Saturday, February 22, 2014



The 1st Critical Review
17 february 2014
Classroom Discourse to Foster Religious Harmony

Selayang Pandang Indonesia
“Bersama-sama berjuang demi tercapainya pendidikan literat”

Critical Review ini dilukiskan berdasarkan bahasan artikel mengenai “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” buah karya Bapak A. Chaedar Al-Wasilah sebagai ajang untuk membangun minat seseorang dalam ihwal Rekayasa Literasi. Dimana literasi tidak hanya ajang untuk membaca dan menulis, akan tetapi setiap suatu hal yang dilakukan seseorang termasuk dalam kajian literasi. Tujuan dari penulisan ini adalah membangun kerukunan umat beragama beserta  kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia.
Pendidikan merupakan suatu hal penting yang harus dienyam oleh setiap anak. Dimana hal tersebut akan menjadikan seorang anak yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas ke depan untuk mencapai suatu cita-cita yang diharapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam lingkungan. Namun, dengan adanya setitik noda hitamlah yang menimbulkan gangguan intelektual dan kohesi social yang pada seharusnya adalah didaktik bagi siswa/i didiknya.
Salah satu ihwal yang paling utama adalah kurangnya rasa kerukunan umat beragama yang berimplikasi pada siswa/i nya. Ini merupakan suatu “A Big Challenges” untuk semua pendidik bahwasannya kerukunan beragama harus ditanamkan sejak sedini mungkin. Dengan demikian, tidak hanya seorang guru saja yang terlibat dalam hal pendidikan melainkan keluarga merupakan peran utama atau teladan bagi anaknya. Pengawasan yang serius lah yang dibutuhkan untuk mengurangi masalah sosial yang berada di sekitar lingkungannya.

Ihwal penjelasan tersebut diatas memiliki korelasi yang sangat kuat dengan adanya pembakaran instalasi karya Tisna Sanjaya di Babakan Siliwangi Bandung oleh  satuan polisi Pamong Praja 5 Februari (PR, 7-2-2004) yang menunjukkan betapa rendahnya apresiasi masyarakat terhadap sebuah karya seni, bahkan mengiranya seperti sampah. Sedikitnya rasa apresiasi masyarakat lah yang menyebabkan kerukunan antar umat beragama tidak sejalan bagaimana mestinya.
Berbicara mengenai kerukunan umat beragama tentang adanya dikotomi ilmu pendidikan atau lebih dikenal dengan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah islam yang merupakan efek dari sistem pendidikan pada masa kolonial Belanda yang masih bertahan sampai pada era masa kini. Menurut Dr. Mochtar Naim inilah penyebab utama dari kesenjangan pendidikan di Indonesia yang menimbulkan ketidakharmonisan agama.
Inilah yang menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu yang membedakan ilmu umum dan ilmu agama. Konon, hal ini disebabkan karena anak-anak yang bisa memasuki sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya sekitar 6% terbatas untuk anak-anak kaum bangsawan dan saudagar. Keterbatasan lah yang membuat  anak-anak muslim memilih Madrasah atau Pondok Pesantren yang sudah berdiri sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Apabila dikotomi ilmu sudah merabat di mana pun, lalu bagaimana umat yang satu dengan yang lain bisa menghargai dan rukun satu sama lain?
Menghadapi permasalahan yang semakin kelut ini, sebenarnya secara konseptual, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Jika kita menoleh pada pegangan Al-qur’an dan Al-Hadits, bahwasannya tidak ditemukan serara tersirat ataupun tersurat mengenai dalil dikotomi ilmu. Bahkan, dalam Islam mengajarkan untuk menuntut semua cabang ilmu. Allah SWT berfirman: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S Al-Mujadalah [58] : 11). Nabi Muhammad SAW juga bersabda: menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim (baik lelaki maupun perempuan). Dengan demikian, hal ini mengindikasikan bahwa Islam sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmu yang berimplikasi pada kerukunan antar umat beragama.
Setelah selayang pandang kajian kerukunan beragama, sekarang beralih topic menuju system pendidikan yang terfokus pada pendidikan Sekolah Dasar (SD). Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena jenjang inilah dimana seorang anak mengenal sesuatu yang baru dengan hubungan yang lebih luas beserta teman sebayanya. Serta jenjang SD lah merupakan fondasi bagi setiap anak dalam mempelajari pendidikan kewarganegaraan yang berkaitan erat dengan praktik kerukunan beragama.
 Seperti yang dituturkan oleh (Rubin:2009) bahwa interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan social. Dimana dalam hal ini, siswa seharusnya memahami bahwa setiap teman-temannya berasal dari latar belakang yang berbeda. Inilah yang seharusnya program sekolah lengkapi untuk memfasilitasi interaksi mereka untuk mengembangkan wacana sipil positif.
        Istilah wacana sipil dapat diartikan sebagai kemampuan anak dalam membaca aktif. Indikatornya adalah mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam hal ini, guru merupakan peran penting untuk melatih anak didiknya dengan profesionalisme serta memiliki rasa tanggung jawab dalam mengawasi siswanya. Seharusnya guru pun mengetahui bagaimana siswa berinteraksi baik dengan teman sebayanya, kemudian mereka akan dapat mengembangkan kemampuannya sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
      Di masa inilah seharusnya mereka dapat menjaga kemampuan hubungan baik dengan yang lainnya yang kan berimplikasi ke masa depannya. Dewasa ini, banyak sekali konflik yang terjadi yang disebabkan oleh ketidakmampuan dalam hal menjaga hubungan baik seperti yang tertera di artikelnya bapak Chaedar, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009) dan Singkawang (2010). Bentuk-bentuk radikalisme ini lah yang telah mengganggu kohesi social dan dapat menimbulkan rasa ketidakpercayaan dalam masyarakat.
            Seharusnya institusi pendidikan di Indonesia harus bisa menjadi penggerak perubahan karakter dan budaya peserta didiknya dari karakter radikalisme. Oleh karenanya, interaksi sebaya harus dilakukan sebagai salah satu rutinitas kelas seperti yang tertera dalam UU sisdiknas bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Maka, kesempatan besar lah yang harus diberikan oleh guru kepada semua muridnya agar dapat mengembangkan potensinya, berinteraksi satu sama lain baik di dalam kelas dan di luar kelas melalui kegiatan kelompok, dan berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fusional dari masyarakat yang demokratis.
            Terkait dengan UU sisdiknas tentang pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dimana pendidikan nasional ini berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
            Dalam hal ini, diperoleh penelitian dari data Ariliaswati di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota dimana bentrokan antaretnis telah terjadi cukup sering. Hal ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Dalam hal memberikan alas an atau argument mereka memang belum mampu menguasai, akan tetapi dalam mengapresiasi kesepakatan secara sopan sehingga membentuk suatu rsa kepercayaan satu sama lain yang menjadikan perilaku kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil.
            Dengan demikian, jelaslah sudah pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan nalar ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena di satu sisi nalar ilmiah sangat penting dalam mengembangkan intelektual siswa, sedangkan wacana sipil positif juga memiliki tingkat kepentingan yang sama, yakni menciptakan warga Negara yang beradab.
            Secara realita, pendidikan Indonesia telah gagal untuk memberikan kompetensi wacana sipil positif. Oleh karenanya, sekolah dasar merupakan pendidikan utama anak pada umumnya harus bisa dijadikan sebagai fondasi awal untuk mereka demi menjadi manusia yang beradab dan mampu berinteraksi satu sama lain. Salah satu program sekolah yang harus dilakukan menyediakan tempat beribadah bagi siswa dari semua agama agar mereka dapat mengetahui secara langsung sehingga rasa “saling menghargai” muncul dalam diri mereka. Namun, seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan awal tentang dikotomi ilmu yang menjadikan setiap sekolah berbeda-beda sehingga minimnya rasa kemanusiaan yang timbul dari diri mereka. Sebagian besar dari mereka, bahkan masyarakat pun hanya berteman atau bergaul dengan yang sesamanya saja. Secara kasar, mereka memandang bahwa pertemanan di antara mereka terdapat adanya suatu batasan dari sisi agama.
            Inilah suatu penyebab kerukunan antar umat beragama di Indonesia sangatlah minim. Seharusnya warga Indonesia patut mencontoh hal tersebut dari kota Medan pada hari jumat, 23 November 2011 silam lalu. Kota Medan mendapat penghargaan kota multietnis dari Universitas terkemuka di kota Bangkok, Thailand yakni Mahachulalongkorn Rajavidyalaya University. Kemampuan Kemampuan Wali Kota Medan Drs H Rahudman Harahap MM dalam memimpin Kota Medan dengan baik dan tersusun. Hal ini disebabkan karena walikota bersama tokoh agama membentuk Foruk Komunikasi Umat beragama yang tujuannya adalah membentengi pandangan-pandangan ekstrim terhadap kemajemukan budaya dan agama. Selain itu sebagai fasilitas dan wadah berbagai dialog, interaksi, komunikasi serta kerjasama hubungan antara umat beragama di berbagai bidang pembangunan.
            Kemudian bapak walikota pun memaparkan bahwa “FKUB mampu menciptakan interaksi sosial yang harmonis, selaras dan kokoh antar pemeluk agama satu dengan agama lainnya sehiongga menciptakan lingkungan dengan komponen yang dapat saling bekerjasama dan bersinergi membangun kota. Hal inilah yang telah mendorong Kota Medan banyak menjadi contoh model sosial pembangunan kerukunan umat beragama di Indonesia,” paparnya. Dengan demikian, Medan yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia saja mampu menjunjung kotanya, seharusnya itu lah yang patut diteladani oleh setiap kota yang ada di Indonesia demi terwujudnya kerukunan umat beragama. Memulai dari hal yang kecil menuju hal yang istimewa.
            Kembali ke konteks pendidikan Indonesia, setelah membahas selayang pandang praktik pendidikan di Indonesia, yang konten nya memiliki pengetahuan yang luas. Dengan demikian, pendidikan yang dianut seharusnya adalah pendidikan liberal.  Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak hanya pelatihan teknis dan professional. Artinya, penguasaan atas ilmu-ilmu umum sangat penting sebagai fondasi bagi pengembangan keterampilan vokasional. Tujuan utama pendidikan liberal harus memayungi pendidikan kognitif, afektif dan psikomotor atau dapat diartikan sebagai pembebasan dari sikap yang tidak sopan. Dengan kata lain, pendidikan harus bisa membentuk produk pendidikan, yakni manusia yang terdidik dan berbudaya.
            Manusia menurut prospektif Islam pada hakikatnya adalah manusia yang terdidik dan dapat mendidik dirinya sendiri. Hal ini disebabkan karena manusia memilki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, ia hidup berbudaya dan membudaya. Terkait dengan peran interaksi yang baik sebagai vital dalam rangka mencapai tujuan hidupnya. Maka mereka harus melakukan interaksi tidak hanya secara horizontal kepada alam dan sesama manusia serta budayanya bahkan dirinya sendiri melainkan secara vertical yaitu dengan Tuhannya dengan tujuan agar manusia menjadi “human nature” pada umumnya serta insan kamil yang didapatkan dari proses pendidikan berkarakter.
            Tujuan kedua, pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis, bahkan mengapresiasi sastra. Memang, yang kita ketahui bahwa literasi tidak hanya sekedar mambaca dan menulis. Memang yang kita ketahui bahwa literasi tidak hanya membaca dan menulis, akan tetapi segala hal yang dilakukan oleh setiap orang adalah literasi. Dikarenakan jenjang SD belajar bahasa Indonesia hanya focus kepada strukturnya, walaupun sastra memang penting dalam pembentukan norma anak. Oleh karenanya, guru harus kreatif dalam member materi seperti pengajaran bahasa Indonesia dalam contoh dongeng, guru dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain peran. Hal ini bertujuan untuk agar siswa memahami dan dapat memilah hal yang baik dan buruk, serta meningkatkan interaksi dengan sebayanya. Sehingga daya fikir mereka semakin kritis.
Hal ini juga sesuai dengan ucapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh mengatakan “anak-anak usia sekolah dasar (SD) perlu diajarkan keutuhan berpikir atau diajarkan bagaimana berpikir secara holistic. Mereka tidak diajarkan spesialis, tetapi pendidikan secara holistik.” Kata Mendikbud dalam jumpa pers dengan wartawan di Jakarta, Kamis, dalam menanggapi peleburan atau penyederhanaan mata pelajaran IPA-IPS di jenjang SD. 
Dalam hal ini, tantangan besar pendidikan liberal adalah sejauh mana pendidikan liberal mampu menanamkan prinsip-prinsip pendidikan agar lulusan siap menghadapi perubahan dunia. Pendidikan liberal harus membekali dasar-dasar pendidikan umum. Bukan berarti pendidikan liberal terampu, namun pendidikan umum nya terbengkalai. Oleh karenanya, kedua hal tersebut harus menjadi seimbang.

            Terkait dengan tuturan kata bapak Chaedar, bahwa hal tersebut merupakan penempatan insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi criteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukkan sebagai warga Negara yang demokratis. Berbiacara mengenai insan kamil, memang benar apa yang dikatakan oleh beliau, tetapi gelar “ideal” yang bagaimanakah? Sebenarnya, insan kamil sendiri hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW, yang mana beliau adalah teladan dan guru besar untuk umatnya serta beliau tidak pernah melakukan kesalahan sedikitpun. Padahal Allah ‘Azza Wajalla selalu memberikan 70 ampunan kepada beliau dalam satu hari. Suatu ketika, Siti ‘Aisyah R.A bertanya kepada beliau, “wahai suamiku, bukankah engkau sudah diampuni dosanya 70 kali dalam sehari? Lalu, kenapa engkau masih saja beribadah hingga kakimu bengkak?” Kemudian, Nabi Muhammad menjawab, “apakah salah jika aku sebagai hambanya bersyukur setiap kenikmatan yang Allah berikan.”
Setelah selayang pandang cerita Nabi Muhammad SAW, kembali ke topik insan kamil. Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi. Dimana salah satu dimensi nya adalah mampu menciptakan budaya sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh  makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut sekarang ini dikenal dengan revolusi. Inilah yang akan menjadikan manusia untuk selalu meningkatkan dirinya, baik dalam pengetahuan, dan sebagainya.
Kemudian, insane kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni yang dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Seperti apa yang bapak Chaedar maksud ihwal manusia ideal. Ada pendapat yang mengatakan bahma manusia ideal adalah manusia yang memiliki wawasan luas dan memiliki kelembutan hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), juga memiliki perasaan yang dapat memahami segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kelemahan, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, fungsi akal secara optimal juga termasuk ciri insan kamil menurut pendapat kaum Mu’tazilah. Bahwasannya manusia yang akalnya berfungsi dengan secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik, berakhlak sesuai dengan esensinya dan melakukan apa yang harus dilakukan sebagai seorang hamba. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat terkendali dalam perbuatan yang buruk. Menurut Ibnu Sina, jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka seseorang tersebut hamper menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
Dengan demikian, peran guru dan orang tua lah yang dibutuhkan oleh anak untuk mendidik anaknya menjadi anak yang memiliki kompetensi wacana sipil. Tak lupa, keseimbangan antara konsep manusia paripurna, berakhlak mulia, dan akalnya berfungsi secara optimal. Selain itu, interaksi rekan sebaya seorang anak di luar rumah harus diawasi oleh orang tua, jangan sampai anaknya terbawa oleh arus lingkungan yang buruk dan bentuk-bentuk radikalisme.
Tidak hanya itu, penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta iman dan taqwa (IMTAQ) harus adanya keseimbangan satu sama lain. Hal ini disebabkan karena IPTEK dapat membantu kita untuk mengahadapi kemajuan teknologi dan peradaban yang baru. Sedangkan IMTAQ yang akan menolong kita dalam nasib dan masa depan, tentunya untuk kehidupan di akhirat kelak. Oleh karenanya penguasaan IPTEK dan IMTAQ tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya merupakan fondasi kehidupan.
 Terkait dengan membentuk masyarakat Indonesia dengan membaca dan menulis merupakan salah satu budaya atau ‘urf untuk menjadikan Negara berbangsa literasi dan menghindari pengulangan zaman jahiliyah pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan karena pada masa sekarang tingkat literasi bangsa tergolong rendah, terutama kurangnya kerukunan antar umat beragama. Oleh karenanya, sebagai penerus bangsa dan demi tercapainya masa depan, membaca dan menulis serta kemampuan wacana sipil harus dimiliki oleh setiap individu, tidak hanya anak sekolah dasar (SD). Tak lupa, penguasaan IPTEK dan IMTAQ yang melekat di hati kita harus dijaga dan ditingkatkan. Semua bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang mendukung kehidupan kita demi menjunjung cita-cita bangsa Indonesia. 









References:
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

http://aswan67.blogspot.com/2013/03/diskriminasi-ilmu-umum-dan-agama_5736.html di akses pada tanggal 20 Januari 2014 pukul 21.30 WIB
http://sejarahsadja.blogspot.com/2012/01/radkalisme-pendidikan.html di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.00 WIB
http://www.academia.edu/4053304/Anak_Muda_Radikalisme_dan_Budaya_Populer di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.00 WIB
http://klikuk.com/membentuk-insan-kamil-dengan-ibadah/ di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.30 WIB



1 comments:

  1. Generic structure seperti yang terter di silabus ko ga dimuncukan ya? konten OK tapi mungkin akan lebih menarik apabila dikaitkan dengan latar belakang kita yang berlabel IAIN, yang dipayungi oleh Kementrian Agama

    ReplyDelete