Monday, February 24, 2014


Literasi Merupakan Tulang Punggung Kemajuan Peradaban Suatu Bangsa

Dalam disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan "literasi". Konsep literasi tak lagi dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca tulis. Konsep literasi di sini berkaitan dengan kemampuan memaknai teks seperti huruf, angka, dan simbol kultural seperti gambar dan simbol secara kritis. Bahkan, siswa dengan daya literasi tinggi mampu mengolah informasi dari teks yang dibacanya, kemudian menyimpulkan dan mengambil keputusan atas informasi tersebut.
Untuk bisa berdaya literasi tinggi, siswa diandalkan bukan hanya bisa baca dan tulis, melainkan juga aktif dalam memaknai teks, mengerti fungsi penggunaannya, dan menganalisa teks secara kritis dan mentransformasi penggunaannya (Luke dan Freebody: Programme for International Student Assessment). Literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Oleh sebab itu, ia merupakan sumbu pusaran pendidikan.
Dalam sejarah peradaban manusia, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kendati begitu, penguasaan literasi yang tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural karena literasi tersebut merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia.
Di sini terdapat pengertian literasi oleh beberapa ahli. Kirsch dan Jungeblut (1993) dalam bukunya Literacy: Profiles of America's Young Adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendapatkan manfaay bagi masyarakat luas. Menurut Besnier (dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language and Culture, literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara virsual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Sehingga, budaya literasi bagi segenap elwmen bangsa merupakan faktor penentu kemajuan yang paling signifikan.
Mendongeng bisa menjadi salah satu contoh. Oral society ini semakin menguat dengan hadirnya media radio dan televisi. Jelas, dengan kondisi ini menciptakan budaya literat secara ajek akan makin sulit terwujud. Terjadi lompatan fase di mana fase bercerita (praliterat) tidak diselingi dengan fase membaca (literat), tetapi langsung melompat ke budaya menonton (paskaliterat).
Tidak heran jika masyarakat kita, anak-anak, termasuk orang tua merasa asing dengan buku. Mereka tentu lebih hafal nama-nama artis sinetron dan penyanyi di televisi daripada nama penulis buku. Ditambah lagi, pada dasarnya daya serap melalui pendengaran lebih tinggi daripada daya baca.
Data dari Association For the Educational Achievement, mencatat bahwa 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua dari bawah. Suatu tingkat literasi yang sangat ironis bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang sudah terlebih dahulu bangkit dari keterpurukan peradaban.
Budaya literasi merupakan cermin kemajuan bangsa. Para antropolog bahasa, seperti Lucian Levi-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody memandang literasi sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dan masyarakat beradab (Ma'mur 2010:4). Adapun sederet nama seperti Pramoedya, Hamka, Rendra, Ayip Rosidi, dan Goenawan Mohammad yang merupakan kaum intelektual yang membumikan gagasannya dengan pena. Dengan kata lain, mereka merupakan tokoh intelektual yang menggerakan massa melalui budaya literasi.
Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia.
Literasi berkaitan dengan sosial, politik, ekonomi yang mana berpengaruh pada peradaban. Peradaban kaya karena social securitynya tinggi.
Sebagaimana pembahasan minggu lalu mengenai rekayasa literasi, yang direkayasa yaitu cara mendekati dan memahami reading dan writing. Sehingga, yang direkayasa lebih ke strategi membaca dan menulis.
Menurut Chaedar, semakin banyak menulis bahasa Inggris maka semakin tinggi vitalitasnya. Chaedar (2012), pada abad ke 21, kelas standar dunia menuntut setiap orang untuk berliterasi tinggi, highly numerate (kemampuan dalam matematika), well informed, cakap dalam belajar, dan percaya diri dan mampu untuk bermain dalam bagian mereka sebagai warga negara yang democratic society (Michael Barber).
Terdapat 9 elemen academic writing, yaitu cohesion, clarity, logical order, consistency, unity, conciseness, completeness, variety dan formality.
Menurut Ken Hyland (2006),  literasi merupakan sesuatu yang kita lakukan. Hamilton (1998), dikutip dalam Hyland (2006:2), memandang literasi sebagai penempatan aktifitas dalam interaksi antara orang-orang. Hyland pun berpendapat bahwa akademic literasi menekankan pada cara kita menggunakan bahasa, menunjuk sebagai praktek literasi, melalui interaksi sosial dan hubungan-hubungan kekuatan. Akademik yang sukses berarti merepresentasikan diri dengan cara menghargai kedisiplinan kita, mengadopsi nilai, kepercayaan, dan identitas yang mana mewujudkan academic discourse.
Kemudian, di sini akan dicantumkan point-point crucial mengenai bab rekayasa literasi. Literasi adalah peaktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik. Definisi baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan "zaman edan" sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari. Model literasi ala Freebody and Luke (2003): breaking the codes of texts; participating in the meanings of text; using texts functionally; critically analysing dan transforming texts. Prof. Alwasilah meringkas lima ayat di atas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
Rujukan literasi tersebut terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan. Studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya dengan dimensinya yang luas. Pendidikan yang berkualitas tinggi pasti menghasilkan literasi yang tinggi pula, begitu pun sebaliknya. Reading, writing, arithmetic, dan reasoning merupakan modal hidup. Ujung tombak pendidikan adalah guru. Reakayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. Rekayasa literasi yaitu merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi rekayasa literasi. Orang literat tidak sekadar berbaca-tulis tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Jadi, literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis. Akan tetapi, oramg yang berliterasi harus mampu mengolah informasi dari teks yang dibacanya, kemudian menyimpulkan dan mengambil keputusan atas informasi tersebut. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya bermodalkan kekayaan alam, tetapi juga peradaban buku atau penguasaan literasinya. Di Indonesia ini, masyarakatnya lebih ke budaya menonton budaga literatnya. Sehingga, tidak heran jika masyarakat kita merasa asing dengan buku. Maka haruslah kita menyadari pentingnya literasi itu untuk membangun peradaban bangsa kita agar menjadi lebih baik lagi.

0 comments:

Post a Comment