Saturday, February 22, 2014


Judul : Ketika Teori Tidak Selalu Sama dengan Realita


Dunia pendidikan di Indonesia ini sungguh luar biasa penuh dengan lika-liku yang belum terselesaikan sampai saat ini. Seakan masalah yang di hadapi dalam dunia pendidikan tidak akan pernah habis dan masih akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikannya. Seakan percaya kalau “tidak akan ada rumus yang dapat memecahkannya.”
Indonesia adalah salah satu negara yang mepunyai banyak pulau Pada tahun 2002  berdasarkan hasil kajian Citra Satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 itulah yang menyababkan negara kita mempunyai kebudayaan yang jumlahnya tidak sedikit pula. Tidak hanya pulau, agama yang dianut masyarakatnya juga sangat beragam seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan yang lainnya. Itulah beberapa faktor yang seharusnya menjadi kebanggaan negara Indonesia. Tidak sampai disitu, ada satu faktor dikenal oleh dunia dari Indonesia, yaitu sistem demokrasi yang berjalan dengan baik.

On her recent visit to Indonesia in February, 2009, Secretary of State Hillary Clinton remarked, “If you want to know if Islam, democracy, modernity and women’s rights can coexist, go to Indonesia.”
_Saulat Pervez_
Dengan yang sudah kita punyai seharusnya menjadi modal yang besar untuk melaksanakan sistem pendidikan yang berkelas.
Ternyata benar ketika harus mengatakan “teori tidak selalu sama dengan realita”, kata itulah yang selalu menggambarkan negara Indonesia. Mereka bilang negara kita adalah negara yang sangat kaya karena mempunyai hasil alam yang melimpah, tetapi masih banyak orang Indonesia yang kelaparan gara-gara tidak mempunyai cukup uang untuk membeli beras, kata mereka negara kita sangat mempunyai sistem demokrasi yang terbaik didunia, tetapi untuk menyelesaikan masalah harus dengan kekerasan, kata mereka negara kita adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar didunia, tetapi masih belum cukup untuk menjadikan negara Indonesia menjadi negara maju di dunia, kata mereka, kata mereka, dan kata mereka.
Apa yang salah dengan indonesia? Apakah memang itu adalah takdir Mubram (takdir yang tidak bisa dirubah)??? Ataukah masih mungkin itu adalah takdir  Muallaq (yang masih mungkin kita rubah)???... Walaupun begitu, kita tidak bisa membiarkan negara Indonesia terus seperti ini.

“If you want to know the qualities of a nation, just look at the quality and practices of its education system”

_Prof. A. Chaedar Alwasilah_

Pendidikan adalah hidup dan mati sebuah negara, kalau pendidikan menghasilkan manusia yang hebat yang akan membawa negara menjadi hebat pula, dan sebaliknya jika pendidikan tidak menghasilkan manusia yang hebat maka tidak akan membawa negara menjadi hebat.
Disinilah pentingnya rekayasa literasi untuk membuat sistem pendidikan yang canggih, sehingga akan mampu mencetak generasi yang berkualitas. Yang harus direkayasa bukan hanya gurunya saja tetapi juga murid-muridnya. Jadi seluruh tingkat pendidikan dari mulai SD, SMP, SMA, sampai dengan di Perguruan Tinggi harus mempunyai sistem rekayasa pengajaram yang wajib canggih. Karena saya pribadi berasal dari latar belakang mahasiswi disalah satu Perguan Tinggi Negeri, jadi saya harus mendapatkan rekayasa pengajaran dari para dosen untuk bekal profesi yang akan saya jabat nantinya.
Pentingnya menghasilkan sarjana-sarjana yang berliterasi akan sangat menguntungkan di masa yang akan datang. Menyandang profesi guru memang sangat tidak mudah untuk dijalankan, karena kitalah yang akan mendoktrin pikiran siswa/siswi untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang bagus. Guru SD (Sekolah Dasar) merupakan salah satu profesi yang sangat bergengsi dan mulia. Karena dari pemikiran-pemikiran merekalah akan dihasilkan calon-calon generasi pembawa negeri Indonesia menjadi maju.
Salah satu contoh kongkrit, menjadi guru  SD di Finlandia adalah salah satu profesi yang sangat bergengsi karena pendidikan disana sangat maju, untuk menjdi guru SD tidak mudah. Bahkan profesi ini lebih bergengsi daripada profesi Dokter. Di Indonesia, justru profesi dokter sangat bergengsi karena tidak sembarang orang bisa masuk di Fakultas Kedokteran karena biaya yang dibutuhkan sangat mahal, sedangkan profesi guru SD, tidak lebih bergengsi daripada guru SMP, SMA, bahkan Dosen. Guru SD mempunyai kewajiban tugas yang sangat berat, karena akan menentukan siswa/siswi ketika memasuki pendidikan yang lebih tinggi. Guru SD di Finlandia menggunakan filsafat “pendidikan yang menyatakan setiap orang memiliki sesuatu untuk disumbangkan dan mereka yang mengalami kesulitan di mata pelajaran tertentu semestinya tidak ditinggalkan. Karena mereka sangat memahami jika pendidikan sejak SD akan membawa pengaruh untuk masa depannya”. Sedangkan guru SD di Indonesia kebanyak belum menyadari hal itu, terkadang mereka beranggapan mengajar di SD sangat mudah untuk dilakukan, karena mereka menganggap kalau siswanya adalah siswa, bukan calon generasi pembawa kemajuan bangsa. Dan jika hal ini (menganggap siswa adalah sebagai siswa) sampai ditingkat Perguruan Tinggi, maka tidak akan pernah terbayangkan bagaimana pendidikan di Indonesia.
Tugas guru SD tidak berhenti sampai disitu, bukan hanya mengajarkan siswa/siswinya membaca, menulis, dan menghitung saja, tetapi masih ada pelajaran yang harus mereka ajarkan sejak dini agar mereka tidak hanya cerdas berfikir tetapi juga cerdas dalam bertindak. Karena di Indonesia mempunyai keragaman agama, budaya, status, dan yang lainnya, sudah sewajarnya di SD diajarkan bagaimana caranya bertoleransi dengan orang lain, atau bisa diartikan menghargai semua perbedaan yang ada. Walaupun mustahil jika diusia sangat dini mereka akan menyadari adanya toleransi, tetapi ketika mereka diajarkan toleransi sejak dini, mereka akan membawa kebiasaan itu sampai mereka tumbuh dewasa. Karena perbedaan bukan masalah yang sangat besar ketika kita semua mampu menghargainya orang lain.
Contoh besar yang sering terjadi adalah toleransi antar umat beragama, walaupun di sekolah SD, SMP, SMA adanya pemisahan sekolah antara yang islam dan yang kristen (sekolah khusus kristiani dan sekolah khusus muslim sampai pendidikan tingkat SMA), tetapi tetap saja ketika mereka sudah diluar lingkungan sekolah, mereka adalah satu yaitu warganegara Indonesia. Disinilah peran toleransi sangat dibutuhkan. Tidak mudah memang ketika harus mendengarkan pemikiran dari orang lain, tetapi itu adalah salah satu bentuk toleransi yang harus kita lakukan sebagai sesama warga negara. Boleh saja para anggota DPR yang ketika mengikuti sidang saling adu argumen untuk mendapatkan suatu keputusan tetapi alangkah indahnya ketika adu argumen itu bisa berakhir dengan cara damai, dan bukannya saling adu mulut sampai adu fisik. Bukan hanya itu saja, remaja sekarang banyak yang saling adu fisik gara-gara memperebutkan seorang wanita, padahal jika dibicarakan dengan baik mungkin tidak akan adanya kata adu fisik tersebut. Yang paling membahayakan adalah disaat warga Ambon yang bersikukuh (ngotot) ingin memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Katakanlah: Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui". (Q.S. Saba`: 26)

Dengan adanya perilaku tersebut, mungkin ini adalah salah satu yang menjadi cikal-bakal pemikiran para petinggi negara (pemerintah) untuk membuat RUU (Rancangan Undang-Undang) kerukunan umat beragama kini menjadi salah satu agenda DPR untuk dibahas dan ditetapkan sebagai undang-undang di tahun politik ini, dan draf undang-undang itu sebenarnya sudah lama masuk ke DPR.
Rancanngan Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama dinilai dapat merusak nilai-nilai kebhinekaan. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute Benny Susetyo, kepada Media Indonesia. Benny menambahkan, jika yang disoroti adalah intoleransi antarumat beragama dan berujung kekerasan maka yang perlu diperbaiki adalah penegakkan hukumnya bukan membuat undang-undang tersebut.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, sampai hari ini cukup banyak negara di dunia yang belum berhasil mewujudkan kerukunan umat beragama di antara warga negaranya. Tetapi kerukunan umat beragama di negara kita bahkan telah mendapat pengakuan dan penghargaan internasional sebagai yang terbaik di dunia.
Ternyata tebukti bahwa  “teori tidak selalu sama dengan realita” para anggota DPR berusaha untuk membuat RUU tentang kerukunan antar umat bergama, tetapi disisi lain Menteri Agama berkicau kalau negara kita telah mendapat pengakuan dan penghargaan internasional sebagai yang terbaik di dunia. seperti judul novel yang ditulis  Musfar Yasin “Alangkah lucunya (negeri ini)”. fakta kehidupan di Indonesia saat ini memang tidak begitu, secara internal saja kerukunan masih jauh dari ideal, apalagi  jika disebut sebagai model kerukunan untuk dunia.

Wahai intelektual Islam dan media Islam mari waspada terhadap rekayasa canggih dari musuh-musuh Islam. Jangan terpesona oleh pujian kosong dan harapan-harapan semu dari orang lain. Jangan berperilaku egois-individualistik dan mengorbankan kepentingan umat & kejayaan Islam yang akan membawa kemajuan bangsa-negara.
_Fuad Amsyari_

Selama ini Mesir menjadi salah satu “kiblat” kerukunan umat beragama, khususnya bagi negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. berbagai macam perbedaan keagamaan maupun keyakinan yang ada di Mesir tidak disikapi secara destruktif yang beriramakan konflik. Sebaliknya, aneka macam perbedaan yang ada kerap disikapi secara konstruktif dalam irama kebersamaan dan kerukunan.
Perayaan hari besar keagamaan bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari apa yang telah disampaikan. Di saat sejumlah negara berpenduduk Muslim (termasuk Indonesia) mengharamkan ucapan Selamat Natal, masyarakat Mesir justru terbiasa merayakan bersama hari kelahiran Nabi Isa itu. Bahkan ulama-ulama besar Al-Azhar juga turut mengucapkan Selamat Natal kepada tokoh-tokoh Kristen Koptik di sana.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di saat umat Islam merayakan hari raya keagamaan, baik Hari Raya Fitri maupun Hari Raya Kurban. Sebagian umat Kristiani di sana juga turut merayakan hari raya umat Islam. Begitu juga dengan tokoh-tokohnya.
Seorang pemikir terkemuka Mesir, Dr. Milada Hanna, berhasil menggambarkan hubungan antarumat beragama di Mesir dengan sangat baik. Dalam salah satu bukunya berjudul Qabulul Akhar (menyongsong yang lain), pemikir Krisnten Koptik itu menyebutkan bahwa Islam di Mesir berwajah Sunni, berdarah Syi’ah, berhati Koptik, dan bertulang peradaban Fir’aun. 
Kini persoalan kerukunan umat beragama di Mesir menjadi masalah yang tak kalah serius dari persoalan pelengseran Mubarak. Penulis adalah alumni Al-Azhar, Kairo Mesir. Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS).
Ternyata dengan modal toleransi saja tidaklah cukup untuk membangun bangsa yang kokoh, tanpa adanya pendidikan yang menyertainya. Hubungan yang harus dibuat (pendidikan dan sikap toleransi) harus selalu berjalan beriringan agar lebih kuat untuk membangun bangsa.
Mungkin adanya faktor yang menyebabkan menurunnya sikap toleransi diantara sesama yang sekarang terjadi adalah:
1). Semakin meningkat kecenderungan umat beragama untuk mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan agama dari pada mengejar kualitas umat beragama.
2). Kondisi sosial budaya masyarakat yang membawa umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga kerukunan dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun maknanya.
3). Keinginan mendirikan rumah ibadah tanpa memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung perasaan umat beragama yang memang mayoritas di tempat itu.
4). Menggunakan mayoritas sebagai sarana penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah. Misalnya, pemilikan dana dan fasilitas pendidikan untuk memaksakan kehendaknya pada murid yang belajar.
5). Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan kekeluargaan atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis
Banyak upaya yang dilakukan oleh para guru-guru yang sudah menyadari pentingnya sikap toleransi dalam dunia pendidikan untuk memperbaiki sistem pendidikan dan sistem toleransi di dunia pendidikan kita. Salah satunya upaya yang dilakukan oleh guru agama islam dalam menanamkan sikap toleransi beragama siswa kelas v, di SDN tegalmulyo no. 157, Surakarta
a. Guru menekankan pada siswa untuk saling menghargai dan menghormati melalui pelajaran aqidah akhlaq.
b. Pemberian tugas-tugas kebersihan dan ketertiban seperti bekerjasama dalam kelompok, piket harian dan tugas-tugas yang dikerjakan tidak berdasarkan agama siswa
c. Pemberian zakat fitrah pada siswa yang kurang mampu meskipun beragama non-Islam dan makan bersama seluruh siswa dan guru di sekolah, tanpa-membedakan agamanya, sewaktu hari raya Idul Adha.
d. Keteladan guru PAI, dengan menganjurkan membiasakan diri menyapa dengan ucapan “selamat pagi” bagi guru atau siswa yang beragama non-Islam. Dan mengucapkan “assalamu’alaikum” kepada guru dan siswa yang beragama Islam.
Pepatah “mulai dari yang kecil sampai yang besar” merupakan sesuatu yang biasa namun maknanya sangat kompleks. Karena ketika etika sudah diberikan sejak dari SD, akan tidak mungkin adanya saling adu fisik ketika menyelesaikan sebuah permasalahan. Kerukunan antar umat beragama pun sangat penting, hal ini bertujuan agar kesatuan negara Indonesia tetap terjaga. Karena yang akan membawa Indonesia hebat adalah warganegaranya yang hebat pula.
Sudah saatnya kita menutup telinga oleh segala pujian dari luar, setidaknya kita tidak akan mendengar gombalan mereka yang akan melambungkan hati kita. Kita harus melakukan tindakan yang nyata untuk memperbaiki kualitas negara Indonesia. Dengan memperbaiki sistem pendidikan kita, mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai Peguruan Tinggi kita akan bisa menjadi negara yang disegani oleh lawan (negara lain). memang tidak mudah untuk membangun pendidikan kita lebih berkualitas, tetapi jika semua unsur yang ada di Indonesia bekerjasama untuk membangun  negeri, rasanya tidak mustahil jika kita bisa memperbaiki sistem pendidikan dinegara kita.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka - politisi, insinyur, petani, atau pengusaha - siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah .
Dengan demikian didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain . Pada dasarnya, itu penempaan insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis .
_Prof. A. Chaedar Alwasilah_

Menurut Lestari Sudjipto (Staf Jaringan dan Propaganda KAMMI Kathoza 2013) Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurikulum baru kita. Tetapi dengan banyaknya kasus yang melibatkan para petinggi dan institusi pendidikan, salah satunya mulai dari afair buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada siswinya, di kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai bunuh diri dan seks bebas. liberalisme yang diagung-agungkan dan diacu oleh sistem pendidikan kita telah merusakkan sendi-sendi negara bangsa Indonesia.
Liberalisasi pendidikan tinggi bermula dari WTO (World Trade Organization) yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari 11 sektor jasa yang bisa diperdagangkan. Dengan adanya ratifikasi WTO melalui UU No 7/1994 berarti Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk menaati segala aturan main yang ada di dalamnya.  
Khususnya di perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan pertama yang diliberalkan karena pada level ini resistensi paling minimal dan paling siap dikomersialisasikan. Justifikasi yang sering dipakai adalah pendidikan tinggi lebih banyak memberikan benefit pada individu bersangkutan daripada kepada publik, sehingga subsidi negara dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Akan tetapi, privatisasi pada level pendidikan tinggi membawa konsekuensi kemerosotan program-program studi yang tidak menjual. Belum lagi krisis yang bakal terjadi ketika biaya pendidikan untuk profesi yang berorientasi pelayanan publik, seperti kedokteran, menjadi sangat mahal. Liberalisasi pada level pendidikan tinggi juga memicu komersialisasi pendidikan pada level yang lebih rendah. Otonomi perguruan tinggi negeri yang sempit diartikan kemandirian untuk mencari sumber-sumber pembiayaannya dari masyarakat, memprovokasi perlombaan peningkatan biaya pendidikan. Itu terjadi bukan saja pada level pendidikan tinggi, tetapi juga pada level yang lebih rendah, termasuk pada level pendidikan dasar dan prasekolah.
Sesuai dengan rukun liberalisme yang menghendaki adanya kompetisi pasar yang terbuka, maka liberalisasi pendidikan pun dibangun di atas sendi-sendi tersebut. Dengan demikian, masing-masing perguruan tinggi akan berusaha untuk meningkatkan nilai jual agar kampusnya bisa lebih marketable. Persaingan ini tentu saja akan bermakna jika dilandasi atas semangat untuk memajukan dan menciptakan iklim yang kondusif bagi pendidikan kita. Tetapi, efek yang berbeda juga bisa timbul akibat liberalisasi pendidikan ini. Seperti halnya dalam bidang ekonomi, dalam pendidikan pun yang kuatlah yang akan bertahan. Ini artinya bahwa hanya perguruan tinggi yang besar dengan dukungan fasilitas lengkaplah yang akan bertahan dan bakal diminati para calon mahasiswa. Padahal, pemenuhan fasilitas tentu akan terlaksana manakala ada sokongan dana yang kuat untuk menjamin tersedianya fasilitas tersebut. Di sinilah side effect dari liberalisasi pendidikan itu. Karena pada akhirnya, liberalisasi akan mengarah pada komersialisasi. Ujung-ujungnya biaya pendidikan termasuk perguruan tinggi negeri dan Badan Hukum Milik Negara(BHMN) akan semakin melangit.
Liberalisasi pendidikan merupakan pengkhianatan terhadap UUD 1945 dan pelecehan martabat bangsa. Pemerintah memiliki amanat yang harus dijalankan dalam bidang pendidikan ini yang termaktub pada pasal 31 UUD 1945, Tap MPR, dan UU Sisdiknas. Jika pemerintah melihat pendidikan sebagai barang komersial, pemerintah menyimpang dari konstitusi, karena tugas penyelenggara negara adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat Indonesia
Otonomisasi ini mengubah bentuk PTN di Indonesia dari unit layanan di bawah Depdiknas menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Sebagai dampak dari perubahan ini, biaya kuliah di beberapa universitas negeri mulai meningkat pada tahun 1999 sebesar 300 hingga 400 persen. Sejalan dengan hal tersebut, komitmen liberalisasi sektor pendidikan dalam GATS memang berfokus pada pendidikan tinggi (higher education) dan pendidikan untuk orang dewasa (adult education). Pendidikan tinggi Indonesia sendiri kini tidak lagi dikategorikan sebagai layanan publik, tetapi lebih pada sektor semi-profit. Akibatnya pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih kompatibel dengan sistem pasar bebas dan akan dapat terus dituntut pembukaan akses pasarnya dalam GATS.
Sebenarnya kita tidak pernah mempermasalahkan sistem apapun yang digunakan oleh para petinggi pendidikan dalam merekayasa dunia pendidikan kita. Karena kita sangat yakin kalau para petinggi pendidikan akan cukup mampu dalam mengarahkan warganegara Indonesia. Yang harusnya dipermasalahkan adalah ketika “teori tidak selalu sama dengan realita”. Karena setiap orang akan mampu menuangkan apa yang ada di dalam otaknya kedalam sebuah teks, tetapi untuk mewujudkan apa yang sudah tertera dalam sebuah teks itu sangat susah, karena melibatkan banyak aspek untuk membantu mencapainya. Hal ini juga seperti yang sudah ditulis oleh Prof. Chaedar kalau dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Ketika dunia pendidikan liberal Indonesia sudah memenuhi kriteria di atas, sudah dipastikan kualitas baik akan disandang oleh dunia pendidikan Indonesia. Tetapi jika kriteria diatas belum semuanya terpenuhi, jangan berharap terlalu tinggi untuk membawa bangsa kita menjadi bangsa yang bisa bersaing dengan bangsa lain.
Sistem pendidikan liberal sudah diberlakukan di Indonesia, jadi kita harus mengikuti apa yang sudah ditentukan oleh para petinggi pendidikan. Yang harus bangsa Indonesia lakukan adalah bagaimana agar kita bisa bersaing dengan bangsa lain tetapi tidak menghilangkan dasar-dasar etika yang sudah ada sejak dulu, dan jangan sampai kita bisa di adu domba oleh bangsa lain, dan jangan sampai simbol “berbeda-beda tetapi tetap satu” itu hilang karena pengaruh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Referensi:
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Utama.



    
 







1 comments:

  1. cara mengutip sesuatu dirapikan lagi deh. Saya belum menemukan centrail klaim kamu di artikel ini

    ReplyDelete