Saturday, February 22, 2014

Peace without justice is an illusion
-KH Abdurrahman wahid-

Wacana yang berjudul ”Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof Chader Alwasilah, secara umum membicarakan ihwal pentingnya pendidikan liberal sebagai cikal-bakal untuk menumbuhkan generasi plural, yakni generasi yang mampu toleran dalam dimensi kehidupan multikultural. Secara lateral, liberal memiliki arti bebas atau kebebasan. SKemudian secara implisit ditarik ke dalam arti pemikiran yang luas. Pemikiran yang luas tentunya berpengetahuan yang luas juga. Hidup pada zaman sekarang memerlukan pengetahuan yang luas agar kelak tidak ketinggalan zaman. Jadi, Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal mencakup pengetahuan etnis, agama, bahasa, adat-istiadat dan budaya. Siswa-siswa di berbagai daerah harus diberikan sistem pembelajaran yang memadai. Tidak boleh ada diskriminasi pendidikan atau dengan kata lain memarjinalkan kelompok minoritas. Jadi dalam hal ini, pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswa dari sikap rabun dan pemahaman provincial ( tidak komprehensif ) terhadap orang lain. Dalam konteks lain pendidikan liberal diartikan sebagai pembebasan dari sikap kasar, cabul, tidak sopan atau vulgarity.
Standar dalam pendidikan ini meliputi tiga aspek yaitu aspek kognitif ( intelektual ), aspek moral ( akhlak ) dan aspek emosi ( afektif ). Pendidikan liberal memberikan siswa keterampilan-ketrampilan tata bahasa, retorika, serta logika. Keterampilan ini selalu mendorong mereka untuk terus bahkan gemar belajar pada setiap kondisi apapun. Sehingga sangat mungkin bagi seseorang untuk menyimpulkan jalan keluar logis terhadap tiap-tiap problematika yang terjadi. Pendidikan liberal[1] ini bertujuan untuk membebaskan (maha)siswa dari kungkungan atau perbudakan yang timbul karena kebodohan, syak wasangka, dan kepicikan. Kebebasan seperti ini mensyaratkan mahasiswa memilik pandangan yang jembar atas berbagai temuan, prestasi dan kemampuan serta memiliki sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Jika ditilik kembali, wacana diatas bisa diklasifikasikan ke dalam dua fokus pembahasan yaitu Classroom Discourse, dan Religious Harmony.  Classroom Discourse membicarakan ihwal sistem pembelajaran yang ada di Amerika Serikat yang menerapkan sistem asrama, yang diwarnai dengan berbagai siswa yang berasal dari etnis dan agama yang berbeda-beda. Sistem pembelajaran di AS lebih memprioritaskan kepada Peer Interaction, yakni menjaga interaksi bersama,  meskipun mereka memiliki background, etnis atau agama yang berbeda. Jika dilihat dari sistem pendidikannya, pendidikan di sana nyaris sama seperti pendidikan pesantren ( asrama ) yang ada di Indonesia, yakni antara siswa laki-laki dan siswa perempuan dipisah. Hanya saja sistem asrama di AS menghimpun semua siswa dari berbagai kalangan, yakni berbagai etnis dan agama yang berbeda-beda. Sedangkan di Indonesia, hanya menerapkan sistem asrama yang terfokus pada satu agama meskipun memiliki perbedaan rasa tau etnis. Di asrama AS, mereka disatu-tempatkan, yang laki-laki dengan laki-laki dan yang perempuan dengan perempuan. Jadi, pesan pendidikannya yaitu disamping untuk membangun Peer Interaction antar sesama siswa, juga mengikat keharmonisan antar pemeluk beragama. Di Amerika menerapkan sistem pendidikan liberal ini sejak dini.
Ada beberapa karakteristik dari pendidkan liberal[2] ( Liberal Art College ) yang memiliki beberapa persamaan dengan asrama ( pesantren ) sebagai berikut :
·         Liberal Art College, merupakan cikal-bakal pendidikan tinggi di AS. Dalam konteks Indonesia, jauh-jauh hari sebelum penjajah datang, sistem pesantren sudah lama berkembang seiring dengan penyebaran agama Islam di Nusantara.
·         Ukuran kampusnya cenderung kecil dengan jumlah mahasiswa sekitar dua ribu orang.
·         Biasanya memberlakukan sistem berasrama ( residential ) untuk menanamkan konsep “community”. Konsep asrama kurang lebih sama dengan konsep pendidikan “Pesantren” yang merupakan bentuk pendidikan tertua di Indonesia dan telah berkembang jauh sebelum sistem pendidikan Eropa datang ke Indonesia.
·         Misinya mendidik mahasiswa sebagai manusia utuh dan menkankan pendidikan sbagai pendidikan, alih-alih sebagai persiaan untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagai perbandingan, di Pesantren tradisional tidak ada mata pelajaran vokasional, dan lulusannya pun tidak berhara mendapat pekerjaan setelah lulus.
·         Fokus diletakkan pada pengajaran, alih-alih pada penelitian. Mahasiswa dan dosen sering berkolaborasi dan saling belajar. Kolaborasi dan hidup berdampingan antara guru dan siswa, dan antara senior dan junior adalah ciri pendidikan pesantren di Indonesia. Di esantren un hamper tidak ada tradisi penelitian. Yang dominan adalah pengajaran, yakni kajian-kajian kitab kuning.
·         Mereka lazimnya mewajibkan mahasiswa mempelajari apa yang disebut the great books. Buku-buku ini lazim juga disebut dengan buku-buku klasik. Dalam pendidikan pesantren tradisional pun sudah lama dikenal tradisi mempertahankan kitab klasik, yakni apa yang lazim disebut kitab kuning.
Prof. Chaedar mengartikan “The great books” sebagai teks klasik yang memiliki nilai sejarah dan kebenaran yang tinggi, yang harus tetap dipelajari dan dijadikan sumber inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Terdapat beberapa kelemahan ihwal pendidikan liberal yang diterapkan di AS, seperti yang telah disebutkan Prof. Chaedar, bahwa terlalu tendensius terhadap teks klasik akan menutup pintu bagi pengetahuan terkini, selain itu terlalu memprioritaskan intelektual akan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya.
Pada fokus pembahasan yang lain, Religious Harmony membicarakan ihwal kerukunan antar umat beragama yang menurut Prof Chaedar Alwasilah hal tersebut harus dikembangkan di Sekolah sejak dini untuk menciptakan generasi yang berkarakter harmony-pluralis.  Tuntutan tersebut karena seiring banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia baik konflik antar etnis, maupun konflik antar umat beragama, seperti konflik sambas ( 1999 ) yang merupakan konflik antara etnis Melayu dengan etnis Madura, konflik ambon 1998 ( konflik antar umat beragama, yakni antara Kristen vs islam ), konflik antar suku di Papua ( 2013 ), konflik kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta ( 1998 ), konflik tanah bernuansa agama antar warga dengan pengusaha di Tanjung Priok Jakarta, dan lain-lain.
Secara umum penyebab terjadinya konflik adalah karena perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan dan juga perbedaan individu.
Kepribadian seseorang dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma-norma sosial yang sama. Apa yang dianggap baik oleh suatu masyarakat belum tentu sama dengan apa yang dianggap baik oleh masyarakat lainnya. Selain itu setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini dapat memicu terjadinya konflik sosial. Sedangkan perbedaan individu menyangkut perasaan, pendirian, pendapat atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggaan dan identitas seseorang tersebut. Perbedaan-perbedaan ini dapat menimbulkan kebencian dan amarah dan itu merupakan awal dari timbulnya konflik.
Menurut Choerul Mahfud, konflik-konflik yang terjadi disebabkan oleh kenyataan bangsa Indonesia yang multikultural ( Majemuk, Pluralis ). Kemajemukan masyarakat itu memberikan dampak secara positif. Namun, pada sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat. Hal senada juga dikemukakan oleh Ahmad Tafsir, bahwa keragaman budaya dapat menjadi keuntungan dan dapat pula menjadi kerugian.
Sedangkan penyebab krusial terjadinya konflik antar umat beragama mayoritas karena fanatik keagamaan. Fanatik berarti terlalu eksklusif sehingga mensakralkan apa yang diyakininya. Salah juga jika agama hanya diartikan sebagai ritual-teologis saja. Padahal essensi agama itu adalah sebagai jalan atau media untuk menuju ke arah harmoni, serasi dan ketentraman hidup. Agama harus menjadi payung bagi setiap pemeluknya. Orang yang beragama adalah orang yang tenang hidupnya karena agama melindungi mereka. Jadi pada hakikatnya ajaran agama adalah essensi ajaran sosial dan moral yang merupakan perwujudan dari pengaplikasian ajaran teologi-ritual seperti ungkapan Gusdur “Tidak penting apapun agama dan sukumu, jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain, mereka tidak pernah tanya apa agamamu”. Harusnya seperti itulah essensi ajaran agama.
Tetapi jika melihat semua keberagaman tersebut, di satu sisi kita merasa dipusingkan oleh keberagaman ras ( etnis ), namun di sisi lain kita juga dipusingkan oleh keberagaman agama. Kita tidak bisa memungkiri bahwa di nusantara ini kita ( Islam ) hidup berdampingan dengan  agama-agama lain seperti Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu. Warisan primordial ini bukan untuk disesali, apalagi ditafsirkan sebagai sirkuit balapan bagi agama-agama untuk beradu ketangkasan. Warisan sejarah ini syogyanya diyakini sebagai kekayaan atau asset bangsa bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragam ( multikultural ). Secara psikologis kekayaan religious ini, harusnya dapat menumbuhkan tenggang rasa dan sikap toleransi antar sesama pemeluk agama.
Masih sangat hangat diingatan, ketika Alm. KH Abdurrahman Wahid ( Gusdur ) menjabat sebagai presiden ke-4 menggantikan BJ habibie. Gusdur sering dikenal dengan bapak kemanusiaan. Gagasan-gagasan gusdur yang terkenal adalah konsep pluralisme, toleransi, demokrasi, hak asasi manusia ( HAM ), dan tema-tema kemanusiaan lainnya. Beliau merangkul seluruh agama yang ada di Indonesia tanpa membeda-bedakan dan mengunggulkan agamanya sendiri. Beliau menghargai inovasi-inovasi dan kreatifitas kebudayaan yang beragam. Beliau menyambangi gereja kristen untuk melakukan dialog teologi dengan penuh toleran dan rasa hormat, beliau memberikan hak hidup kepada agama konghucu, beliau juga mendatangi agama hindu dan budha dengan penuh rasa kasih sayang dan tenggang rasa. Beliau mempersilahkan mereka untuk beribadah menurut kepercayan mereka masing-masing. Ketika rumah-rumah dan masjid-masjid ahmadiyah diserang dan diteror oleh kelompok islam militan-fundamental, gusdur melindungi mereka dengan alasan hak beragama, ketika gusdur melakukan tindakan kontroversial yakni mencabut Tap MPRS XXV tahun 1996, gusdur dituduh sebagai orang yang hendak menghidupkan komunisme yang ateis, padahal realitanya gusdur menjalankan hak-hak asasi kemanusiaan[3], dan masih banyak lagi contoh lain mengenai tindakan toleransi gusdur. Essensi Gusdur dalam menjalankan semua misi tersebut adalah untuk membangun solidaritas bangsa, menjadikan bangsa yang toleran meskipun berbeda seragam ( etnis, ras dan agama ). Karena dengan kukuhnya persatuan bangsa, dengan saling berbaurnya masyarakat lintas dimensi etnis-agama, NKRI akan tetap tegak bertahan di atas pondasi Pancasila dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika yang merupakan warisan primordial bangsa.  
Namun realitanya nilai-nilai semboyan tersebut semakin pudar. Hilangnya nilai luhur tersebut karena sejak dini ( Usia SD ) semboyan itu tidak lagi  dicontohkan oleh pendidik kepada para siswanya. Pendidik hanya sekedar mengajarkan teorinya saja tanpa mengaplikasikan nilai-nilainya. Seharusnya semboyan tersebut harus diperkenalkan se-dini mungkin ( usia SD ), mengingat  pada usia tersebut siswa-siswa sedang nyaman-nyamannya menjalankan proses interaksi dengan teman sebayanya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu merupakan hubungan dimana sesama rekan bisa saling menghormati, saling berbagi dan bersikap sopan santun terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam pembangunan nasional ( Rubin : 2009 ).
Jelasnya, Prof Chaedar dalam wacana ini menginginkan terlaksananya penerapan toleransi atau kerukunan antar umat beragama di sekolah sejak usia dini. Dengan mewujudkan pendidikan liberal seperti yang diterapkan di AS, diharapkan peer interaction atau interaksi antar teman sebaya akan semakin kuat, semakin saling bisa mengikat sisi emosional satu sama lain, sehingga konflik-konflik antar etnis atau umat beragama sedikit demi sedikit mampu terselesaikan. Namun realitanya hal ini sangat sulit untuk dilakukan, terlebih jika dipaksa-terapkan pada siswa SD yang merupakan cikal-bakal generasi plural,  mengingat perkembangan akal siswa SD belum matang baik secara mental, sosial maupun spiritual. Di samping itu, pendidikan multikultural yang berorientasi kepada agama tidak pernah terselenggarakan di Indonesia, sehinga wajar saja jika peer interaction antar siswa tidak pernah terjalin. Jika diterapkan juga antar-pemeluk beragama merasa sungkan atau bahkan enggan untuk berpartisipasi dalam sekolah tersebut. Lagi-lagi faktor klasik yang menjadi alasan semua itu,. Ya…. Permasalahan tersebut adalah permaslahan perspektif atau paradigma yang terlalu terbelenggu dengan kefanatikan-teologi. Mereka terlalu terkesan eksklusif sehingga mensakralkan apa yang diyakininya. Jika peer interaction tidak terbangun, maka keharmonisan atau kerukunan antar umat beragama tidak akan terbangun pula.
Jika kasusnya seperti itu, maka dialog antar-pemeluk beragama dengan pikiran yang jernih dan sikap saling toleran perlu dilakukan. Dan dialog akan berhasil jika para pelaku dialog memiliki kapasitas keilmuan yang setingkat. Selain itu, pelaku dialog syogyanya menggunakan bahasa yang sederhana agar dimengerti oleh pemeluk agama lain. Pelaku dialog sejauh mungkin menjauhi idom-idiom keagamaan yang terlampau teknis. Dialog yang terlalu banyak dipoles oleh bahasa asing misalnya, mungkin akan menimbulkan sikap apriori terhadap pelaku dan materi dialog. Di sinilah pentingnya penguasaan bahasa nasional yang baku dan perlunya kemampuan menerjemahkan bahasa istilah keagamaan ( dalam bahasa asing ) ke dalam bahasa nasional oleh setiap peserta dialog agama. Kemudian dialog juga harus dilakukan dalam forum yang netral. Artinya dialog agama tidak dilakukan dalam rumah agama tertentu karena hal tersebut akan mengundang keengganan bagi pemeluk agama untuk menghadirinya. Terakhir, dialog dilakukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat keseluruhan dalam menangani isu-isu sosial yang terasa melekat dalam keseharian. Adalah tugas para tokoh dan pemuka agama untuk senantiasa sensitif terhadap persoalan sosial dan mengajukan berbagai alternatif pemecahan. Khotbah, dakwah, fatwa, nasehat, kesepakatan, doa bersama dan sebagainya yang disampaikan para pemuka merupakan bentuk dialog. Jadi dialog agama dalam konteks era reformasi sekarang, mestinya tidak ditafsirkan hanya sebagai interaksi verbal secara fisik berhadapan dalam forum terbatas[4].
Dengan diadakannya dialog seperti ini,diharapkan akan mampu untuk menetralkan sikap dan pandangan, bahkan kefanatikan ideologi akan cepat pudar dan diganti dengan sikap toleran dan kepedulian yang besar antar sesama. Dengan terealisasinya hal itu, insyaallah bangsa Indonesia yang multikultural ini bisa hidup berdampingan dengan nyaman dan tentram tanpa adanya konflik.
Sementara itu, berdasarkan tulisan dari Cholis Muchlis,  upaya lain untuk meredam konflik adalah dengan menerapkan pendidikan multikultural yakni pendidikan yang berasaskan keberagaman budaya yang meliputi etnis, ras, budaya, bahasa dan agama. Pendidikan multikultural ini berbeda dengan pendidikan liberal yang hanya berorientasi pada aktifitas intelektual.
Pendidikan multikultural diformalisasi menjadi sebuah kebijakan karena fakta Indonesia yang pluralis ( majemuk ) ditambah dengan berbagai konflik yang sering terjadi antar kelompok masayarakat. Faktor kepluralisan ini dikarenakan tersusunnya bangsa Indonesia dari keanekaragaman suku ( etnis ), ras, agama, adat istiadat, bahasa, budaya dan lain-lain. Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan multikultural diperkenalkan dengan tujuan untuk meredam konflik sekaligus mendatangkan sisi maslahat dari keragaman budaya tersebut. Pendidikan multikultural ini diarahkan untuk mengembangkan sikap menghargai budaya, dan diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan ekspresi budayanya secara nyaman dan harmonis tanpa implikasi konflik[5].
Pasalnya, hampir semua permulaan dari pendidikan multikultural ini diwarnai dengan terjadinya  konflik yang bersumber dari keberagaman budaya. Keberagaman budaya ini akan terus menerus tersuplai seiring dengan kepluralan Indonesia.  Lingkungan pendidikan di sini dirancang untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima akan perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis , saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ini merupakan tujuan ideal dan krusial dari pendidikan multikultural. Ya,,,fenomena konflik diatas merupakan alas an atau latar belakang empirik yang memunculkan gagasan perlunya pendidikan multikultural.
Bagi kita bangsa Indonesia, sebenarnya Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” bukanlah hal yang baru. Sejarah semboyan tersebut sudah ada sejak dahulu kala, sejak bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya, bahkan sebelum merdeka pun bangsa Indonesia sudah terkenal dengan keberagamannya ( label multikultural ). Dalam pancasila pun label  multikultural ini disinggung yakni pada sila ke-3 yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Nilai substansial yang terkandung dalam sila ke-3 tersebut adalah tercapainya integritas masyarakat multikultural, atau bersatunya  dalam keberagaman.
Jadi seharusnya kita tahu akan peran, eksistensi atau kedudukan bangsa kita ini. Kita harus menyadari bahwa Konflik hanya akan mencederai sistem integritas bangsa. Jika hal tersebut dibiarkan berlarut, bisa jadi hal ini akan dimanfaatkan oleh bangsa lain untuk kembali menjajah bangsa kita yang tercinta ini. Oleh karena itu, marilah kita lestarikan nilai luhur bangsa yang ada dalam pundak Bhineka Tunggal Ika ini, dengan cara mengikat toleransi dan rasa kepedulian dengan saudara-saudara kita baik antar etnis-agama maupun intra etnis-agama. Masyarakat yang ada di Indonesia ini adalah saudara kita semua. Tidak boleh ada sikap diskriminasi terhadap etnis atau agama yang lain. Untuk apa tuhan menciptakan manusia jika realitanya ia harus dimarjinalkan, dikucilkan. Interpretasinya, Manusia di mata tuhannya sama, yakni sama-sama mempunyai hak untuk berkehidupan bebas sesuai yang mereka harapkan. Jadi, keberagaman adalah asset bangsa Indonesia yang harus dipertahankan eksistensinya.
 




[1]  Chaedar Alwasilah. Tujuan Pendidikan Liberal. Pokoknya Rekayasa Literasi ( 2012 ). Hlm 198
[2]  Chaedar Alwasilah. Karakteristik Pendidikan Liberal,  Pokoknya Rekayasa Literasi ( 2012 ). Hlm 197
[3] Husein Muhammad. Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gusdur. Hlm 8
[4] Chaedar Alwasilah. Politik Bahasa Dan Pendidikan ( 2004 ). Hlm 55

1 comments:

  1. generic structurenya ko ga sesuai dengan silabus? definisi classroom discourse kenapa ga diperdalam? dan religious harmony teh parameter dasarnya apa ajah?

    ReplyDelete