Tuesday, February 18, 2014


            Terdapat 5 kelompok besar guna mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan (approach) oleh para ahli bahasa, berikut ulasannya.  Pertama, yang popular sampai perang dunia ke-2 yakni Pendekatan Stuktural dengan grammar translation methods, hal ini melatih siswa dalam menanalisis kesalahan berbahasa (eror analysis), sintaksis kalimat, dan wacana.  Namun seiring dengan perkembangannya, karena terdapat kekurangan dalam pendekatan tersebut, maka pada tahun 1940-1960 Pendekatan Audiolingual atau dengar ucap yang berperan, karena siswa dapat terlatih melalui dialog-dialog pendek, tetapi permasalahannya dalam pendekatan ini penguasaan baca tulis pun terabaikan.  Selanjutnya (Chamsky, 1957) menerapkan Pendekatan Kognitif dan Transformatif sebagai implikasi dari teori-teori syntactic structure.  Materi yang diajarkan beorientasi pada sintaksis.   Namun dalam berbahasa itu tidak hanya bersintaksis, tapi secara sosiolinguistik tidak fungsional.  Selanjutnya pada tahun 1980-1990, Pendekatan Communicative Competence yang tokoh-tokohnya antara lain Hymes (1976) dan Widdowson (1978).  Tujuannya agar menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target baik spontan atau alami.  Tapi pendekatan ini juga dianggap kurang eksplisit sehingga lahir tata bahasa fungsional atau Systemic Functional Grammar (SFG) Halliday (1985) ; Martin (2000).  Setelah itu karena kurikulum 2004 di Indonesia memiliki tujuan yang menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana sesuai dengan konteks komunikasi serta yang menonjol adalah pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun tulisan untuk dikuasai oleh siswa, maka Pendekatan Literasi atau Pendekatan Genre-Based sebagai implikasi dari studi wacana pun diterapkan.
            Definisi literasi dalam (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005:898) adalah kemampuan membaca dan menulis.  Namun seiring dengan perkembangan zaman, definisi dari literasi berpaling ke definisi baru yang menunjukan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya.  Makna dan rujukan literasi terus berevolusi, dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks.  Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.  Dimensi geografis, dimensi bidang, dimensi keterampilan, dimensi fungsi, dimensi media, dimensi jumlah, dan dimensi bahasa.  Dalam definisi tersebut ada 10 gagasan kunci ihwal literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.  10 gagasan kunci tersebut adalah ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan relative, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat demokratis, keragaman local, hubungan global, kewarganegaraan yang efektif, bahasa inggris ragam dunia, kemampuan berfikir kritis, dan masyarakat semiotic.
            Pendidikan bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsif sebagai berikut :
·         Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
·         Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
·         Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
·         Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
·         Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
·         Literasi adalah hasil kolaborasi.
·         Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.

Sejumlah fakta menyebutkan tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa Negara-negara lain, artinya pendidikan di Indonesia belum berhasil menciptakan warga Negara literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari Negara lain.  Ada berbagai variable yang terkait dengan pendidikan literasi, salah satunya yakni dari pendpatan nasional per kapita.  Manusia literat merupakan SDM yang memiliki potensi untuk membangun bangsa.  Pendidikan literasi adalah investasi jangka panjang yang berfungsi tansformatif, dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik (Wagner 1999 dan Barton 2001 dalam setiadi 2010). Dengan kata lain, pendidikan literasi pasti mengubah pendapat dan pendapatan.
Dalam berbagai perbincangan, tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya.  Rekayasa literasi adalah upaya untuk yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.  Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal adalah situs pertama untuk membangun literasi yang pada umumnya disokong oleh pemerintah, karena itu wajar jika proses dan hasil pembelajaran bahasa di sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur tingkat literasi.  Seperti yang dibahas di materi ini bahwa literasi meliputi keterampilan membaca dan menulis.  Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi sebagaimana berikut ini:
                                                                                  
·         Dimensi pengetahuan kebahasaan (focus pada teks).
·         Dimensi pengetahuan kognitif (focus pada minda).
·         Pengetahuan perkembangan (focus pada pertumbuhan).
·         Pengetahuan sosiokultural (focus pada kelompok).

Kegiatan literasi seperti yang terlihat dalam gambar diatas selalu secara serentak melibatkan keempat dimensi (bahasa, kognitif, sosial, dan perkembangan), literasi tidak sederhana sekedar menguasai alphabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan symbol tulisnya, tetapi symbol itu difunsikan secara bernalar dalam konteks sosial, dan kualitas literasi berkembangan sesuai dengan kematangan diri.  Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang, bila pendidikan seseorang relative tinggi tetapi tingkat literasinya relative rendah (misalnya pada ilmuan Indonesia yang kurang produktif menulis), bsa jadi karena pendidikan literasinya kurang maksimal, atau karena sudut pandang yang berbeda dari literasi.  Sekali lagi, seorang literat itu tidak sekedar berbaca tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Secara turun temurun, wacana pembelajaran bahasa terfokus pada empat keterampilan bahasa yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.  Dalam pembelajaran bahasa asing, istilah literasi kurang dikenal, istilah yang lazim dikenal oleh para guru adalah empat keterampilan berbahasa, dan hampir tidak pernah menyebut sastra.  Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra.  Selama ini pendidikan di Indonesia relative berhasil memproduksi manusia terdidik, tapi pada umumnya kurang memiliki apresiasi terhadap sasta khususnya, dan humaniora umumnya.  Meluruskan rekayasa literasi, sebaiknya diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigm pembelajaran literasi, yaitu decoding skills, dan whole language. (Kucer : 2000).  Tampak bahwa wacana pengajaran bahasa (asing) selalu hiruk pikuk dengan dialog dan debat tiada henti antara pendukung paradigma (dimensi), literasi, dan metode mengajar literasi sebagai konsekuensi logis dan paradigma itu.  Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca : pengajaran literasi).
Setelah apa yang saya jelaskan di chapter review pertama ini, saya dapat mengambil kesimpulan yaitu periodisasi penggunaan metode dan pendekatan (approach), kususnya terhadap pengajaran bahasa asing.  Kita jangan sontak menyalahkan guru bahasa karena pendidikan literasi seperti yang dibahas pada bagian terdahulu memliki sebuah dimensi, antara lain dimensi sosial politik.  Dengan demikian, perlu perubahan paradigm pengajaran literasi di jajaran pengambil kebijakan. Perubahan paradigma itu berhijra secara intelektual, hijrah yang bernalar karena tantangan zaman.


0 comments:

Post a Comment