Tuesday, February 18, 2014


Melihat rapor merah literasi anak negeri seperti yang disampaikan oleh pak Chaidar Alwasilah lewat salah satu bab dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi” membuat siapa pun yang membaca pasti akan merasa miris. Dalam skor prestasi membaca saja siswa-siswi negeri ini hanya menampati urutan ke-5 dari bawah atau sedikit lebih tinggi daripada Qatar, Kuwait, dan Afrika Utara. Sedangkan untuk negara yang prestasi membaca literary purpose lebih rendah daripada informational purpose, Indonesia menempati urutan tertinggi. Seburuk itukah literasi di Indonesia?
Tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa negara lain. Artinya, pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan warga negara literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari negara lain. Ringkasnya, dalam skala internasional, literasi siswa kita belum kompetitif. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi soal apa itu litersi sebenarnya. Banyak orang yang tidak tahu apa itu literasi. Bahkan kalangan mahasiswa pun banyak yang tidak mengetahuinya. Saya sendiri sebagai penulis baru mengetahui apa itu literasi saat saya menginjak semester dua lalu, saat dosen saya memperkenalkan soal pak Chaedar dan artikelnya yang berjudul masarakat madani.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksudkan dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis. Sekarang literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Dalam bentukan kata yang lain transliterasi adalah menyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yangg satu ke abjad yang lain, yakni merubah bentuk tulisan ke bentuk tulisan yang lain yang semakna.
Terdapat banyak sekali faktor mengapa literasi tidak berkembang dengan baik di negeri kita ini. Itu terlihat  melalui berbagai variabel yang terkait dengan pendidikan literasi, yakni pendapatan nasional per kapita, pendidikan orang tua, fasilitas belajar, lama belajar di sekolah, human development index (HDI) dan sebagainya. Bahkan pemerintah pun sepertinya tidak tahu bahwa manusia literat merupakan SDM yang memiliki potensi untuk membangun bangsa, atau mungkin tidak ingin tahu karena semakin banyak anak negeri ini yang literat maka akan semakin kritis pemikiran mereka. Dan kekritisan itulah yang mungkin ditakuti oleh mereka, karena saat seorang itu kritis maka orang tersebut akan berani mengomentari kinerja mereka yang buruk. Padahal pendidikan literasi adalah investasi jangka panjang yang berfungsi transformatif, untuk meningkatkan HID dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik (Wagner, 1999 dan Barton, 2001 dalam Setiadi, 2010). Dengan kata lain, pendidikan literasi pasti mengubah pendapat dan pendapatan.
Sederet nama seperti Pramoedya, Hamka, Rendra, Ayip Rosidi, dan Goenawan Mohammad adalah kaum intelektual yang membumikan gagasannya dengan pena. Dengan kata lain, mereka adalah tokoh intelektual yang menjadi budayawan yang dapat menggerakkan masyarakat melalui budaya literasi. Menurut Suroso (Suroso, 2007:11), di Indonesia salah satu tantangan terbesar untuk mewujudkan bangsa yang berminat terhadap literasi adalah meninggalkan tradisi lisan (orality) untuk memasuki tradisi baca tulis (literacy).
Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA),  mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua terbawah. Perbandingannya dengan saat ini barangkali tidak berbeda jauh jika melihat indikator yang ada. Suatu tingkat literasi yang sangat ironis bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban.
Martha C. Pennington (1996:186) mengatakan bahwa, secara fakta dokumen tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu sendiri, karena bahasa tulisan mudah dipelihara dari generasi sesuatu ke generasi berikutnya.  Menggunakan bahasa tertulis dirasa lebih leluasa daripada bahasa lisan karena si penulis bebas dari kendala waktu dan kehadiran lawan komunikasinya, sehingga karya tulis merupakan cerminan dari taraf pengetahuan dan kemampuan bahasa penulisnya, karena karya tulis dihasilkan telah melewati proses pemikiran, perencanaan, dan pemantauan yang memadai (Tri Wahyu R.N:2008). Karena itu Penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi.
Dari sedikit fakta diatas, tampak jelas bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Orang seperti itulah yang harus bangsa kita ini miliki agar negeri kita ini mampu bersaing dengan sejawatnya dari negara lain. Pemerintah seharusnya cepat-cepat berbenah, dengan melakukan rekonstruksi atau bahkan evolusi dalam bidang pendidikan literasi ini. Pendidikan literasi bisa dibilang cukup tabu. Jangankan siswa mungkin guru pun banyak yang tidak tau soal literasi. Sebagian besar dari mereka pasti tahu soal baca tulis tapi untuk litersinya sendiri bisa ditebak mungkin tidak lebih dari 50% yang tahu banyak soal literasi. Bila dibiarkan ingin jadi apa bangsa kita nantinya.
Pemerintah seharusnya melakukan upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal Seperti halnya mobil,  keadaan negara kita saat ini dalam bidang litersi layaknya mobil rusak atau mobil pasca kecelakaan yang bila dibiarkan akan terlihat buruk. Cara jitu memperbaikinya atau membuatnya kembali seperti semula adalah dengan melakukan ketok magic. Begitupun dalam literasi agar bangsa kita ini menjadi literat maka kita harus melakukan ketok magic literasi . atau pak Chaedar menyebutnya sebagai rekayasa literasi.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal, adalah situs pertama untuk membangun literasi yang pada umumnya disokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana publik, dan dengan demikian mudah diintervensi oleh berbagai kebijakan, inovasi, dan program uji coba pemertintah. Setelah itu keluarga dan lingkungan masyarakat yang berkontribusi dalam peningkatan literasi. Hanya saja keduanya lebih cenderung untuk diintervensi oleh pemerintah, dan malah menjadi ranah inisiatif individu dan masyarakat.
Perbaikan rekayasa litersai senantiasa menyangkut emapt dimensi, yaitu (1) Linguistik atau fokus teks, (2) Kognitif atau fokus minda, (3) Sosiokultural atau fokus kelompok, (4) Perkembangan atau fokus pertumbuhan.Dengan demikian, rekayasa lierasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi. Pengajaran menulis dan membaca harus ditempatkan dalam keempat dimensi yang saling terkait. Pengajaran bahasa (language arts) yang baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif, dan terintegrasi. Dia menggunakan bahasa secara efektif dan efisien.
Sukses tidaknya rekayasa litersi tergantuk pada paradigma soal literasi itu sendiri. Sejak dari sekolah dasar pendidikan berbahasa hanya terfokus pada empat keterampilan pokok yakni, membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Mereka tidak diperkenalkan pada literasi dan menganggap itu terlalu sulit bagi siswa. Padahal dengan memperkenalkannya sejak dini akan menanamkan poin-poin penting pada generasi muda, terutama soal menjadi manusia yang berbudaya.
Sementara itu, kurikulum yang berkembang di negara ini pun yang membuat literasi tidak berkembang dengan baik. Para siswa hanya dituntuk untuk cenderung fokus pada ketepatan (correctness). Itu terlihat dari bentuk soal yang diujikan, yang biasanya berupa pilihan ganda dan bukan esai. Dan baru memperkenalkan esai saat para siswa menginjakan diri di bangku kuliah. Meskipun terlambat tapi itu jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Meluruskan rekayasa literasi seyogianya diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigma pengajaran literasi. Dalam garis besarnya ada tiga paradigma pembelajaran literasi. Pertama, adalah paradigma decoding  yang menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa. Kedua, paradigma keterampilan atau sebuah paradigma yang menganggap bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Sedangkan yang terakhir adalah paradigma bahasa secara utuh, dilihat dari namanya saja, paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakan fokus pada bagian atau serpihan bahasa. Karena belajar literasi itu sebenarnya berlangsung seperti bayi belajar bahasa ujaran dari sekitar atau berlangsung secara induktif. Konteks sekitar bayi selalu alami, padat makna , dan kaya dengan peristiwa bahasa.
Paradigma yang baik adalah saat paradigma tersebut memandang bahwa mengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis, dan mengubah hipotesis terus-menerus adalah suatu hal yang baik, sebab dengan sendirinya siswa akan menemukan keterampilan bahasanya. Bicara soal merubah paradigma mungkin terdengar mudah, namun pada prakteknya itu sangatlah sulit. Saat kita ingin mengubah paradigma maka kita juga akan mendapat sejumlah konsekuensi sampai ke metode dan teknik pengajaran  yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur.  Misalnya, dengan perubahan orientasi dari hasil ke proses.
Melihat semua persoalan diatas, kunci utama dari semuanya adalah dengan melakukan perubahan paradigma. Perubahan paradigma itu sendiri adalah transformasi intelektual, sebuah transformasi yang muncul akibat tuntutan zaman. Saat  suatu bangsa tidak bisa melakukan perubahan maka bangsa tersebut akan jauh tertinggal.  Bila suatu bangsa tetinggal maka bangsa tersebut akan hancur. Bangsa yang hancur hanya akan menjadi sampah dikemudian hari, dan tidak jauh berbeda seperti halnya mobil rusak. Oleh karena itu sudah tidak bisa ditawar lagi, rekayasa litersi harus diperdayakan secepat mungkin, agar bangsa kita yang kini layaknya mobil mogok bisa kembali jalan dan maju dan mampu menghadapi tantangan dunia.

0 comments:

Post a Comment