Saturday, February 22, 2014

10:39 PM
1
Writer by Muhammad Saefullah
Sebuah ritual yang tak bermuara. Eksistensinya menimbulkan polemik berkepanjangan dalam kisah perjalanan panjang bangsa. Jalan yang ditempuh oleh para “sufi” lintas agama begitu beragam, para pengikut yang fanatisme salah menafsirkan paradigma dari hakikat keberagaman bangsa. Inilah sebuah realitas sosial yang akan menghancurkan sosok insal kamil, berbagai kelompok, etnis, suku, agama, yang ingin bercinta dengan Tuhannya akan terusik. Pendidikan yang seharusnya menjadi prestise sebuah keberagaman, kini berperan sebagai laga adu ketangkasan.
            Kerukunan antar umat beragama kini tidak sejalan dengan apa yang ada di dalam kitab suci bangsa yang merdeka hampir enam dasawarsa lebih. Petikan wasilah yang tercantum pada pasal 32 ayat 1 berbunyi “Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia untuk mejamin kebebasan masyrakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya”. Keragaman budaya nampaknya masih menjadi dosa sosial sampai sekarang, hujjah yang dimiliki nampak berbeda dengan ‘aliran’ lain. Bermacam-macam jihad seperti yang dilakukan oleh cikal bakal bangsa yaitu tawuran pelajar, bentrok pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme menambah daftar panjang kisah pengikut “sufi” lintas agama.
            Konsep yang ada di dalam pendidikan berperan penting dalam menentukan insan yang bertoleran. Pembangunan sosial dari berbeda agama, etnis, suku, harus dikemas dengan ketulusan sentuhan sosok guru di tingkat sekolah dasar. Penerus bangsa pada tingkat dasar sangatlah kompleks, mereka perlu diajarkan moralitas bagaimana untuk menghargai sesama, berinteraksi dengan satu sama lain dan menghormati perbedaan pendapat yang notabene mereka berbeda budaya. Jangan sampai perilaku yang tidak pantas dilakukan oleh anggota parlemen di tahun 2010 lalu terus membayangi (muka polos) anak-anak.
Sebaiknya bangsa Indonesia yang masyarkatnya sangat majemuk atau pluralis harus menentukan sistem pendidikan yang baik. Pemerintah harus bisa merekayasa agar keberagaman yang ada kembali kepada hakikatnya, yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam. Betapa pentingnya pendidikan yang multikultural untuk bangsa Indonesia dalam memanusiakan manusia, pendidikan tersebut harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Dengan begitu, pemahaman bangsa kita akan terbentuk dalam menghadapi kehidupan sosial yang beragam.
            Jalan yang ditempuh oleh “sufi” lintas agama beserta pengikutnya ini harus berkesinambungan dengan realitas sosial. Mereka boleh fanatik terhadap budaya dan keyakinannya masing-masing, tapi harus ingat bahwa mereka hidup dalam naungan Bhineka Tunggal Ika. Dengan begitu tidak ada lagi konflik yang berkelanjutan sampai anak cucu kita nanti.
Pendidikan dasar pada generasi muda amat penting, jangan sampai ketika dihadapkan dalam satu ruang yang sama kepolosan anak-anak akan menjadi masalah besar. “culture shock” terjadi ketika pengetahuan agamanya dihadapkan dengan sosial yang tidak satu pemikiran. Konflik yang terjadi di kalangan pelajar menjadi buktinya, mereka berani berjihad membela identitas dirinya masing-masing untuk mempertahankan sebuah hujjah. Di lain hal, konflik sejenis ini sebenarnya berasal dari induk kelompok yaitu para penggede-penggede (istilah pesantren atau pembesar) yang kurang mengajarkan toleransi. Masih melekat dalam memori kita kejadian pada tanggal 19 Januari 1999 di Ambon, hanya karena hal yang sepeleh pertumpahan darah dari aksi heroik antara umat islam dengan umat Kristen bergejolak sangat dahsyat. Bahkan konflik antar agama ini pecah dan mempengaruhi wilayah-wilayah yang ada disekitarnya untuk berjihad. Sangat ironis sekali melihat bukti kacau-balaunya Bhineka Tunggal Ika.
Dulu pejuang berebut senjata, sekarang pelajar berebut pena. Peribahasa itu sudah tidak ajeg lagi dengan pendidikan kita sekarang. Dalam kitabnya Pak Chaedar yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi” sub ayatnya menampilkan wacana tenetang Classroom Discourse to Foster Religius Harmony. Artikel ini menarik untuk dikritisi secara komprehensif. Pelajar nampaknya harus mawas diri dengan salah satu peribahasa tersebut, jika ditafsirkan mempunyai makna yang sangat mendalam. Para pejuang rela mengorbankan nyawanya demi keutuhan Negara Indonesia, sekarang bukan eranya lagi generasi muda untuk pertumpahan darah apalagi satu bangsa. Arwah para pahlawan berharap generasi muda berebut pena dalam arti bertarung hal belajar, jangan sampai perbedaan-perbedaan yang ada menjadi salah satu unsur pecahnya merah putih.
Satu dasawarsa terakhir pemerintah sibuk membolak-balik kurikulum dalam pembelajaran. Study badingnya ke berbagai Negara berkembang berharap mendapat pencerahan dari hasil study teresebut. Dimulai dari kurikulum 2000, kurikulum 2004, 2006 dan yang paling terbaru ialah kurikulum 2013. Perubahan itu bukan hanya intuisi belaka namun berharap dapat merubah bangsa kita menjadi lebih baik karena kultur yang beragam. Dengan kata lain, para wakil rakyat dipaksa untuk memutar otaknya agar terciptanya angan-angan selama ini.
Masih melekat dalam otak kita tentang bentrokan yang terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Rasa toleran dari berbagai kelompok ini kurang tertanam dengan benar, sehingga mereka tidak menghargai. Berawal dari dendam lama yang sudah tertanam oleh penggedenya, bentrok yang terjadi antar pelajar ini seakan-akan menjadi agenda tahunan yang wajib dipersiapkan matang-matang. Entah mengapa dosa sosial sudah mendarah daging, seharusnya sebagai seorang pelajar bersaing dalam prestasi bukan adu ketangkasan seperti dunia jawara.
Konflik yang terjadi di kalangan pelajar ini tidak bisa dipandang sebelah mata oleh para wakil rakyat. Pertanyaan yang mendasar adanya tawuran tersebut yaitu apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan di Negara pluralis ini sehingga pelajarnya brutal? Aliran yang puritan tidak diharapkan di sini. Perlu study kasus yang mendalam untuk mengungkap fenomena sosial bangsa. Qoul dari Soejono Soekanto berdalil bahwa penyebab adanya konflik itu karena empat hal.
Pertama ialah perbedaan antar individu. Merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggaan, dan identitas seseorang. Sebagai contohnya terdapat siswa yang ingin suasana belajar tenang tetapi siswa lain ingin belajar sambil diiringi dengan menyanyi karena sangat mendukung. Kemudian timbul amarah dalam siswa yang lain sehingga terjadi konflik.
Kedua ialah perbedaan kebudayaan, kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki Norma dan nilai-nilai yang sama, apa yang dianggap oleh satu masyarakat itu baik belum tentu baik oleh masyarakat lainnya. Interaksi sosial antar indivudu atau kelompok dengan pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah dan benci sehingga berakibat konflik.
Faktor yang ketiga ialah perbedaan kepentingan. Setiap kelompok maupun indivudu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Sesuatu yang mereka anggap penting dan sakral yang harus dilakukan oleh anggotanya belum tentu penting bagi kelompok lain. Dari hal seperti ini dapat menimbulkan konflik diantara kedua kelompok tersebut.
Faktor keempat yaitu perubahan sosial. Perubahan yang terlalu cepat terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan nilai dan norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat. Sebagai contoh kaum muda ingin merombak perilaku tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya, maka akan timbulah konfik. Berbagai faktor di atas tidak menutup kemungkinan bahwa pelajar yang ada pada saat sekarang terjadi karena hal tersebut. Semua orang pasti mempunyai ekspektasi yang berbeda menanggapi polemik  yang kompleks dalam keberagaman bangsa.
Sebagai warga yang demokratis dengan karakter yang baik, seperti diatur dalam UU Sisdiknas. Pendidik ditantang untuk melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi muda. Seperti yang dikutip dalam tujuan pendidikan di dalam UUD 1945 ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas mempunyai makna yang luas, bukan hanya cerdas secara intelektual saja tetapi kaya akan kecerdasan dalam emosional dan spiritual juga, bagaimana mereka belajar tentang toleransi, rasa saling menghormati antar umat beragama, menjunjung tinggi perbedaan diantara mereka.
Salah satu bahan renungan mengapa pendidikan Indonesia semakin bobrok kita bisa melihat satu dasawarsa lalu. Aksi heroik yang terjadi pada tanggal 17 Januari 1999 terjadi konflik etnis antara Melayu Sambas dengan Madura.
Situasi Perang Sambas
Konflik ini menurut versi etnis melayu berawal dari tertangkapnya seorang etnis Madura yang hendak mencuri di rumah seorang warga, tersangka tertangkap dan dipukuli. Sedangkan menurut qoulnya orang Madura, tidak ada orang Madura yang mau mencuri, yang terjadi ialah 3 orang pemuda Madura yang dalam keadaan mabuk menggedor pintu rumah warga dan berbicara kasar kepada pemilik rumah. Karena mengeluarkan clurit berteriaklah maling. Akhirnya peperangan antar etnispun tak terelakkan lagi, dari kedua belah pihak baik dari melayu Sambas dan melayu Madura terus menyerang satu sama lain.
Ironis sekali keadaan yang pelik ini, pemerintah perlu melakukan tinjauan khusus yaitu study lebih lanjut mengenai perang Negara melalui aparat dalam kerusuhan Sambas di tahun 1999. Konflik Sambas ini menyebabkan 401 yang tak berdosa meninggal dunia dengan sia-sia dan pengungsian 58.544 orang Madura dari kabupaten Sambas. Sampai saat ini konflik diselesaikan pemerintah dengan cara memindahkan etnis Madura dari wilayah kabupaten Sambas ke kotamadya Pontianak dan Kota Singkawang.
Berbeda dengan konflik yang ada di Sambas, hanya berselang dua hari yaitu tepatnya pada tanggal 19 Januari 1999 perang yang disebut perang antar Islam-Kristen bergejolak di Ambon (Maluku).
Kondisi Perang Ambon
Peperangan antar-agama sekali lagi hanya karena hal yang ‘sepeleh’, karena kesalah pahaman antar mereka berakibat memicu kerusuhan di Ambon, dengan munculnya warga muslim di mana-mana untuk menyerang warga Kristen dan sebaliknya juga warga Kristen yang muncul untuk mempertahankan diri.
Beberapa saat berselang sekitar lima menit setelah peristiwa saling jekar mengejar antar pemuda muslim dengan pemuda Kristen asal Ambon, seperti ada komando kerusuhan akhirnya pecah di mana-mana dalam kota Ambon. Akhirnya kerusuhan ini melebar keluar kota Ambon pada tanggal 20 Januari 1999.
Dari konflik tersebut terjadi karena fanatisme yang kuat dari para pengikut “sufi” lintas agama. Kerusuhan demi kerusuhan di pulau Ambon pada akhirnya bersangkut paut dengan sikap toleransi warga yang berdomisili di pulau Ambon. Sementara isu pertikaian yang bernuansa SARA semakin dipertajam sehingga menimbulkan fanatisme antara masing-masing umat beragama. Berbagai peristiwa yang ada di Ambon berlangsung lama, alasan lain mengapa terjadi peperangan juga diakibatkan oleh dendam lama yaitu peristiwa kerusuhan yang terjadi pada bulan Nopember 1998.
Tidak dapat dipungkiri lagi qoul dari Soerjono Soekanto tentang faktor yang menyebabkan terkadinya konflik. Menurut Lewis A Coser konflik yang terjadi di Sambas dan Ambon itu merupakan konflik Out-group, yaitu konflik yang terjadi antara suatu kelompok dengan kelompok lain. Nampaknya bentrok antar agama bukan hanya terjadi di tahun 1999, hal tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi di masa yang akan datang karena banyak faktor. Oleh karena itu, hal ini menjadi Pekerjaan Rumah para wakil rakyat untuk mencari solusi yang tepat dan mengakhiri konflik berkepanjangan.
Melihat dari banyaknya peperangan dan konflik yang terjadi antar umat beragama, antar etnis, suku, dan budaya seperti di Ambon dan Sambas dan yang lainnya. Pantas saja banyak konflik yang terjadi di kalangan akademisi yaitu para mahasiswa bahkan pelajarpun ikut mewarnainya. Di samping karena agama yang berbeda-beda juga disebabkan rasa dendam lama yang masih membekas dalam hati.
Konflik tidak terlepas dengan kekerasan, bahkan nyawapun menjadi taruhannya. Menurut qoul dari Jonathan Turner, beliau memandang konflik itu sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Mereka saling menyalahan agama-agama lain yang menurutnya tidak benar, dan hanya agama dialah yang paling benar. Karena adanya pelabelan yang tidak sepantasnya maka timbul konflik.
Dalam teori keagamaan khususnya Islam, ada 3 teori yang bisa menjadi acuan pada konflik antar agama. Teori yang pertama ialah eklusif, teori ini berdalil bahwa islamlah yang paling benar, dan agama lain salah. Jelaslah kalau konflik antar agama ini pecah, pemeluk agama selain agama islam merasa tersinggung jikalau agamanya dianggap kurang benar. Teori ini ‘mungkin’ dipakai oleh segenap kaum fanatisme pada agama Islam yang salah, tidak menghargai kebebasan beragama dan tidak menjunjung tinggi kandungan Pancasila. Teori yang kedua ialah teori inklusif, teori ini pada dasarnya menganggap semua agama yang ada di Indonesia benar, tapi ada yang paling benar lagi yaitu Islam. Teori ini terlihat sedikit lebih baik daripada teori yang pertama dengan jelas-jelas menyalahkan agama lain, teori inklusif ini setidaknya sudah meredam amarah dari pemeluk agama selain Islam. Dari kedua teori tersebut kemudian disempurnakanlah oleh teori agama pluralis. Pluralis menganggap semua agama itu benar, alasannya yaitu karena titik tuju mereka itu sama yaitu Tuhan.
Menengok beberapa kurun tahun yang lalu, teori pluralis sudah dijunjung oleh sosok Gus Dur. Namun, karena terlalu tingginya pemikiran beliau, masyarakat awam tidak bisa mencerna pemikiran Gus Dur. Publik mengecam bahwa Gus Dur sudah melenceng dari pemikiran yang sewajarnya dan masyarakat menuntutnya untuk dilengserkan. Akhirnya Gus Dur harus  dilengserkan sebelum pandangan pluralisnya itu berada pada tingkat yang makrifat, yaitu pemahaman kepada seluruh masyarakat. Sekarang, teori pluralis terbukti kebenarannya. Keberagaman itu harus menjadi kekayaan bangsa bukanlah sebuah masalah bagi bangsa. Teori ini sangat tepat dengan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berbeda aliran tapi tetap yang dituju ialah Tuhan. Andai saja Gus Dur tidak dilengserkan mungkin Indonesia mempunyai cerita lain yang lebih baik.

Menurut qoulnya ahli tafsir misbah yaitu Qurasy Syihab, aliran agama ini dibedakan menjadi dua yaitu Absolute dan Relatif. Teori absolut mengartikan bahwa agama Islam itu paling benar. Teori ini digunakan oleh para kaum yang fanatik dalam suatu agama, mereka lupa bahwa Tuhan mereka saja memberikan rahmat-Nya bagi seluruh umat manusia tidak melihat apa agamanya. Teori yang kedua ialah relatif, hal ini sama dengan pandangan pluralis yaitu semua agama benar, karena titik tujunya sama.
Sudah selayaknya sistem pendidikan bangsa ini bisa membentuk karakter dan kepribadian generasi muda. Sekolah merupakan salah satu media untuk merestorisasi kepribadian anak-anak bangsa, dalam konteks lingkungan mereka belajar untuk menghormati rekan, saling membantu, dan menghormati antar umat beragama. Dengan begitu pelajar tidak sekedar pintar dalam hal intelektual saja, tetapi mencakup emosional dan spiritual.
Study kasus menjelaskan bahwa pendidikan yang ada di pesantren mendukung dalam perkembangan individu. Di pesantren, mereka bisa belajar untuk hidup bermasyarakat dengan baik, bertoleran, gotong-royong, dan menghargai sesama umat. Dengan begitu tidak akan terjadi lagi konflik diantara mereka, cara berfikir kritislah yang dikedepankan dengan ilmu-ilmu agamanya sebagai fondasi, sehingga akan tercipta masyarakat yang madani.
Melihat sistem pendidikan luar negeri, di Amerika juga terdapat pendidikan seperti pesantren yang merealisasikannya itu dalam bentuk asrama. Tujuan dari asrama ini sama halnya dengan pesantren yaitu untuk membentuk karakter dan kepribadian yang baik agar mereka bisa hidup berdampingan dengan masyarakat lintas agama.
Tenaga pendidik juga wajib untuk membenahi diri bagaimana merekayasa cara mengajar yang prestise. Di Negara Finlandia, profesi guru sangatlah digandrungi oleh rakyatnya. Butuh tiket S2 untuk melamar menjadi seorang guru, di samping itu guru juga diseleksi dengan ketat sehingga menghasilkan siswa yang bekualitas pula. Sedangkan tenaga pengajar di Negara kita sangatlah berbanding terbalik dengan Finlandia.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa pluralis. Dalam perspektif horizontal, kemajuan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa, daerah, dan budaya. Dalam perspektif vertikal, bisa dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Pedidikan moral bangsa dirasa sangat dibutuhkan untuk menanamkan moralitas berbangsa, termasuk moralitas mulikultural yang beragam.
Beberapa solusi untuk mengatasi pendidikan bangsa yang ditawarkan yaitu pertama lewat pendidikan yang beracuan dengan multikultural. Pendidikan semacam ini diarahkan untuk meredam konflik sosial dengan cara mengembangkan sikap menghargai perbedaan budaya. Pendidikan multikultural juga diharapkan dapat menciptakan struktur dan culture setiap kelompok untuk bisa melakukan ekspresi budaya secara nyaman, harmonis tanpa implikasi koflik. Keragaman budaya bangsa Indonesia adalah sebuah kenyataan yang harus diterima tanpa ruang tawar-menawar. Karena kenyataan tak tertolak, maka harus diterima, dijaga, dipelihara, dan dikelola agar mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan pendidikan harus dirancang untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ini adalah tujuan ideal pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural diposisikan sebagai therapi (solusi), sedangkan konflik sebagai gejala. Konflik yang terjadi antara pelajar dan konflik antar agama mempunyai faktor esensial yaitu lemahnya moralitas berbangsa dalam segala bidang, bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, olahraga, bahkan prilaku beragama. Tak pelak lagi, konflik disebabkan oleh lemahnya moralitas bangsa. Hal ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendidikan multikultural, nama yang lebih substansial adalah pendidikan moral bangsa. Peraturan pemerintah Nomor 17 Tahun 2010  tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan sebenarnya sudah berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sistem pendidikannya juga dibangun di atas landasa idil pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945.
Solusi kedua yang ditawarkan ialah pendidikan moral secara integral dalam sistem pendidikan nasional. Tuntutan sifat integralistik pendidikan moral didasarkan alasan bahwa prinsip dan norma multikultural dalam sistem pendidikan nasional harus diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan norma dan prinsip meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan moral berbangsa, termasuk moral bermultikultural, harus hidup dalam proses pembelajaran semua mata pelajaran, serta keseluruhan kehidupan pendidikan. Prinsip dan pendidikan multikultural harus berada pada seluruh komponen khususnya proses pembelajaran yakni komponen kompetensi lulusan, kompetensi guru, materi, metoda dan pendekatan, suasana proses pembelajaran, suasana lingkungan pendidikan.
Solusi yang ditawarkan kepada Indonesia yang terakhir ialah Dialog agama. Qoulnya Pak Chaedar pada kitab Politik Bahasa dan Pendidikan mengatakan bahwa Tuhan pun meladeni para Rasul-Nya untuk berdialog, sehingga terjalinlah saling perhatian antara Tuhan dan Rasul-Nya. Dialog diskusi teologi merupakan tugas para ahli, pemikir, dan birokrat yang mengatur kehidupan beragama. Jumlah mereka relatif sedikit, namun wejangan, fatwa, dan khotbah mereka akan di dengar para pengikutnya. Dialog antar-umat beragama diangkat dari tema-tema sosial nampaknya akan memfungsikan agama sebagai perekat sosial (meminjam istilah Durkheim “societal glue”) untuk membangun solidaritas dan kepaduan masyarakat.
Indonesia nampaknya harus mempersiapkan pendidikan karakter yang visioner, sistematik, sistemik dan bersinambung. Hal ini penting mengingat bangsa Indonesia harus mampu membangun bangsa yang berkarakter. Jauh dari konflik-konflik sosial. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Begitu pula, pendidikan karakter harus mencerminkan suatu perilaku warga sekolah harus berkarakter. Selain di sekolah maka pendidikan karakter di dalam keluarga memegang peranan pokok bagi semua anggota keluarga. Disini peran keteladan dari orang tua sangat strategis.
Dari pembahasan di atas yang sudah dikupas habis, dapat disimpulkan bahwa satu dasawarsa yang lalu Indonesia bergejolak dengan sekelumit masalah sosial sampai sekarang, mulai dari konflik antar suku, agama, etnis, kelompok dan konflik yang terjadi antar pelajar. Inilah Indonesia yang harus segera membenahi diri jika ingin bersaing di kancah dunia, berawal dari pendidikan yang mendasar generasi muda diajarkan bukan hanya tentang intelektual semata, tetapi juga moral yang perlu dipelajari. Penelitian di Harvard University Amerika Serikat mengungkap, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinya (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Dengan pendidikan moral yang dimulai di tingkat dasar, individu akan saling menghargai dan menghormati perbedaan yang beragam. Kini Indonesia harus (mengeker) lebih jelih dari solusi yang ditawarkan oleh para ahli, mana yang tepat untuk kemaslahatan umat di Negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
http://www.fica.org/hr/ambon/idKronologisKerusuhanAmbonSept1999.html diakses pada tanggal 20 Februari Pukul 16.30 WIB
http://www.pendidikankarakter.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/ diakses pada tanggal 20 Februari Pukul 16.30 WIB






1 comments:

  1. Citarasa 'masakan' kamu mulai menguat nih. Ini terlihat dari judul, tesis yang dibangun, contoh, dan konklusi yang terlihat berkelindan. Tapi, esensi dari 'classroom discourse' sendiri nampaknya belum tergali baik di sini

    ReplyDelete