Tuesday, February 18, 2014


Literasi...oh...literasi
                2nd meeting of writing for academic. Pada hari itu Bapak Lala Bumela, M. Pd memberikan tugas untuk minggu depan adalah chapter review. Dengan persyaratan10 halaman, dan chapter yang di review adalah Bab 6 Rekayasa Literasi pada bukunya Prof. Chaedar.
Di awal penjelasan Bab 6, menjelaskan bahwa pengajaran bahasa asing dalam metode dan pendekatannya ada lima macam kelompok besar;
1.                  Pendekatan structural dengan grammar translation methods. Pendekatan metode ini menggunakan bahasa tulis dan penggunaan tata bahasa. Kelemahan metode ini, adalah tidak menjamin siswa mampu menganalisis masalah sosial, seperti bahasa iklan.
2.                  Pendekatan audiolingual atau dengar-ucap, metode ini menggunakan dialog-dialog itu saat berkomunikasi secara spontan. Kelemahan dari metode ini adalah kurangnya memberi ruang terhadap variasi ujaran sebagai fungsinya.
3.                  Pendekatan kognitif atau transformatif, metode ini berorientasi pada pembangkitan potensi berbahasa siswa sesuai kebutuhan lingkunganya.
4.                  Pendekatan komunikatif competence, pendekatan pengajaran bahasa ini menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas sampai komunikasi spontan atau alami.
5.                  Pendekatan literasi atau pendekatan genre-based, tujuan dari pembelajarannya adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai konteks komunikasi. Pendekatan ini adalah pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun tulisan. Pembelajarannya melalui empat tahapan, yaitu:
Literasi, genre-based
Membangun pengetahuan                                           menyusun teks bersama-sama
                                    Menyusun model-model teks                                      menciptakan teks
Genre, wacana, literasi, teks, dan konteks saat ini menjadi bahan perbincangan dikalangan guru. Dalam perkembangannya, definisi dari literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu literasi diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kini literasi zaman sekarang diartikan sebagai sebuah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan politik dan sosial. Dari definisi baru ini, menunjukkan literasi memiliki paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya.
Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA, dan lain sebagainya. Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis dirangkum dalam lima verba; memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks.
Seiring dengan perkembangan zaman, literasi terus berevolusi, makna dan rujukannya pun semakin meluas dan kompleks. Berbeda dengan rujukan linguistik dan sastra itu bersifat relatif konstan. Literasi memiliki tujuh dimensi, yang berkaitan dengan penggunaan bahasa zaman sekarang, yaitu;
1.                  Pendekatan geografis, meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan masyarakat dan jejaring sosial.
2.                  Dimensi bidang, meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa dibidang pemerintahan, yang merupakan pusat layanan rakyat.
3.                  Dimensi ketrampilan, meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu yang dilihat dari tampaknya kegiatan atau kegemaran masyarakat dalam membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Dalam tradisi orang barat, ada tiga ketrampilan (3R) yang lazim diutamakan adalah reading, writing, dan arithmetic.
4.                  Dimensi fungsi, orang yang literat pasti bias memecahkan suatu persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri.
5.                  Dimensi media, meliputi teks, cetak, visual, dan digital. Pada zaman modern ini, orang tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis saja, tetapi juga harus mengembangkan kemampuan membaca dan menulis dalam teks cetak, visual, dan digital. Penguasaan IT (information technology) itu sangat penting dan diperlukan.
6.                  Dimensi jumlah, konsep ini jumlah yang dimaksud meliputi banyak hal, seperti bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan lain sebagainya. Literasi dalam konsep berkomunikasi, itu bersifat relative. Orang yang multiliterat akan bias berkomunikasi atau berinteraksi dalam berbagai situasi.
7.                  Dimensi bahasa, meliputi daerah etnis, local, nasional, dan internasional. Konsep ini memiliki literasi singular dan literasi plural, yang dianalogikan pada monolingual, bilingual, dan multilingual.
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti yang luas, sehingga keberaksaraannya bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multiliteracies). Ada bermacam-macam keberaksaraan aau literasi, misalnya literasi computers (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), dan literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Seorang yang dikatkkan literat jika orang tersebut sudah bias memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Literasi pada dasarnya mengisyaratkan bangsa untuk baca-tulis. Pendidikan sudah kewajibannya mengajarkan pengetahuan budaya, jika pendidikan saja mengabaikan suatu apresiasi dari budaya, maka akan menyebabkan ketidakpedulian kita terhadap budaya sendiri. Contohnya pendidikan bahasa di Indonesia yang melatih siswa agar mampu mengekspresikan diri, berinteraksi, berkomunikasi dengan teman, dan lain-lain. Pada tingkat perguruan tinggi, pendidikan bahasa melatih para mahasiswa untuk mampu menghasilkan suatu ilmu pengetahuan baik yang berupa ilmiah maupun non-ilmiah melalui menulis.
            Jika saja pendidika di Negara Indonesia memiliki kualitas tinggi, maka akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Seseorang akan tampak keberaksaraannya (literasi-nya) dengan melihat kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Memang setiap sarjana pasti mampu membaca, tetapi tidak semua sarjana mampu untuk menulis.
Dari hasil pemaparan Prof. Chaedar, dalam laporan PIRLS tidak ditemukan skor prestasi menulis. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memang bukan bangsa penulis. Namun, dapat diprediksi bahwa prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan membaca. Tanpa adanya kegiatan membaca (banyak), orang sulit untuk menjadi penulis. Tapi, banyak membaca juga belum tentu menjamin orang tersebut rajin menulis. Hingga tahu n 2003, Indonesia jauh lebih banyak mencetak ilmuwan daripada penulis. Setiap tahun Indonesia memproduksi 6.000 buku (termasuk terjemahan), berbeda jauh dengan Negara-negara lain seperti Malaysia 8.500, Korea 45.000, Jepang 60.000, Amerika 90.000, dan india 70.000 judul buku.
Sementara itu, berdasarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia, hingga tahun 2007 tercatat ada 231.786 orang dosen yang dijabarkan sebagai berikut;
-                      12.231 orang berpendidikan S-3,
-                      74.845 orang berpendidikan S-2,
-                      135.340 orang berpendidikan S-1,
-                      2.667 orang berpendidikan Sp-1,
-                      420 orang berpendidikan Sp-2,
-                      2.052 orang berpendidikan D-4,
-                      2.705 orang berpendidikan D-3,
-                      55 orang berpendidikan D-2,
-                      28 orang berpendidikan D-1,
-                      1.316 orang berprofesi.
Dari data-data tersebut, bangsa Indonesia dari yang berprofesi dosen yang cukup banyak, tetapi tidak diimbangi dengan ketrampilan menulis, sehingga hal tersebut yang membuat Indonesia tidak bias mengejar rekor Malaysia.
Menurut Prof. Chaedar, jika saja setiap dosen menjalankan kewajibannya, yaitu menulis sebuah buku dalam setiap tiga tahun, setiap tahun akan terbit sekitar 77.000 judul buku, hal itu pun belum termasuk buku-buku yang ditulis oleh kalangan non-dosen. Dengan cara ini, Indonesia pasti akan mampu menyamai rekor india yang saat ini menempati peringkat ke-3 dunia.
Hal tersebut mungkin akan sulit untuk dilakukan. Mengingat di era globalisasi ini, polemic-polemik di Indonesia semakin parah. Terutama dalam dunia pendidikan Indonesia, berdasarkan data dari kemendikbud (2011) yang mengungkapkan bahwa terdapat 153.026 unit sekolah yang rusak di negeri ini. Kemudian tidak kurang dari 150 ribu anak bangsa belum tersentuh pendidikan saat ini, belum lagi mereka yang hidup di wilayah pedalaman dan perbatasan, sungguh tidak terhitung jumlahnya. Di daerah Banten misalnya, sarana dan prasarananya pun menunjukkan keprihatinan. Sebanyak 200 dari 700 gedung SD yang ada di kabupaten serang hingga kini masih dalam kondisi rusak berat. (indopos.com)
Ditambah lagi, problematika yang utama dari pendidikan indonesia adalah adanya campur tangan dunia politik. System pendidikan di Indonesia masih belum terarah, dan rawan tindak korupsi. Hal ini terlihat dari setiap pergantian kepresidenan di Indonesia, pasti menteri pendidikan juga ikut digantikan, dengan adanya hal tersebut otomatis sering dilakukannya pembaharuan system pendidikan.
Masalah-masalah lainnya dalam kualitas pendidikan di Indonesia, adalah seperti kurangnya sarana, dan prasarana sekolah, lalu pemerataan hak untuk bersekolah, mahalnya biaya pendidikan, dan juga alokasi dana APBN yang diaanggap masih rendah oleh para pihak-pihak tertinggi di sekolah. (pemerintah merencanakan 20 % dari dana APBN untuk pendidikan, namun realisasinya sering dibawah 10 %, dan tidak pernah sampai 20 %).
Padahal sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal pertama untuk membangun literasi yang pada umumnya didukung oleh pemerintah dengan menggunakan dana APBN yang lebih, dan dengan demikian mudah untuk melakukan berbagai kebijakan yang bias meningkatkan kualitas dunia pendidikan di Indonesia, bukan malah untuk memperkaya diri sendiri.
Dengan kata lain, pendidikan di Indonesia belum berhasil menciptakan warga Negara yang literat. Hal tersebut didukung dengan tingkat literasi siswa yang masih jauh dari Negara-negara lain. Apalagi di era modern ini, kian mudahnya akses informasi, dan kian majunya arus komunikasi, menjadi kekhawatiran untuk dunia pendidikan Indonesia kedepannya.
Pada zaman modern ini, dalam sekejap siswa bias mencari apa saja yang diinginkannya melalui internet. Mulai jaringan komunikasi seperti cellphone yang sekarang ini menawarkan berbagai aplikasi-aplikasi yang menarik para siswa, kemudian akses internet untuk bermain games, facebook, twitter, mencari artikel, makalah, maupun buku dapat ditelusuri siswa. Dari fenomena tersebut, wajar saja jika dikatakkan mayoritas siswa lebih tertarik atau terhipnotis dengan kecanggihan dunia akses informasi dalam internet.
Pada era modern ini, seharusnya kita mampu memanfaatkan keadaan akses informasi dengan baik, bukan malah justru keadaan ini memperbudak kita sekarang. Sehingga membuat para siswa malas untuk minat membaca buku, maupun menulis.
Kenyataan tersebut didukung oleh data dari Prof. Chaedar, yang mengatakan bahwa skor prestasi membaca di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan, dan 398 untuk laki-laki. Angka ini dibawah rata-rata Negara lain, yakni 500, 510, dan 493. Skor tertinggi diperoleh Rusia (565), Hongkong (564, Kanada / Alberta (560), dan Singapura (559), sedangkan Indonesia menempati urutan ke-5 dari bawah, yakni sedikit lebih tinggi daripada Qatar (356), Kuwait (333), dan Afrika Utara (304).
Indonesia hanya 2 % siswa yang prestasi membacanyamasuk kedalam kategori sangat tinggi, 19 % masuk kedalam kategori menengah, dan 55 % masuk kedalam kategori rendah. Artinya, 45 % siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400, diantara Negara-negara yang prestasi membacanya tinggi, yaitu Singapura dan Federasi Rusia yang menempatkan 19 % siswanya masuk kedalam kategori advanced international bench mark, 58-61 % masuk kedalam kategori high International bench mark, 86-91 % masuk dalam kategori intermediate international bench mark, dan hampir semua siswa (97-99 %) memenuhi criteria low international bench mark.
Sebenarnya Polemic-polemik di Indonesia tidak hanya terjadi didunia pendidikan saja, dalam sektor hukum, ekonomi, politik, dan budaya Indonesia dilanda problematika masalah di era globalisasi ini. Mungkin masalah-masalah tersebut yang membuat rapor literasi anak bangsa Indonesia merah, seperti yang diungkapkan oleh Prof. Chaedar.

Kesimpulan;
Melihat paradigm-paradigma yang terjadi di Indonesia ini, saya menyimpulkan bahwasanya tingkat kemampuan literasi (membaca-menulis) bangsa Indonesia (baik dosen maupun siswa), masih jauh untuk mampu mencapai tingkat masyarakat madani seperti halnya Negara-negara lain. Hal ini dipengaruhi oleh adanya era digital yang serba canggih, yang menyebabkan para dosen atau siswa semakin tidak sadar dengan hanya pengennya serba instan.
            Terlalu canggihnya jaringan komunikasi yang mempunyai kelebihan fasilitas ini, membuat manusia malas dan lupa akan peranannya dalam kehidupan yang lain, sehingga minat akan membaca dan menulis berkurang atau sama sekali tidak dihiraukan. Bila saja, pemerintah atau kepala sekolah itu sendiri mengetahui tentang makna dari literasi, mungkin Indonesia bias menjadi bangsa yang bermasyarakat madani dan literasi. Tidak hanya lembaga permerintahan saja, peran orang tua pun cukup berpengaruh besar dalam pengembangan literasi, sebagai fondasi awal untuk mengembangkan tahapan literasi berikutnya.

0 comments:

Post a Comment