Sunday, February 23, 2014

Soempah Pemoeda


“Pertama:
Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra-poetri Indonesia mengakoei bangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra-poetri Indonesia mendjoengdjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Mendengar kata sumpah pemuda sudah pasti kita akan langsung teringat pada satu kesatuan kuat yang terjalin pada bangsa kita ini. Kongres sumpah pemuda sendiri merupakan kongres yang diadakan oleh berbagai organisasi pemuda yang berasal dari seluruh Nusantara . Mereka memiliki cita-cita yang sama yakni ingin terbebas dari penjajahan. Tak peduli apa agama mereka, ras mereka, bahkan bahasa mereka. Mereka bisa bersatu dan saling bekerjasama guna menciptakan impian mereka. Namun setelah impian itu terwujud, saat bangsa ini berhasil terbebas dari penjajahan, seakan-akan para pemuda lupa akan sumpah mereka. Gerakan sparatis, bentrok antar warga, bahkan konflik yang berlatar belakang agama pun muncul dimana-dimana.
 Kerusuhan maluku yang terjadi pada tahun 1999 lalu, bisa jadi salah satu kerusuhan antar etnis dan agama terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Kerusuhan ini terjadi lebih dari 1,5 tahun dan merugikan banyak hal, mulai dari harta benda hingga nyawa pada kedua belah pihak. Penyebab awal dari kerusuhan tersebut adalah rasa ketidakpuasan masyarakat maluku terhadap pemerintah saat itu yang tidak begitu memprihatikan mereka. Selain itu faktor agama yang menjadi minoritas dan kurangnya sikap toleran jugalah yang menbuat mereka melakukan kerusuhan tersebut. Mereka menuntut untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara baru yakni Republik Maluku Selatan (RMS). Dan muslim saat itu dianggap sebagai golongan yang menghalangi mereka untuk merdeka. Sehingga rakyat maluku yang saat itu mayoritas kristen membantai dan mengusir minoritas muslim hingga terjadi konflik berkepanjangan diantara mereka, bahkan rasa tidak percaya dan curiga pun tetap ada hingga kini.

Kerusuhan Ambon tahun 1999

Fakta diatas jelas bertolak belakang dengan salah satu survey yang dikeluarkan oleh salah satu media online yang menyatakan bahwa negara kita Indonesia adalah negara tertoleran sedunia. Namun pada kenyataannya itu hanya isapan jempol belaka. Kerusuhan maluku bukanlah satu-satunya kerusuhan antar umat beragama yang pernah terjadi di negeri kita ini. Terdapat banyak kerusuhan lainnya yang menyinggung soal kerukunan umat beragama, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ). Bila pemerintah terhitung dari sekarang tidak cepat mengambil langkah tepat, maka konflik seperti itu akan rentan terulang kembali. Bentuk-bentuk radikalisme yang kini berkembang pesat pun tak ayal telah mengganggu kohesi sosial dan menghasilkan rasa saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, baik dalam konteks agama ataupun etnis. Dan yang paling ditakutkan adalah suatu saat nanti hal ini bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan agama besar .
Pemerintah selaku pihak yang mengambil keputusan sebaiknya harus cepat mencarikan solusi untuk menganggulangi krisis kepercayaan diatas. Masalah sosial tidak akan pernah berhenti melainkan akan terus berulang seperti tawuran pelajar , bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia. Kesemuanya adalah indikasi dari penyakit sosial , yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Konflik sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pemerintah dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dan dengan karakter yang baik. Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan ini , kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah sedini mungkin.
Bhinekka tunggal ika atau slogan bangsa ini pun seakan-akan sudah bukan lagi menjadi menjadi slogan pemersatu bangsa setelah melihat fakta yang terjadi sekarang. Kini slogan tersbut hanya sebuah tulisan yang tak berarti apa-apa. Banyak generasi muda yang tidak mengetahui soal slogan tersebut. Coba saja kita tanyakan hal tersebut pada siswa di sekolah dasar, sudah dijamin sebagian besar dari mereka banyak yang menggelengkan kepala dan berkata tidak tahu.
Prof. Chaedar Al-wasilah lewat artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” menjelaskan bahwa ketidakharmonisan antar umat bergama di indonesia saat ini disebabkan oleh  gagalnya lembaga pendidikan dalam menumbuhkan sikap toleransi. Pendidikan seharusnya  memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna , yaitu , interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda , etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda . Idealnya kebijakan seperti itu harus ditegakkan di sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama , etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Sekolah  juga seharusnya menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama, karena melalui itu siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan . Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural .
Dari penjabaran diatas soal penganggulangan permasalahan kurang harmonisnya kehidupan masyarakat karya Prof. Chaedar sudah cukup dikatakan baik. Namun sayangnya banyak yang perlu dikritisi dari tulisan pak Chaedar diatas. Pertama, beliau berpendapat bahwa untuk mengefektifkan pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural, Sekolah seharusnya menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama, karena melalui itu siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Bagi saya hal itu bukanlah sebuah solusi terbaik bagi siswa untuk membangun sikap toleransi. Apabila setiap sekolah diharuskan membangun tempat ibadah sebanyak agama yang dianut siswanya, maka akan terjadi pembengkakan anggaran hanya untuk pembangunan tempats ibadah. Sedangkan bila kita melihat persentase penganut agama di indonesia, islam tetap menjadi mayoritas, dan hanya ada sedikit penganut agama lain yang bersekolah di sekolah umum, sehingga sangat sia-sia bila anggaran dikeluarkan hanya untuk membangun tempat ibadah yang digunakan segelintir siswa saja dan pastinya itu hanya dipakai saat mereka berada di sekolah saja.
Selain itu, bila hal itu benar-benar dijalankan, maka akan terjadi sebuah masalah baru. Perbedaan akan terlihat lebih menonjol dari pada biasanya.  Bahkan mereka seperti diblok-blokan oleh agama. Seorang muslim akan pergi ke masjid, katolik dan kristen ke gereja, hindu ke pura, dan buddha ke vihara. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang penuh dengan kepluralitasan malah berubah menjadi tempat yang menimbulkan perbedaan dan pastinya akan sangat tidak nyaman bagi mereka yang beragama minoritas.
Jatuhnya sekolah-sekolah yang bernafaskan Islam ke tangan Departemen Agama pun membuat seakan-akan pemerintah membeda-bedakan siswa berdasarkan latar belakang kepercayaannya. Sekolah yang memiliki background agama islam, seperti madrasah seharusnya jangan dijadikan sebagai lembaga pendidikan formal. Saat madrasah menjadi lembaga pendidikan formal, siswa yang bersekolah di tempat itu tidak akan merasakan situasi dimana kita hidup berdampingan dengan agama lain, karena orang-orang yang disekitarnya adalah orang yang beragama sama dengan mereka.  Dan saat siswa-siswa keluar dari madrasah dengan pemikiran agama mereka yang sangan kental, maka mereka akan merasa bahwa hanya agama mereka lah yang benar.
Hal lain yang harus diperbaiki dari sistem pendidikan negara kita dalam hal meningkatkan toleransi dan menghapuskan diskriminasi agama adalah dengan menghapuskan mata pelajaran Pendidkan Agama Islam dalam jadwal pelajaran sekolah-sekolah umum di Indoneisa. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan agama adalah hal yang penting. Namun melihat keragaman agama yang bangsa kita miliki sangat tidak adil bila pendidikan yang disediakan di sekolah umum hanyalah pendidikan agama islam saja, sedangkan untuk siswa beragama lain selain islam harus mengikuti pembelajaran agama mereka diluar sekolah mereka. Sehingga banyak siswa yang bergama non muslim lebih memilih bersekolah di sekolah yang berorientasikan agama mereka masing-masing. Sekolah yang mengusung agama pun belakangan ini semakin banyak muncul bahkan sudah cukup menjamur terutama dikota-kota besar yang memang memiliki keanekaragaman agama yang majemuk.  
Sekolah katholik dan kristen kini menjadi sekolah favorit terutama bagi mereka siswa yang berlatar belakang non muslim yang sering merasa didiskriminasikan bila bersekolah disekolah umum. Di sekolah ini agama biasanya tidak dijadikan sebagai mata pelajaran pokok namun tidak juga dihilangkan, karena mereka menyadari bahwa dengan menjadikan agama sebagai mata pelajaran pokok akan menciptakan perbedaan yang mencolok. Di sekolah ini setiap siswa diberikan kesempatan yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan agama. Bahkan siswa muslim pun diperlakukan dengan baik di sekolah ini. Kurikulum nasional yang manjadikan Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran pun tidak dihapuskan meskipun sekolah mereka adalah sekolah katholik. Sekolah tersebut bahkan menyediakan guru agama islam untuk mengajarkan PAI untuk siswa muslim yang bersekolah di sekolah tersebut.
Pemerintah terutama Departement Pendidikan pun seharusnya mampu bertindak sebagai orang Indonesia bukan orang Islam, orang Khatolik atau orang dari agama lainnya. Mereka seharusnya menciptakan peraturan dengan sangat objektif bukan hanya untuk kepentingan umat mereka saja. Seperti layaknya di Turki, negara yang mayoritas Islam itu tidak menjadikan agama sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah mereka. Hanya mata pelajaran umum saja yang dijadikan bahan ajar di sekolah, sedangkan untuk pendidikan agama para siswa mendapatkannya dari lembaga pendidikan nonformal berupa tempat kursus atau di tempat-tempat ibadah baik masjid maupun gereja-gereja.
Bila saja pemerintah masih kekeh ingin mempertahankan pendidikan agama masuk ke dalam mata pelajaran pokok di sekolah umum. Seharusnya pemerintah tidak hanya menyediakan guru untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam saja melain kan juga guru untuk mata pelajaran pendidikan agama lainnya, agar setiap siswa baik muslim dan non muslim memiliki kesempatan belajar agama yang sama tanpa ada perlakuan diskriminatif. Solusi lain yang bisa ditempuh adalah dengan memberlakukan konsep mata pelajaran yang menggabungkan kelima agama yang ada di Indonesia dan moralitas seperti apa yang diterima para mahasiswa yang berkuliah di Universitas Katholik Parahyangan. Setiap siswa akan mendapatkan pelajaran dari 5 agama, dari pakarnya masing-masing.  Jadi selain mereka belajar pelajaran umum, mereka juga akan belajar Agama Islam, Agama Hindu, Agama Buddha, Agama Katholik, dan Juga Agama Kristen Protestant, dari pengajar yang memang agama-nya itu dan memang pekerjaannya mengajar agama.


Selain itu, Prof. Chaedar juga berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini telah gagal mendidik para siswanya dengan kompetensi wacana sipil . Sebagian besar politisi dan birokrat datang ke Parlement karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Masih segar dalam ingatan kita insiden memalukan pada tahun 2010 , ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri . Alih-alih mendidik anak-anak sekolah , politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku. Kejadian ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan politik belum cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil . Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat , sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal .
Seorang Duta Besar Indonesia untuk Argentina pun,  Nurmala Kartini Sjahrir pernah berkata sudah saatnya konsep dan nilai-nilai toleransi diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan untuk mewujudkan perdamaian, karena Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah terorisme, perang dan kebencian. Beliau pun mengatakan bahwa pendidikan harus mengedepankan pemahaman akan pentingnya hidup damai dalam keberagaman budaya. Selain itu, ujarnya,  pendidikan haruslah mengarah bukan saja untuk menciptakan manusia-manusia yang pandai tetapi juga manusia-manusia yang punya integritas, punya wawasan yang luas dan harus menghargai kemajemukan.
Hal tersebut sangat berbanding lurus dengan hasil riset studi Aprilliaswati  yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan di sebuah sekolah dasar di Pontianak , kota di mana bentrokan antaretnis telah terjadi cukup sering. Penelitian tersebut mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah , tetapi juga wacana sipil positif . Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual , sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab . Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil . Sebagai siswa SD , anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu , para siswa tampak percaya satu sama lain , sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil .

Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam kelas dapat mendukungan wacana sipil yang positif di kalangan siswa . Interaksi rekan dalam studi sosial bukan perilaku mengganggu jika guru mengelola secara efektif . Menjadi berisik tidak selalu negatif . Ini bisa menjadi bukti interaksi interaktif dan mencerahkan . Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan dilaksanakannya interaksi sebaya sebagai salah satu kegiatan rutin kelas . Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian , berdebat dengan penuh rasa hormat dan sikap rela berkorban untuk mempersiapkan mereka saat hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis .
Statemen diatas pun sangat didukung oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana mereka saling menghormati rekan, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain . Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin , 2009).
Selain Prof. Chaedar Al-wasiah dan Nurmala Kartini Sjahrir, Rektor Universitas Udayana Bali, Ketut Suastika pun ikut berkomentar soal ketidak harmonisan yang belakang ini terjadi di negara kita ini. Beliau mendorong adanya reformasi kurikulum pendidikan agar pendidikan benar-benar mengadopsi nilai-nilai toleransi sehingga peserta didik tidak berfikiran sempit. Kurikulum itu menyangkut profesionalisme. Profesionalisme itu menyangkut masalah cross-culture, bagaimana tentang perbedaan itu diajarkan dalam kurikulum. Mudah-mudahan dengan pendidikan macam itu orang banyak berubah pikiran tidak berperilaku dalam arti sempit.
Dalam pendidikan multikultural , siswa yang berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda, seringkali pola pikirnya lebih dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah seharusnya dengan  sengaja memfasilitasi interaksi sesama untuk mengembangkan wacana sipil positif. Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah .
Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran di berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Pada sekolah dasar, guru kelas lah yang berfungsi untuk mengawasi siswa hampir sepanjang hari. Saat mereka tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar , mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa akan memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan pada tingkat tertentu dapat menyebabkan konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu .
Sementara itu, Presiden Perhimpunan Lembaga-Lembaga Pendidikan Swasta Dunia, Edgargo De Vincenzi mengatakan, motto pendidikan untuk perdamaian sudah saatnya dikembangkan dan dapat dimulai dari sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal tersebut bisa dikatakan memperlengkap apa yang belum pak Chaedar sampaikan dalam artikelnya. Dapat kita simpulkan bahwa sekolah bukanlah satu-satunya lembaga yang paling bertanggugjawab untuk mendidik individu untuk bertoleransi. Keluarga dan lingkungan masyarakat pun menjadi faktor penunjang dalam sukses tidaknya pendidikan toleransi.
Keluarga  adalah tempat awal untuk setiap orang belajar toleransi. Namun kenyataannya yang terjadi khususnya pada kaum remaja, mereka cendeung mengabaikan toleransi itu sendiri, hal ini mungkin disebabkan oleh faktor dari dalam keluarga itu. Kebanyakan orang tua sekarang sibuk dengan urusan pekerjaan hingga mereka tidak menyadari bahwa mereka telah mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka untuk membimbing dan mengajari, salah satunya tentang toleransi. akibatnya banyak kaum remaja yang terjerumus ke jalan yang salah, seperti ikut tawuran dan lain sebagainya.
Untuk itu disinilah pentingnya perhatian dan komunikasi orang tua dalam mengajarkan toleransi kepada seorang anak. Karena, ketika seorang anak telah merasa diperhatikan atau mendapatkan perhatian yang cukup, maka ia akan merasa lebih dekat dengan orang tuanya. Di situlah kesempatan seorang ayah atau ibu untuk berkomunikasi kepada anaknya, dan mengajarkan toleransi yang dimulai dari keluarga hingga berkembang ke masyarakat luas.
Dari semua penjelasan diatas, penting kiranya untuk memahami bahwa sesungguhnya fitrah manusia dan inti dari ajaran agama bukanlah pemaksaan kata Voltaire dalam Traite Sur La Tolerance (Traktat Toleransi),  Agama yang memaksa bukanlah suatu agama, agama seharusnya menyadarkan, bukanlah memaksa karena agama tak pernah memerintah pemaksaan (Voltaire, 2004:119). Dalam konteks kehidupan beragama, pelajaran berharga inilah yang kita dapatkan dari Sumpah Pemuda yang memangkas habis semua perbedaan bukan untuk dihilangkan, tetapi untuk meneguhkan “tekks bersama”, INDONESIA.

Daftar Pustaka
  1. id.wikipedia.org/sumpah pemuda
  2. id.wikipedia.org/bhineka tunggal ika
  3. alchaedar.blogspot.com/2008/09/bab-12-jendral-dibalik-pembantaian-umat.html?m=1
  4. Alwasilah, Pokoknya Rekayasa Literasi 2012
  5. m.kompasiana.com/post/read526266/2/izin-6-sekolah-katolik-mau-dicabut-oh

1 comments:

  1. Spasi setelah titik dan koma masih belum konstan nih Mukhlis. Tapi paper kamu mulai menunjukkan kekuatannya: ide yang kohesif ditambah data dan referensi dari Rubin sounds OK. Namun, isu mengenai pendidikan multilngual-multikultural nampaknya belum banyak digali di sini sehingga 'serangan' kamu ke artikel Pa Chaedar belum bertaji

    ReplyDelete