Saturday, February 22, 2014

Critical Review
Pendidikan Multikulturalisme Jembatan Persatuan Bangsa
Salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara. Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Begitulah penggalan kalimat yang di tuliskan penulis dalam artikelnya yang berjudul Wacana kelas untuk mendorong kerukunan beragama. Dari judul yang diberikan penulis saya mengidentifikasikan bahwasanya kerukunan atau toleransi kepada sesama manusia hendaknya diterapkan sejak dini yaitu pada tingkat dasar dengan pendidikan multikultural karena masalah sosial kerap kali terjadi seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial. Oleh karena itu peran pendidik sangat penting untuk menciptakan generasi berikutnya yang lebih baik dan demokratis.
Ada beberapa masalah sosial yang sangat disoroti dalam wacana ini, seperti kesenjangan sosial dan ketidakharmonisan agama, seperti konflik antar etnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010), dan singkawang (2010). Penulis bertujuan dengan adanya wacana kelas untuk mendorong kerukunan atau toleransi diharapkan dapat efektif untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi di dalam tubuh Indonesia.
Banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Oleh karena itu banyak timbul konflik-konflik yang dilatar belakangi oleh perbedaan budaya, bahkan menyerempet ke hal yang sensitif yaitu persoalan SARA. Seperti yang di tulis dalam buku Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasioanl.  yang terjadi pada konflik (sambas). Kalimantan barat adalah daerah yang kerap mengalami konflik antar etnis. Konflik-konflik ini terjadi sejak puluhan tahun lalu. Konflik-konflik ini dapat terbagi dua yakni konflik yang murni konflik etnis (horizontal) dan konflik yang sebenarnya konflik vertikal tapi di desain menjadi konflik horizontal.
Salah satu konflik yang murni konflik etnis adalah konflik antara Melayu sambas dan Madura pada tahun 1999. Peristiwa ini dipicu oleh peristiwa pada tanggal 17 januari 1999. Menurut versi etnis melayu konflik yang berawal dengan tertangkapnya seorang etnis madura yang diduga hendak mencuri di ruamah seorang warga. Kemudian pelaku dipukuli oleh warga. Sementara versi menurut etnis madura tidak ada orang madura yang mau mencuri. Yang terjadi adalah 3 orang madura yang dalam keadaan mabuk berat kemudian diturunkan oleh tukang ojek di Parit Setia. Kemudian menggedor pintu rumah warga dan berbicara kasar kepada pemilik rumah. Pada waktu itu mereka mengeluarkan clurit dan sontak saja membuat warga ketakutan dan langsung berteriak maling.
Mereka saling melempar opini yang menurut mereka sendiri paling benar. Bagaimanapun versi kejadian aslinya. Pada tanggal 19 januari 1999, pecah konflik antara etnis Melayu sambas dan etnis Madura. Saat itu 200 orang madura menyerang desa parit setelah selesai sholat Ied. Akibatnya secara keseluruhan usai konflik tahun 1999, data resmi menunjukkan bahwa konflik ini menyebabkan 401 jiwa meninggal dunia dan pengungsian 58.544 orang madura dari kabupaten sambas. Sampai saat ini konflik ini diselesaikan pemerintah dengan cara memindahkan etnis madura dari wilayah Kab. Sambas ke kotamadya Pontianak dan kota Singkawang.
Pertanyaanya apakah konflik sambas termasuk sebuah pelanggaran HAM? Dalam UU Peradilan HAM pasal 9, menyebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan, bersama-sama dengan kejahatan genosida, sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Apabila mengacu pada pasal 9 UU pengadilan HAM. Peristiwa kerusuhan Sambas 1999 dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Yakni adanya pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
Di nusantara ini kita hidup berlainan agama, adalah warisan sejarah para leluhur kita. Warisan primordial ini bukan untuk disesali atau dipungkiri, apalagi ditafsirkan sebagai sirkuit balapan bagi agama-agama untuk beradu ketangkasan. Harusnya warisan ini dijadikan sebagai kekayaan individu dan bangsa. Dengan hal itu kita juga berarti meyakini kebenaran agama sendiri, kita juga meyakini bahwa orang lain pun meyakini kebenaran agama pilihanya.
Perbedaan agama adalah anugerah bagi bangsa ini. Inilah kekayaan psikologis sosial religius yang memotivasi kita untuk lebih menarik benang merah, yakni persamaan pandangan pandangan dalam melibati kehidupan bernegara.
Chaedar Alwasilah mengatakan kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Menurut saya yang kebanyakanya adalah yang memiliki latar belakang yang sama , maupun dari segi budaya, etnis, ataupun agama. Oleh sebab itu diperlukanya pendidikan multikultural atau pengimplementasian pendidikan berbasis multikultural dalam institusi pendidikan.
Di latar belakangi bahwa  Indonesia adalah salah satu negara  multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, kemiskinan, kerusakan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.
Cholis Muchlis bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari 2 perspektif, yaitu horizontal dan vertikal. Dalam perspektif hotizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa  daerah, dan budayanya. Dalam pespektif vertikal, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. Seperti yang telah disebutkan diatas masih banyak konflik-konflik yang terjadi di negara ini disebabkan karena kenyataan bangsa indonesia yang multikultural kata Chaerul Mahfud.
Bahkan Asep Jamaludin menuding multikultural sebagai salah satu penyebab timbulnya korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, dsb. Adalah pendidikan multikultural jelas sekali, pendidikan multikultural diperkenalkan dengan tujuan untuk meredam konflik sekaligus mendatangkan kebaikan dari keragaman budaya. Pendidikan multikultural diarahkan untuk meredam konflik sosial dengan cara mengembangkan sikap menghargai perbedaan budaya. Pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan espresi budayanya secara nyaman dan harmonis tanpa implikasi konflik.
Konsep pendidikan multikultural juga sudah diterapkan di negara-negara yang menganut konsep Demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Bukan hal baru lagi mereka telah melaksanakanya khususnya dalam melenyapkan diskriminasi rasial antara orang yang berkulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasioanl di negaranya (Muhaemin, 2004).
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana di rekomendasi UNESCO pada bulan oktober 1994 di jenewa. Rekomendasi itu diantaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidkan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan orang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesain yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran siswa sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemamuan untuk berbagi dan memelihara.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumya ketika sistem nasioanal yang otoriter militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antar suku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian anggota masyararakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasioanal seperti apa yang cocok bagi indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut sosiolog UI Pasurdi Suparlan (2002). Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan menjadi jembatan pengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan, dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja, dan pasar, dan sistem nasioanal dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Pancasila sebagai falsafah bangsa merupakan sumber sekaligus cita-cita ideal bangsa indonesia. Undang-Undang Dasar 1945, selain landasan konstitusioanal, sekaligus merupakan norma operasioanal dari pancasila. Pancasila sebagai ideologi terbuka, diyakini memiliki nilai multikultutal. Nilai ini bisa dimaknai dari setiap sila pancasila. Nilai abstrak mutikultural dalam pancasila menjadi agak konkrit semangatnya dalam UUD 1945 pasal 32 ayat (1). “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasioanal yang meningkatkan keimanan, dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Di indonesia walaupun masih seputar wacana, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap perlu bagi masyarakat Indonesia yang heterogen. Tetapi kita seakan lupa bahwa pesantren sebenarnya telah menanamkan pendidikan multikultural kepada para santrinya. Hal ini tergambar dari nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan kepada para santri seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’wun (kerjasama), jihad (berjuang). Yang semuanya mengajarkan persamaan hak manusia. Hal ini sesuai dengan Al-qur’an surat Al-Hujarat ayat 49 bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Sedangkan orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang paling bertaqwa.
Meski demikian, didalam sebuah pesantren hanya ada satu keragaman dalam beragama, yakni Islam. Multikulturalisme di pesantren hanya tidak menjangkau dalam ranah agama karena terkait dengan tujuan pesantren itu sendiri yang mengajarkan yang mengajarkan agama islam. Meski demikian, justru agama bisa dijadikan media sebagai pembelajaran pendidikan multikultural secara teoritis dan pembekalan terhadap para peserta didik terhadap sikap yang demokratis, humanis, dan pluralis.
Walaupun non-agama, pesantren sangat  terbuka dengan berbagai perbedaan. Di dalam pessantren, terdapat berbagai peserta didik yang beragam. Dalam pesantren terdapat para peserta didik yang berbeda-beda daerah yang membawa adat istiadat mereka masing-masing ke pesantren. Apalagi pesantren tradisional yang benar-benar menekankan kebersamaan dalam setiap perbedaan. Sementara ajaran agama (islam) juga mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan anti diskriminasi. Dengan demikian, agama menjadi media dan alat untuk mengajarkan pendidikan multikultural.
kemudian masih berkaitan dengan wacana kelas untuk mendorong kerukunan beragama bahwa interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis, dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Umumnya kita akan melihat dari segi persamaan latar belakang saja. Sebagai contoh di sekolah A ada siswa yang berbeda agama dengan siswa lainya, maka kebanyakan dari kita akan menjauhinya dengan berbagai alasan dan kesimpulanya si siwsa tersebut akan merasa termarginalkan di lingkungan sekolahnya sendiri. Sikap apatis kitalah yang membuat kita merasa paling benar, merasa paling baik di bandingkan kaum minoritas lainya. Sehingga bagaimana akan timbul suatu keharmonisan apabila perilaku yang tidak mau menghargai hak orang lain saja kita masih belum bisa menerimanya.
Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultural. Peran guru sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran (syah, 2000), demikian juga latar belakang kultural guru turut membentuk persepsi murid terhadap kulturnya. (Cabello & Burstein, 1995). Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bisa diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultural (Banks,1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan guru memiliki pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu pendidikan multikultural.
Menurut KH.Hasyim Asy’ari (pendiri NU/kakek gusdur) berpesan : “sebenarnya Indonesia ini untuk dijadiakan negara islam sangatlah mudah. Hanya saja Allah justru berkehendak menampakkan kekuasaanNya terhadap bangsa ini lewat keberagamanya. Dari suku, bahasa, agama, dan ras yang berbeda-beda itu (Bhineka), Tuhan menghadirkan islam untuk merangkul mereka semua sebagai perwujudan Rahmatan Lil’alamin (Tunggal Ika).”
Gus Dur pencipta lagu Syi'ir Tanpo Waton ini terkenal sebagai sosok yang penuh kontroversi. Terutama dalam sepak terjangnya di dunia politik selama menjabat sebagai presiden RI. Salah satu sebutan yang terkenal dari beliau adalah pandangan masyarakat luar yang mengatakan  bahwa Gus Dur adalah Bapak pluralisme . Apa itu pluralisme? Pada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut, pluralisme agama,sebagai obyek persoalan yang ditanggapi, didefinisikan sebagai “ suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, seorang pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya sajalah yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa pluralisme dalam konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
Kalau MUI yang merupakan induk umat islam di Indonesia melarang pluralisme lantas mengapa Gus Dur yang merupakan ulama besar disebut sebagai Bapak pluralisme? Jika merujuk kembali pada pengertian yang dijelaskan MUI diatas, jelas itu tidak diperbolehkan. Namun bagaimana dengan pluralisme ala Gus Dur? Dalam hal ini ada definisi lain dari pluralisme yang berarti faham akan keragaman, bagaimana menghargai segala sesuatu yang beda dalam koridor yang masih relevan (masih dalam jalur). Positifnya adalah agar negara ini tetap bersatu padu ‘BHINEKA TUNGGAL IKA.’
Menurut Islamic Motivation Gus Dur dan pluralisme adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Beliau adalah tokoh yang sangat peduli dengan keberagaman, perbedaan, dan keaneka ragaman. Ternasuk dalam hal kehidupan agama. Bahkan beliau juga dekat dengan tokoh-tokoh agama selain agama islam yang beliau anut. Sering keluar masuk tempat-tempat peribadatan agama lain. Hal inilah yang seringkali menimbulkan kesalahan penafsiran pluralisme yang Gus Dur ajarkan. Namun setelah wafatnya beliau, 30 Desember 2009 lalu, orang-orang mulai sadar akan kebenaran tentang bagaimana cara bertoleransi yang beliau ajarkan.
Pluralisme yang diajarkan Gus Dur adalah murni dari pemikiran jernih dan didasarkan pada kitab suci Al Quran dan Hadits nabi. Salah satunya adalah ayat terakhir surat Al Kafirun. Perintah membantu umat lain seperti membantu pembangunan gereja, juga ada dalam perintah Nabi Muhammad sebagai bukti sikap Nabi dalam menghormati dan toleransi, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Quraish Shihab.
Ada pandangan lain mengenai Gus Dur dan Pluralisme yang menyatakan bahwa Gus Dur Bukanlah bapak pluralisme melainkan bapak humanis, sebab yang beliau perjuangkan bukan pluralismenya melainkan sisi kemanusiaannya. Pandangan ini disampaikan oleh Inayah Wulandari Wahid, putri bungsu Gus Dur sendiri yang ia sampaikan saat peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur (15 Oktober 2012). Dalam pidatonya ia menuturkan :
"Ketika dia mati-matian membela orang China, Ahmadiyah, Nasrani, dan orang-orang termarjinalkan lainnya, yang diperjuangkan bukan Chinanya, bukan Ahmadiyahnya, bukan Nasraninya, melainkan manusianya. Jadi lebih tepat dikatakan Gus Dur itu tokoh humanis,". Menurut Inayah, Gus Dur sendiri juga tidak pernah menyebut dirinya pluralis, melainkan humanis. "Bahkan Gus Dur pernah berpesan agar di pusaranya ditulis 'Di Sini Dimakamkan seorang Humanis'," ungkap Inayah.
Gus Dur merupakan salah satu dari 4 tokoh yang ketika akhir hayatnya menggemparkan dunia selama abad ke 21. Ada tokoh-tokoh tersebut adalah Presiden ke 35 AS, John F Kennedy. Tokoh spiritual dan politikus India, mahatma Gandhi. Tokoh perjuangan di Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini dan terakhir Mantan Presiden Republik Indonesia, K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Terlepas dari itu semua, Gus Dur memang merupakan salah satu tokoh idola. Menurut saya beliaulah orang yang "Indonesia Banget", yang paling mengerti tentang apa itu Bhineka Tunggal Ika karena beliau menyadari bahwa kita hidup di negeri yang multi kultur yang tidak akan mungkin untuk menyatukan keberagaman suku, agama, ras, budaya dan manusia yang ada. Jalan terbaik untuk itu adalah sikap toleransi kita terhadap adanya perbedaan tersebut supaya negara tercinta kita ini tetap kokoh berdiri diatas perbedaan-perbedaan yang ada. Bukanlah perbedaan itu indah? 
Penting sekali bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara etnis, ras,dan kultural berbeda dari dirinya. Upaya interaksi lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif; kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap sistem budaya yang lain. Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan, ketakutan, kegagalan dan permusuhan kelompok antarras dan antaretnik. Pendidikan Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya dan dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yang semena-mena tentang nilai intrinsiknya.
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada.
Ø  Cholis Muchlis
Ø  Cabello & Burstein, 1995
Ø  Muhaemin, 2004
Ø  Islamic Motivation
Ø  Mahfud, Choirul. 2011, ”pendidikan multikultural”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ø  Dr. Abdullah Aly, M. Ag. “Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ø  Alwasilah, A. Chaedar.2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.



1 comments:

  1. Judulnya berat tapi ko ga menggunakan referensi dari buku-buku yang mengupas multilingual-multicultral education ya?

    ReplyDelete