Saturday, February 22, 2014

Critical Review
Toleransi Dalam Sistem Pendidikan Multikultural

Menanggapi bacaan bapak chaedar alwasilah yang berjudul “classroom discourse to foster religious harmony” halaman 217-219 dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi”. Pada hakikatnya merujuk kepada kerukunan system pendidikan yang berbeda agama atau melihat dari sudut pandang social untuk menciptakan kerukunan beragama. Agar tidak terjadi konfik antar umat beragama. Apa yang telah di bahas dari halaman 217-219 adalah fenomena atau hiruk pikuk yang terjadi secara realita di kehidupan masyarakat sekarang ini mengenai konflik social antar agama dan penerapan sistem pendidikan pada anak Sekolah Dasar.
Islam memberikan kebebasan pada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan oleh ALLAH secara bertanggung jawab. Lalu apa yang salah dalam proses pendidikan kita dalam kerukunan beragama? Sekali lagi “proses” pendidikan bukan hanya satu agama tapi antar semua umat beragama. Bukanlah semua agama adalah mengajarkan kita pada kebenaran dan keyakinan masing-masing? lalu, mengapa sampai terjadinya konflik?
Sebenarnya untuk saling toleransi antar umat beragama telah diterapkan pada zaman dahulu dimana semua agama pasti mengajarkan umatnya dengan benar seperti: tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh mabuk, tidak boleh membunuh dan lain sebagainya. Semua agama adalah mengajarkan umatnya dengan benar. Begitupun dengan agama islam. Islam menghargai dan menghormati manusia sebagai hamba Allah, baik mereka muslim maupun non muslim.
Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat beragama, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri. Pernyataan tersebut di dukung oleh suatu kejadian-kejadian di berbagai daerah mengenai konflik antar agama, ras, budaya, etnik dan lain-lain. Seperti yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010) dan lain sebagainya. Kata kunci yang perlu dibahas pada critical review ini adalah “Agama dan Pendidikan”
Mengapa saya simpulkan masalah ini adalah Agama dan Pendidikan? Agama merupakan pedoman hidup bagi manusia untuk memenuhi kehidupan akhirat dan akhlaqnya sedangkan pendidikan adalah memenuhi kehidupan duniawi dengan bermasyarakat social untuk dapat berinteraksi satu sama lain. Kedua hal ini harus menyatu sehingga tidak terjadi berbagai konflik baik konflik antar agama, ras, budaya, etnik dan lain sebagainya.
Agama
Terdapatnya banyak agama dan budaya yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Oleh sebab itu perbedaan antar pendapat bukan hal factor untuk memicu kerusuhan melainkan harus menjadi persatuan untuk bangsa ini. Bukankah orang tua telah mengajarkan anaknya untuk saling bertoleransi dari mulai hal kecil di dididk seperti: bertoleransi kepada kedua orang tua, keluarga, sampai lingkungan sosial. Lalu, jika masalah sosial terus terjadi seperti tawuran antar pelajar, bentrokan pemuda, dan sebagainya. Siapa yang harus disalahkan? Apakah kurangnya orang tua yang mengenalkan anaknya untuk   pendekatan system kerukunan antar umat beragama? Atau system pendidikan kita dalam kerukunan antar beragama yang salah?
Lalu bagaimana tanggapan anda mengenai kasus konflik antar etnis seperti: Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010) dan lain sebagainya. Menurut saya konflik ini bukan hal yansepele dan tidak memakan korban dan bahkan menurut saya konflik ini lebih parah dibandingkan dengan kasusu korupsi. Korupsi kasus penyelesaiannya hanya dengan hokum bersalah atau tidak? Dengan menunjukan bukti-buktinya. Sedangkan kasus antar etnis di atas tidak ada  apa-apanya jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang sampai milyaran rupiah. Kasusu ini sangat berat. Menyelesaikannya juga selain dengan hukum juga mencakup agama, budaya, etnis dan lain-lain. Kasus antar etnis yang telah terjadi di tahun-tahun yang lalau, merupakan tanggung jawab semua umat untuk saling bertoleransi antar agama. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan terjadi perbedaan atau salah presepsi.
Masalah ini dapat berpengarauh buruk terhadap citra Indonesianya sendiri. Apalagi Indonesia termasuk kedalam Negara yang berkembang. Jika masalahnya tetap seperti itu, bagaimana Indonesia akan menjadi Negara yang maju? Padahal Indonesia adalah negara yang banyak memiliki potensi dari segi agama, budaya, bahasa, suku, etnis, ras, dan lain sebagainya. Bukankah keragaman tersebut menjadi aset bangsa yang harus dikelolah agar menjadi manfaat?
Di Indonesia kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang demokratis. Selain pancasila yang menjadi dasar negara kita dengan system yang demokratis. Negara kita juga di dukung dengan adanya semboyan yaitu : Bhineka Tunggal Ika” Berbeda-beda namun tetap satu jua. Jika konflik antaretnis di atas terus berkelanjutan maka untuk apa Negara Indonesia mempunyai dasar pancasilan dan semboyannya?
Menurut pemikiran saya, jelas sekali bahwa Indonesia sebutlnya mampu mengatasi permasalahan tersebut dengan Idiologi yang di terapkan di system Negara kita yaitu Ideologi Pancasila yaitu dengan system demokrasi yang mengatakan bahwa dari Rakyat oleh rakyat dan untuk rakya. Kata kunci dari pernyataan tersebut adalah “Rakyat” bukan hanya rakyat dalam artian satu agama saja tetapi seluruh umat beragama yang ada di Indonesia baik Islam, Krtisten, Hindu, Budha dan Konghucu. Diterapkan dari praktek, Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi. Oleh sebab itu banyak oknum-oknum yang terpengaruh dengan system perbedaan tersebut sehingga dapat timbul konflik antar etnis.
Menurut saya, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. Karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terus-menerus, tidak boleh berhenti.
Prediksi, permasalahan antar kerukunan umat beragama Karena mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi karena tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka yang mengarah pada terbentuknya penilaian negative.
Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik. 
Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antar agama sering kali, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian.
Dari berbagai kasus diatas disebabkan karena adanya factor factor yang mempengaruhi terjadinya antaretis adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance). Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Sikap toleransi ini jika selalu diterapkan sangat mudah dan dapat menjadi kegiatan rutinitas antaretnis.sehingga terciptanya agama yang rukun, damai dan harmonis.
2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.
Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antar agama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya. Seperti pendidikan juga termasuk didalamnya adalah rekayasa politik dari berbagai politisi dan birokrat yang telah datang ke kuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperolehnya  (Chaedar 2012).
3. Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan.
 Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan. Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai.
Dalam waktu-waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional. Ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.

Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antar penganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Pendidikan
Pernyataan: untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Dari pernyataan di atas jika anak sekolah dasar harus dikembangkan kerukunan beragama agar dapat menghormati agama lain sangat berpengaruh besar ke depannya untuk membentuk suatu karakter. Oleh sebab itu yang menjadi sasaran dalam wacana tersebut adalah anak usia Sekolah Dasar. Mengapa? Sebab cikal bakal dari suatu Negara adalah tertanamnya jiwa toleransi antar umat beragama sejak kecil dan dapat mengerti inilah keanekaragaman agama dan budaya di Indonesia.
Data yang telah diberikan dari Ariliaswati (2011) dalam penelitiannya di Sekolah Dasar tentang wacana sipil. Dengan wacana sipil tersebut siswa dapat berineraksi satu sama lain baik kelompok maupun individu, mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari satu masyarakat yang demokratis.
Menurut saya sistem wacana sipil memang baik untuk siswa  sekolah dasar dalam aspek pengetahuannya tapi dalam aspek keterampilan belum tentu baik, sebab siswa sekolah dasar yang notabe usiannya sekitar 6/7 tahun untuk kelas 1 SD pemikirannya belum mampu untuk menerapkan sistem wacana sipil, sebab anak sekolah dasar adalah masa anak belajar dan sekaligus diiringi dengan keterampilan dan bakatnya masing-masing oleh sebab itu penerapan wacana sipil yang sangat konsisten menurut saya dapat bentrok dengan keterapilan tradisional dan budayanya. Alangkah lebih baik jika wacana sipil dapat diterapkan disekolah dasar namun perbandingannya harus seimbang dengan keterampilan tradisional sehingga siswa mampu menyerap ilmu dan keterampilan yang di dapatnya. Salah satu bukti dari adanya system ini adalah di Negara singapura yang jumlah penduduknya hanya 4.353.893 juta jiwa atau krang lebih 5 juta jiwa, terdiri dari Cina, Melayu, India, berbagai keturunan Asia. Negara tersebut mampu menerapkan system sekolah dasar dengan Fullday atas izin negaranya, awalnya memang di tentang dari berbagai kalangan sebab sitem yang diajarkan adalah bukan bahasa sendiri akan tetapi menggunakan Bahasa Arab. Semua yang diajarkan sekolah full day tersebut menggunkan Bahasa Arab meskipun orang singapura mayoritas tidak beragama Islam. Disitulah terjadinya toleransi kerukunan bagi umat beragama yang sangat peka terhadap bahasa dan dapat dipadukan pada poin Agama tentang konflik antaretnis.
Dengan dibuktikannya banyak prestasi yang telah diraih dan respon dari beberapa negara lain sangat antusias siswa-siswi dididik setiap harinya dengan menggunakan Bahasa Arab. Sehingga sekolah tersebut menjadi sekolah unggulan di singapura. Respon baik dari berbagai pihak sehingga kualitas dari sekolah berbasis pengajaran Bahasa Arabpun sekarang banyak diminati. Dapat di lihat realita di Indonesia mengenai pergantian kurikulum tahun 2013 yang menghapus system bilingual. Sebetulnya budaya dan wacana sipil kita terhalang karena disebabkan oleh orang-orang intelek yang selalu memberikan system tanpa mempertimbangkan kemajuan bangsa seperti apa? Bukan masalah kasihan atau tidak mengertinya anak Sekolah Dasar mempelajari bahasa Negara lain. Kalau Negara kita ingin maju mengapa orang berjabat tinggi tak Ingin Maju-Maju.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan di tengah masyarakat. Selain pendidikan yang harus terlaksana system pendidikanpun harus jelas, sesuai tujuan dan dapat tercapai semaksimal mungkin sebagai bekal praktek di masyarakat.
Dari beberapa fakta di atas kita dapat menyimpulkan bahwa untuk menghormati dan terciptanya kerukunan antar beragama tidak mesti kita mempelajari semua agama dan peraturan-peraturannya. Cukup kita saling mengetahui, mengormati antar umat beragama dan tidak perlu berfikiran bahwa agama sendiri yang paling benar. Pemikiran inilah yang dapat menyebabkan terjadinya konflik antaretnis.  Dapat juga diselesaikan melalui proses pendidikan secara sistematik dan komprehensif yang salah satunya menambhakan moralitas berbangsa termasuk moralitas kurtural.

  • Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung . PT Remaja Rosdakarya.
  • http/gadogadozaman.blogsport.com/2012/12/pendidikan-dan-konflik-sosial-di-sekolah-8.html.
  • http/blogsport.com/2011/10/kerkukunan-antar-umat-beragama.html
  • ·         Cholis Muchlis
  • ·         Mahfud, Choirul. 2011, ”pendidikan multikultural”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


















1 comments:

  1. Coba masukkan bumbu sejarah di artiekel kamu lalu petakan harmoni itu dalam perspektif islam dulu sebelum mengaitkannya dengan hal2 lain. mungkin akan lebih joss

    ReplyDelete