lain sungguh menyenangkan. Akan tetapi, terkadang pujian dapat memotivasi untuk terus semangat, bahkan terkadang menjatuhkan. Disaat sekarang, kami berada dalam posisi atas roda. Akan tetapi, ketika kami terlena atau lengah sedikit saja, maka hal itulah yang membuat diriku down. Semoga di semester 4 ini, semuanya berjalan dengan baik dan lancer. Tak ada halangan sedikitpun. J dan semoga Allah selalu memberikan kemudahan di atas kesulitan. ان مع العسر يسرا........... امين
Sedikit cerita, abad ke 21 menantang kita untuk lebih meningkatkan kualitas SDM. Lonjakan bergejolak yang mewarnai tidak pernah surut memojokkan bangsa Indonesia. “Orang yang literat, tidak hanya sekedar membaca dan menulis, tapi juga terdidik dan mengenal SASTRA.” Inilah yang harus dipertanyakan, kenapa harus mengenal sastra? Jawabannya adalah karena pengajaran sastra mengadopsi perspektif estetik dan memberi penekanan pada sudut pandang tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang tokoh bahwa “To teach literature correctly is to emphasize the esthetic stance and to de-emphasize the efferent” (Rosenblatt: 1978).
Dengan demikian, hal ini mengindikasikan bahwa siswa tidak hanya mengidentifikasi apa yang tertuang dalam karya sastra tetapi mereka juga mampu mengidentifikasi yang ada di luar karya sastra itu sendiri. Sebenarnya sastra dan bahasa Indonesia masih sangat mirip. Perbedaannya adalah kalau bahsa masih dalam kajian struktur dan sasra lebih cenderung ke sikap dan norma. Oleh karenanya, keduanya tidak bisa saling dipisahkan satu sama lain. Yang pada kenyataannya merupakan bagian dari literasi itu sendiri.


0 comments:

Post a Comment