Saturday, February 22, 2014



JudulL  : Bukan Provokasi Omong Kosong…..

Setelah membaca artikel dari A. Chaedar Alwasilah: (bukan) bangsa penulis, powerful writers versus the helpless reader, dan juga CW Watson (learning and teaching process: more about readers and writers). Kata-kata yang mereka sajikan sungguh membuat saya takjub sekaligus takut akan fakta yang telah berhasil mereka kuak. Mereka tahu betul bagaimana watak/karakter yang dimiliki oleh bangsa ini. Ibarat kendaraan bermotor yang akan jalan setelah diisi bensin, ya, itulah kita, masyarakat yang akan sadar ketika sudah ada yang membuat provokasi.
Dari ke 3 artikel tersebut hampir sama menguak tentang satu kata yang kita anggap biasa tapi dalam kenyataannya sangat besar pengaruhnya untuk indonesia, yaitu writing (menulis; dalam bahasa indonesia).
Sebelumnya saya akan menambahkan, poin diparagraf pertama pada arikel (bukan) bangsa penulis. Isi surat tertanggal 27 Januari 2012 yang ditandatangani Direktur Jenderal Dirjen Dikti Kemdikbud itu mengabarkan informasi yang amat penting perihal publikasi karya ilmiah. Bukan sekedar untuk dibaca, tapi harus ditindaklanjuti para rektor/ketua/direktur PTN/PTS di Indonesia.  

Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi Dikti. Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional. 
Mari simak secara cermat pernyataan di bagian pembuka surat, “Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh”. Innalillahi wainna ilaihi rojiun,  jadi itu ternyata hal utama dibalik munculnya surat edaran dari Dirjen Dikti. Hmmm……
Tidak heran jika prof. Adeng Chaedar Alwasilah sebagai salah satu putra kebanggaan negeri ini menyoroti secara tajam tentang apa yang sedang terjadi di dunia pendidikan Indonesia kini. Saya tertarik satu paragraf di artikel (bukan) bangsa penulis karya prof. chaedar
Sebagai bahan perbandingan, semua perkuliahan diperguruan tinggi di AS memaksa banyak mahasiswa banyak menulis esai seperti laporan observasi, ringkasan bab, reviu buku, dan sebagainya. Tugas-tugas itu selalu dikembalikan dengan komentar kritis dari dosen, sehingga nalar dan argumen tulisan mahasiswa betul-betul terasah. Karen itu, tidak ada keharusan menulis tesis, skripsi, apalagi artikel jurnal.
Inilah yang saya bilang di awal, tulisan prof. chaedar benar-benar menguak rahasia dunia pendidikan AS di depan publik indonesia. Jika di perguruan tinggi Indonesia diterapkan sistem seperti ini, diakhir perkuliahan kita tidak akan bersusah payah dengan mengeluarkan banyak tenaga, pikiran, dan waktu untuk membuat skripsi, tesis, dan yang lainnya.   
Di artikel (bukan) bangsa penulis juga terdapat perbandingan antara rendahnya jumlah karya ilmiah di Indonesia dengan jumlah karya ilmiah di  malaysia. sah-sah saja jika ingin membandingkan, hal ini akan sebagai ajang provokasi untuk mendorong kita lebih baik lagi. Tapi, ujung-ujungnya hati kita yang akan miris, karena mengetahui fakta kalau kita masih menjadi negara yang tertinggal.
Tidak kalah canggihnya provokasi yang dibuat 14:09 oleh Prof. Chaedar Alwasilah di Jakarta Post sabtu 14 januari 2012 .
Newly returned PhD holders from overseas often use their favorite texbooks that’s are too advanced for undergraduate students, thus treating it as if they were doctoral candidates already. The students are then overwhelmed with the materials beyond their zone of cognitive proximity and comfort.
sekedar sharing, kita juga pernah diampu oleh dosen dengan gelar PhD, dan dbeliau tidak banyak membantu kita untuk meningkatkan kualitas mata kuliah tersebut, jadi provokasi yang dibuat Prof. Chaedar itu bukan sembarang omongan kosong.
Aku sangat takut dicap sebagai “lulusan yang tidak berkualitas”, oleh sebab itu kita butuhkan sekarang dosen yang benar-benar berkualitas agar dapat membantu kita menjadi lulusan yang berkualitas, menurut saya dari background mana saja kita tidak mempermaslahkan yang terpenting ilmunya bukan gelarnya.
Ada bahaya lain menggunakan buku teks impor. Mahasiswa kami , yang saat ini jumlahnya lebih dari 2,6 juta, dicuci otaknya bahwa bahasa nasional kita tidak cukup canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi . Banyak intelektual tidak menyadari bahwa sejumlah besar ini sebenarnya captive market untuk buku teks diproduksi sendiri .
Tapi kita tidak munafik, dan kita juga harus mengakui kalau bahasa nasional kita tidak cukup canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi kita harus optimis, entah kapan tapi keyakinan harus selalu ada kalau bahasa kita akan menjadi bahasa ilmu pengetahuan seiring dengan manusianya yang akan berpengetahuan. Tidak ada salahnya kita membaca buku dengan bahasa asing, untuk lebih mendekatkan kita menjadi manusia yang berpengetahuan. untuk captive market sendiri sudah muncakup hampir semua aspek dari pertanian, kerajinan, perkebunan, pertambangan, dan lain-lain. Jadi sudah tidah heran dan aneh lagi untuk dibicarakan.
Prof. Chaedar juga berpendapat kalau sudah saatnya kaum intelektual kita untuk bangga dengan bahasa nasional kita dengan menulis buku teks dalam bahasa Indonesia . Pendidikan K - 12 harus mempromosikan koneksi membaca - menulis produktif untuk mengembangkan penulis muda yang akan menjadi penulis dewasa dan kemudian, pada saat penyelesaian studi lanjutan mereka, penulis intelektual .
Setiap orang Indonesia jika ditanya “apakah Anda bangga dengan bahasa Indonesia?” aku sangat yakin tanpa adanya sedikitpun keraguan kalau jawaban mereka pasti saangat bangga. Tetapi yang patut dipelajari lebih dalam adalah apakah hanya sekedar bangga?....kita harus membuatnya lebih dari sekedar bangga, itulah jawabannya.
Saya sangat setuju dengan comment yang disampaikan 11:55 Oleh CW Watson di Jakarta Post sabtu11 Februari 2012.
“We all share the responsibility for raising the quality of critical thinking in the country.”
CW Watson juga harus mengakui kehebatan trik yang dibuat oleh Prof. Chaedar dalam menguak rahasia pendidikan diluar negeri dengan yang ada di Indonesia. “Untuk orang seperti saya datang dari sistem universitas Inggris , ini adalah kejutan karena dalam departemen bahasa asing di universitas-universitas Inggris tujuannya adalah untuk mengajar siswa penguasaan bahasa asing sehingga mereka dapat berbicara , mendengarkan dan memahami dan membaca dan menulis dengan lancar , dan di mana mereka didorong untuk membaca sebanyak mungkin.
Hal ini tampaknya tidak menjadi kasus di Jurusan Bahasa Inggris di IKIP mana tujuan tampaknya untuk menyampaikan kepada siswa teori dan pengetahuan yang telah diperoleh para dosen ketika mereka mendapatkan PhD mereka di luar negeri. Harusnya CW Watson juga tahu kalau hal itu terjadi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon juga. Dan sekali lagi provokasi yang dibuat Prof. Chedar bukan omong kosong.
Alangkah indahnya negeri ini jika semua yang kita lakukan bukan provokasi omong kosong. Karena bukan)  provokasi omong kosong akan lebih jitu membakar semangat setiap mereka yang bernyawa, daripada provokasi omong kosong yang lebih mencerminkan bangsa kita yang sudah dicap sebagai (bukan) bangsa penulis. Menulis memang tidaklah mudah, tapi tidak ada salahnya kalau terus mencoba.
“Percayalah kalau keajaiban adalah nama lain dari kerja keras”  (to the beautiful you)












0 comments:

Post a Comment