Tuesday, February 18, 2014

MARI (ber)LITERASI


            8 Desember. Hari apakah itu? Adakah yang tahu? Benar, International Literacy Day (Hari Literacy Internasional). 50 tahun yang lalu tepatnya 8 Des 1964 UNESCO menetapkan hari itu sebagai hari jadi ILD dengan tujuan mengingatkan dunia akan pentingnya budaya literasi (baca-tulis). Namun, jarang orang yang tau akan peringatan ini. Peringatan-peringatan seperti ini kalah pamor dengan valentine day yang banyak orang nantikan kehadirannya. Betul atau tidak?
            Apapun jawaban anda, saya tidak peduli karena saya disini bukan untuk itu melainkan untuk ikut meramaikan dunia litersi. Baca-tulis? Itu pemikiran orang kuno. Literasi tidak hanya baca-tulis kawan.. Literasi banyak macamnya seperti literasi informasi, literasi media, literasi keuangan, literasi matematika, dan sebagainya. Seiring perkembangan zaman, teori litersi pun menerima tantangan tersebut, oleh karenanya literasi selalu berevolusi menjadi meluas dan kompleks.
            Bahkan sekarang muncul paradigma baru literasi yang belakangan ini gencar disuarakan yakni pendidikan yang berporos pada nalar. Dalam disiplin ilmu pendidikan , kemampuan nalar memang berkaitan erat dengan literasi. Pada dasarnya objek studi literasi hampir sama dengan objek studi budaya yang fokusnya adalah variabel sosial dan maknanya (O’Sulivan, 1994:71) karena literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Sebagai kajian lintas disiplin, literasi tetap bergelut dengan penggunaan bahasa dan memiliki 7 dimensi yang terkait:
1.       Dimensi  geografis meliputi lokal, regional, nasional dan internasional yang mana literasinya bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial.
2.    Dimensi bidang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, dan sebagainya. Praktek literasinya ketika kualitas bidang tersebut tinggi maka tinggi pula praktek literasinya.
3.      Dimensi keterampilan yang meliputi membaca menulis, menghitung, dan berbicara. Praktek literasinya dengan melihat pada kualitas keterampilan tadi. Kualitas tulisan bergantung pada asupan gizi bacaan yang disantapnya dan gizi tersebut akan tampak ketia ia berbicara.
4.      Dimensi fungsi yang meliputi memecahkan persoalan, memperoleh pekerjaan, mengembangkan pengetahuan dan potensi diri. Orang yang literat karena pendidikannya akan dengan mudah menaklukkan dimensi fungsi ini dan lagi-lagi praktek literasi identik dengan kualitas.
5.      Dimensi media yang mencakup media cetak, visual maupun digital. Praktek literasi masa sekarang tak cukup mengandalkan rading and writing skill tetapi juga sejauh mana mereka mennguasai IT (information technology) seperti menulis teks visual dan digital.
6.      Dimensi jumlah dapat meliputi banyak hal seperti variasi bahasa, bidang ilmu dan sebagainya. Praktek literasinya seperti orang multiliterat yang mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa dan lagi-lagi hal ini didapat karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi.
7.      Dimensi bahasa yang meliputi etnis, lokal, regional, nasional dan internasional. Analoginya ke dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual. Saya orang Jawa dan mahasiswa jurusan bahasa inggris berarti saya multilingual dan multiliterat dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris. Namun sejauh mana saya multiliterat hanya saya yang bisa mengukur berdasar pada 7 dimensi ini.
Dalam hal literasi, ada 10 gagasan kunci yang menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman, dan berkembangnya ilmu pegetahuan, yakni:
1.      Ketertiban lembaga-lembaga social;
2.      Tingkat kefasihan relative;
3.       Pengembangan potensi diri dan pengetahuan;
4.      Standar dunia;
5.      Warga masyarakat demokratis;
6.      Keragaman local;
7.       Hubungan global;
8.       Kewarganegaraan yang efektif;
9.      Bahasa inggris ragam dunia;
10.   Kemampuan berpikir kritis;
11.   Masyarakat semiotic;
Diawal telah dibahas tentang tujuh dimensi literasi dan telah pula disebutkan tentang 10 frasa kunci litersi dan sekarang saya akan sedikit menjelaskan tentang tujuh prinsip bahasa berbasis literasi yang sejatinya harus diaplikasikan dengan dimensi dan kunci literasi.
            Berikut ini 7 prinsip bahasa berbasis literasi:
1.      Literacy is life skills that allows humans to function as members of society. Intinya pendidikan bahasa digunakan untuk melatih serta memberdayakan manusia memfungsikan bahasa sesuai kedudukannya dalam kehidupan sehari-hari
2.      Literacy include receptive and productive abilities in an effort to discourse in writing or orally. Pendidikan bahasa membiasakan berekspresi, memproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah atau fiksi dan secara bertahap melakukan konstruksi dan rekonstruksi.
3.      Literacy is a problem-solving skills. Bahasa adalah alat untuk berfikir. Berfikir kritis berarti sama dengan memecahkan masalah. Memang sebenarnya pembelajaran berfikir kritis harus sudah diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan guru sekolah dasar karena membaca sejak kecil akan menjadikan pemikir di masa depan, oleh karenanya 4-R –reading, writing, arithmetic, dan reasioning- perlu ditanamkan sejak dini.
4.      Literacy is reflection of mastery and cultural appreciation.
5.      Literacy is self-reflection activities. Penulis dan pembaca senantiasa mengaitkan bahasa dengan pengalaman pribadi atau dunia mereka.
6.      Literacy is the result of collaboration. Baca-tulis selalu melibatkan pihak yang berkomunikasi. Penulis menuliskan sesuatu berdasarkan pengalamannya dan pembaca juga sebisa mungkin mengerahkan semua pengetahuan dan pengalamannya untuk memaknai tulisan itu.
7.      Literacy is interpretation activity. Baik penulis atau pembaca, keduanya bekerja menginterpretasi. Penulis menginterpretasikan pengetahuan dan pengalamannya lewat kata-kata dan pembaca bekerja memaknai interpretasi penilis.
Jadi dari ketujuh prinsip bahasa berbasis literasi diatas dapat disimpulkan bahwa literasi mencerminkan kualitas manusia bahkan suatu bangsa, sedangkan bisa kita lihat bahwa litersai kita ini bernilai C.
Literasi kami C
            Bagaimana rasanya ketika kita mendapatukan nilai “C“ dalam IP (Indeks Prestasi) kita? Tentu sangat miris bukan? Ya itulah kenyataannya bagi literasi negara kita. Anda tidak percaya? Hati sangat ingin mengingkari namun bukti tidak bisa berbohong. Indonesia berpartisipasi dalam proyek penelitian dunia PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Study Assessment), dan TIMSS (the Third International Mathematics and Science Study). Tujuan membaca dalam penelitian itu meliputi literacy and informational purposes, sedangkan proses membacanya meliputi interpreting, integrating, dan evaluating. Hasil temuannya:
1.      Urutan ke-5 terendah untuk prestasi membaca dengan nilai 407 drari rata-rata 510.
2.      Negara yangprestasi bacanya diatas rata-rata 500 ditandai dengan pendapatan perkapita dan indeks pembangunan manusia (HDI) yang lebih tinggi dari negara yang dibawah rata-rata.
3.      Ada 3 kategori negara berdasar perbandingan skor Literacy Purposes (LP) dan Informational Purposes (IP).  Negara yang LP>IP seperti hongaria, negara yang LP<IP seperti Indonesia dan negara yang LP=IP contoh Inggris dan Austria.
4.      Hanya 2% siswa yang prestasi membacanya sangat tinggi, 19% di kategori menengah , 55% dalam kategori rendah, dan ada 45% siswa yang tidak mampu mencapai skor 400.
Saya tidak akan banyak berbicara pada ranah research, saya akan langsung membahas implementasi literasi di negara kita. Dari yang sudah saya ketahui orang literat adalah orang yang terdidik dan terbudaya meski kemampuan literasi tersebut harus direkayasa dalam arti disengaja untuk menjadikan manusia terdidik dan terbudaya lewat penguasaan bahasa yang optimal, saya rasa akan bisa memacu litersi itu sendiri.
Bapak Chaedar Alwasilah mengatakan perbaikan rekayasa literasi mencakup 4 dimensi litersi membaca dan menulis seperti dalam bukunya “Pokoknya Rekayasa Literasi”, yakni
(1) linguistik atau fokus teks dimana membaca dan menulis membutuhkan pengetahuan yang mencakup sistem bahasa pembangun makna, persamaan dan perbedaan bahasa tulis dengan lisan, dan ragam bahasa yang mencerminkan kelompok.
(2) kognitif atau fokus minda dimana membaca dan menulis membutuhkan pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan kita menulis tergantung daya baca kita. Meski gemar membacapun tidak menjamin kita menjadi seorang yang bisa menulis. Jadi bisa kita bayangkan begitu dalamnya kita jatuh dari tebing literasi. Oleh karenanya keterampilan baca-tulis harus terus dimaksimalkan.
(3) sosiokultural atau fokus kelompok dimana semua yang dilakukan atas tujuan kelompok, dan
(4) perkembangan atau fokus pertumbuhan dimana menjadi literat itu berproses secara continue.
Jadi dapat disimpulkan bahwa peningkatan literasi terkait erat dengan pengoptimalan peran teks atau buku. Fungsi teks bukan sekadar rujukan, tapi juga sebagai medium untuk berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna. Pendidikan yang melibatkan buku teks dan bahan bacaan sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis.
Peningkatan literasi siswa juga mengandaikan perlunya guru dipersiapkan untuk menanamkan pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas. Dengan begitu, siswa punya kesempatan meningkatkan daya literasi mereka di sekolah. Namun sebelum hal ini menjadi budaya dikalangan siswa disekolah tentunya daya literasi dikalangan pendidikpun harus mumpuni, sehingga siswa memiliki peran pentimng ketika akan melibatkan diri dalam peningkatan daya literasi

Memang negara kita belum mampu menciptakan warga negara yang literat, namun belakangan ini benih-benih praktek literasi mulai gencar dibumikan. Oleh karena itu Bersabarlah negriku, kami generasi mudamu sedang belajar, mempersiapkan obat penawar dengan cara kami dari ruang kecil di sudut negri ini.

0 comments:

Post a Comment