Saturday, February 22, 2014


Populernya agama Islam hingga saat ini bukan karena nama besar nabi Muhammad semata, melainkan hadirnya para sahabat dengan berbagai kejeniusan intelektualnya dalam mensiasati jayanya agama islam. Berkat kreativitas dan semangat juang para sahabat yang mengkodifikasi alqur’an, kemasyhuran islam dan keotentikan alqur’an tetap lestari hingga sekarang, dan sifatnya pun relevan sepanjang masa.
Khalifah Al-Makmun di Baghdad (Bani Abbasyiah) dalam merealisassikan nilai literasi, beliau membangun sebuah perpustakaan yang dikenal dengan “Baitul al Hikmah”. Pembangunan perpustakaan ini sejalan dengan pembangunan Universitas Al Azhar di Kairo, Universitas Corodova di Spanyol yang menjadi inspirasi pembangunan perpustakaan di Universitas-Universitas di Barat. Perpustakaan “Baitul Hikmah” merupakan perpustakaaan terbesar di dunia Islam yang berisi tulisan-tulisan, karya-karya atau simposium besar para ilmuan islam pada saat itu. Sayangnya perpustakaan tersebut hancur-lebur setelah terjadinya tragedi perang salib. Para laskar Crusader memporak-porandokan perpustakaan seluruhnya hingga tetesan tinta-kertasnya tumpah menjadi lautan hitam yang kini disebut dengan laut hitam ( Daerah Hadra Maut ).
Menimbang dari hal di atas, realitanya bangsa yang maju tidak akan terbangun dengan hanya mengandalkan kekayaan alam yang melimpah dan sistem menegerial yang bagus dalam berkewarga-negaraan saja, melainkan diperoleh melalui pengelolaan, dan pengolahan paradigma literasi dan eksistensi budaya tulisan yang menjadi tradisi masyarakatnya, hingga terciptanya masyarakat madani ( civilization ) yakni masyarakat yang berpendidikan, berperadaban, dan berliteratur, yakni dapat berkomunikasi baca - tulis (literacy).
Literasi merupakan suatu cara untuk melahirkan suatu masyarakat yang berperadaban tinggi. Dalam hal ini, Literasi tidak hanya berkutat pada kegiatan baca-tulis saja, melainkan memiliki makna luas dengan berbagai dimensi yang meliputinya. Dimensi literasi tersebut melingkupi dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Dimensi-dimensi tersebutlah yang membentuk predikat Civilization ( masyarakat yang berperadaban ). Sedangkan ciri-ciri dari civilization adalah eksistensinya sistem security yang tinggi, dan juga terciptanya kondisi masyarakat yang harmoni dan sejahtera ( comfortable )
Lain dari hal itu, budaya literasi tidak hanya terlahir melalui bangunan intelektual, di sini perlu adanya interpolasi moral, sosial dan spiritual supaya mampu menjadikan masyarakatnya berkepribadian madani, yakni beradab, berbudaya dan menjunjung tinggi nilai dan norma. Tidak bisa dikatakan literati yaitu orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mapan namun tidak diimbangi dengan perilaku baik atau Akhlakul Karimah. Jadi Literasi harus memadukan antara intelektual, moral, sosial dan juga spiritual. Jika ke 4 aspek tersebut menempel pada diri setiap masayarakat atau warga Negara, insyaallah mereka bisa membangun peradaban bangsa yang lebih maju.
Mutlaknya, untuk membangun bangsa yang maju eksistensi literasi sangat dibutuhkan sekali. Namun realitanya di Indonesia budaya orality lebih tendensius ( dengar-ucap ) dibandingkan dengan budaya literacy ( baca-tulis ). Dalam wacana Masyarakat Madani, Prof Chaedar Alwasilah menuturkan bahwa berjubelnya lulusan–lulusan perguruan tinggi yang setengah literat dikarenakan para dosen pengajar mata kuliah bahasa belum terlalu matang baik usia maupun ilmunya yang mengakibatkan mereka terkesan asal-asalan dalam mengajar, sehingga, mayoritas dari lulusan PT tidak mampu mengaktualisasikan ide–idenya ke dalam bentuk tulisan.
Hal ini perlu adanya suatu rekayasa literasi dalam bahasa itu sendiri. Seperti yang dituturkan oleh Prof Chaedar bahwa ujung tombak pendidikan literasi adalah guru, maka untuk membangun literasi bangsa, harus diawali dengan membangun guru yang profesional, dan guru yang professional hanya dihasilkan melalui lembaga pendidikan yang professional juga. Dimensi rekayasa literasi berkutat pada : linguistik, kognitif, perkembangan dan sosiokultural.
Konsep rekayasa literasi bearti suatu taktik atau strategi dalam upaya mengkonsep ulang hal-hal yang masih mentah dalam menjalankan pendidikan literasi tersebut. Tujuannya untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju pendidikan dan pembudayaan. Literasi meliputi ketrampilan membaca dan menulis. Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasa, mengkonsep ulang dan mematangkan pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut. Contoh ketika kita disuguhkan teks, maka yang kita lakukan adalah membaca, merespon, menulis, dikomentari, dikiritisi,merevisi kembali kemudian dipublikasikan ke media masa. Ketika membaca cerpen, kita memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam merekayasa cerpen tersebut. Ada yang memahaminya secara linear, mengikuti arus, dan ada juga yang paradoks atau kontradiktif. Nah seperti itulah rekayasa literasi terbangun. Hal tersebut tentunya dapat mematangkan daya berfikir kritis pelajar. Di samping itu ada catatan besar bahwa Orang literat tidak sekedar berbaca-tulis tapi juga terdidik dan MENGENAL SASTRA.
Sedangkan literasi kaitannya dengan bahasa, ketika bahasa semakin banyak digunakan, maka tingkat vitalitasnya semakin tinggi. Ketika kita memperbanyak tulisan-tulisan dalam bahasa inggris, berati kita sedang meningkatkan vitalitas bahasa inggris itu sendiri. Dalam hal yang demikian, kita ditempatkan menjadi bilingual writer, yakni di samping cakap dalam beretorika dengan bahasa Indonesia, kita juga dituntut untuk cakap beretorika dalam bahasa inggris. Tingkat penggunaa bahasalah yang menentukan eksistensi bahasa itu.

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. thats right !
      dunia sastra sekarang sedang terluka,kalau bukankita yg menyembuhkannya mau siapa lagi.

      Delete