Friday, February 28, 2014


Setelah mendapat tumpahan kritikan dari sang maestro writing, yakni Mr Lala Bumela, M.Pd. ihwal tulisan penulis dalam critical review pertama yang bertemakan “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, yang didalamnya mengandung banyak kesalahan penulisan ( kecacadan ) baik mengenai konten maupun generic structurnya, karena itu untuk menambal kecacadan ( gaps ) tersebut, dalam class review kali ini penulis ingin menyajikan suatu hal yang besar, yakni melakukan reparasi tulisan yang dapat memberikan cita rasa yang berbeda sehingga audience suka dengan masakan penulis.
Berdasarkan kontennya, Kesalahan penulis terletak pada penguraian definisi yang inkonsisten dan tidak mendetail. Bahkan dalam membuat suatu pandangan atau opini, tidak didasari dengan landasan atau bukti ( Evidence ) yang kuat sehingga kualitas tulisan tersebut tidak bertaji. Sedangkan berdasarkan generic struktur, kesalahan penulis teletak pada penguraian pembahasan yang tidak sesuai dengan aturan atau struktur penulisan. Relasi pembahasan yang saling terputus ( Inkonsisten ) atau tidak ada keterkaitan sehingga tampak membingungkan ( Incoherence ). Inkonsistensi penulis ini juga merambat pada area konklusi yang tidak linear atau searah dengan ide awal yang sudah dibangun.
Wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof. Chaedar Alwasilah ini mengemas dua fokus pembahasan yaitu “Classroom Discourse” dan “Religious Harmony”. Kesalahan penulis dalam merespon atau mengkritisi wacana tersebut sangat fatal sekali, yakni tidak menjelaskan definisi dari classroom discourse itu sendiri. Padahal jalan atau media untuk membangun sekaligus mengembangkan pemahaman ihwal religious harmony, diharuskan untuk mengetahui bahkan mengenal ihwal classroom discourse atau wacana kelas.
Sebelum melangkah lebih jauh ke terma Classroom Discourse ( wacana kelas ), kita harus mengenal terlebih dahulu definisi dari Wacana. Dalam kridalaksana (2011)[1] dipaparkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sementara menurut Louis Marianne (2002)[2], Wacana merupakan proses bagaimana seseorang berbicara dan mengerti apa yang dibicarakan dan didengarnya yang mencakup semua aspek kata yang di ucapkan. Pengertian wacana termasuk ke dalam tindak tutur yang menurut Abdul chaer (2004)[3] merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam situasi tertentu. Jadi, secara garis besar wacana merupakan proses dimana seseorang menyampaikan ujaran untuk dapat dimengerti oleh orang lain yang tidak terlepas dari sistem dan kaidah bahasa yang berlaku. Untuk mengkaji dan memahami wacana maka digunakan analisis wacana atau discourse analisis.
 Setelah kita tahu apa tahu wacana, kita akan membahasa ihwa definisi kelas. Kelas bisa diartikan ke dalam dua perspektif, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding ( persegi ), tempat dimana sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses pembelajaran. Sementara dalam arti luas, kelas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah, sebagai satu kesatuan disorganisasi yang menjadi unit kerja yang dinamis, menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.
Istilah Classroom discourse selalu mengacu kepada penelitian atau analisis. Classroom discourse atau wacana kelas umumnya merujuk pada bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain di dalam kelas. Berbicara, atau percakapan ( conversation ) merupakan suatu media di mana sebagian besar pengajaran berlangsung.
Percakapan dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih. Percakapan juga bisa disebut sebagai proses komunikasi. Proses komunikasi bisa terjadi dimana saja dengan wacana yang berbeda atau sesuai dengan kondisi yang ada. Interaksi pedagogis merupakan wacana yang dapat kita temui di sekitar dunia pendidikan khususnya di ruang kelas yang merupakan tempat yang paling sering terjadi percakapan atau  interaksi antara pendidik dan peserta didik ( Teacher-Learner ). Dalam wacana pedagogis banyak hal menarik yang dapat dikaji  dalam usaha memperbaiki kondisi dalam proses pembelajaran tersebut.
Berdasarkan penuturan dari Graham Nuthall[4], bahwa Studi awal sistematis ihwal wacana kelas dilaporkan pada tahun 1910 dan digunakan stenograf untuk membuat rekaman kontinyu mengenai perbincangan antara guru dan siswa di kelas SMA. Penggunaan pertama dari perekam kaset di kelas dilaporkan pada 1930-an , dan selama tahun 1960 ada pertumbuhan yang cepat dalam jumlah penelitian berdasarkan transkrip analisis wacana kelas . Pada tahun 1973 , Barak Rosenshine dan Norma Furst menggambarkan tujuh puluh enam ( 76 ) sistem publikasi yang berbeda untuk menganalisis wacana kelas .
Hal tersebut dengan cepat menjadi jelas dari studi awal bahwa interaksi verbal antara guru dan siswa memiliki struktur dasar yang sama di semua kelas, dan di semua tingkatan kelas, di negara-negara berbahasa Inggris . Pada dasarnya, guru mengajukan pertanyaan, kemudian satu atau dua siswa menjawab. Setelah itu guru mengomentari jawaban siswa ( kadang-kadang meringkas apa yang telah dikatakan ) dan kemudian mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Pola siklik ini berulang dengan variasi yang menarik, sepanjang perjalanan pembelajaran.
Guru sebagai penentu pergerakan kelas harus menciptakan interaksi yang efektif apabila memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti ; penjabaran tujuan, motivasi kepada siswa, penggunaan model pembelajaran, dan mengenal perbedaan individu.
Di dalam kelas selalu diliputi oleh ideologi-ideologi dan nilai-nilai yang berasal dari background atau latar belakang siswa itu sendiri. Latar belakang tersebut yang membentuk kepribadian mereka, dari hal itu ideologi-ideologi muncul dan berkembang. Dengan kata lain, para siswa memiliki pandangan yang tidak selalu sama dengan siswa yang lainnya. Pola interaksi siswa yang terjadi ketika di dalam dan diluar kelas pun berbeda-beda. Ada yang sangat dekat baik di dalam maupun di luar kelas, ada yang dekat hanya ketika di dalam kelas, dan lain sebagainya. Interaksi yang terjadi tidak selalu mengimplikasikan keharmonisan. Terkadangt di dalamnya terdapat tensi-tensi membuat siswa merasa tidak nyaman dengan sausana kelasnya dan terkadang pula sebaliknya.
Seperti itulah gambaran ihwal wacana kelas yang jika dikemas secara umum melibatkan 3  aspek, yaitu partisipan ( guru-murid, dan murid-murid ), aktifitas interaksi ( hubungan, jarak, dan status sosial ), dan fokus atau substansi pembelajarannya ( topik atau materi ). Wacana kelas selalu melibatkan teks dan konteks, di dalamnya mengandung pola interaksi yang sangat kompleks, dengan melibatkan latar belakang atau background siswa yang berbeda-beda dan komunikasi yang sangat variatif ( formal, non-formal ), tetapi memiliki asas tujuan yang sama, yakni para siswa mampu mencapai tiga aspek yaitu aspek kognitif ( kecerdasan intelektual ), afektif ( kecerdasan emosional ) dan psikomotor ( kecerdasan sosial ).




[1] kridalaksana (2011)
[2] Louis Marianne (2002)
[3] Abdul chaer (2004)

0 comments:

Post a Comment