Wednesday, February 19, 2014



Di ujung abad ke-20, di pangkal abad ke-21, kita berangkat dari peradaabn pradigital (konvensional) menuju ke peradaban diital (virtual). Dalam pergeseran itu, kegiatan membaca dan menulis juga berbicara, menyimak dan menonton belangsung secara serentak dan interaktif, berbatas sandek, mengisi dan mengomentarri status dalam jejaring social, menyimak buku audio, dan sebagainya. Kita membaca sekaligus menulis.
Sumber-sumber bacaan kian banyak dan terbuka untuk diakses, menggelontor tiada henti menggenangi masyarakat pembaca. Untuk mendapatkan informasi mengenai satu hal kita tidak lagi dibatasi oleh lembaran Koran dan majalah yang diselundupkan ke bawah  pintu ruang tamu. Sekarang kita leluasa berselancar di jagat virtual yang menyesiakan jejaring tak berujung. Sejumlah media konvensional bahkan beralih sepenuhnya ke media virtual. Fasilitas yang membuka akses ke jagat virtual juga sudah tersedia di berbagai perpustakaan di seluruh dunia.
Sehubungan dengan gejala-gejala demikian yang disebut oleh Edward Said sebagai “democratic field of cyberspace” yang padadasarnya tidak bisa dikerangkeng oleh tiran atau ortodoks manapun.
Menindak lanjuti kutipan tersebut para ahli lazim mengklasifikasikan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan (approach), khususnya terhadap ajaran bahasa asing ke dalam lima kelompok besar yaitu, sebagai berikut:
Pendekatan structural dengan grammar translation methods (popular sampai dengan perang dunia ke-2) yang meletakkan focus pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa.
Pendekatan audiolingual atau dengar-ucap (1940-1960) yang meletakkan focus pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa.
Pendekatan kognitif dan transformatif sebagai implikasi dari teoriteori syntastic structure (Chomsky, 1957). Fokus pengajarannya terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya.
Pendekatan communicative competence yang tokoh-tokohnya antara lain Lymes (1976) dan Widdowson (1979/. Pendekatan ini menjadi tren pengajarn bahasa antara 1980-1990. Tujuan pengajaran bahasa adalah menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi spontan dan alami. Pendekatan komunikatif juga dianggap kurang eksplisit dalam upaya menjelaskan bentuk dan fungsi sehingga lahir tata bahasa fungsional atau Systemic Functional Grammar (SFG) yang dikembangkan oleh Halliday (1985), Martin (2000) dll.
Pendekatan literasi atau pendekatan genre-based sebagai implikasi dan studi wacana sesuai dengan kurikulu 2004 di Indonesia, tujuan pembelajaran adalah menjadikan siswa mampu menghailkan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks komunikasi. Pengenalan genre wacana liasan maupun tulisan untuk dikuasai oleh siswa pembelajaran dilakukan melalui empat tahapan, yaitu: (1) membangun pengetahuan (building knowledge of field), (2) menyusun model-model teks (modeling of text), (3) menyusun teks  bareng-bareng (joint construction of text), dan (4) menciptakan sendiri teks (independent of text).
Definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898). Istilah yang sering digunakan dalam konteks pembelajaran Indonesia adalah bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi, 2010). Sedangkan istilah literasi yang dicantumkan di Kamus Bessar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah literator dan literer (hal.836). pada masa silam membaca dan menulis dianggap sebagai pendidikan dasar untuk membekali manusia dalam menghadapi tantangan zamannya atau literate diartikan sebagai educated. Kini membaca dan menulis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis. Padahal literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik karena itu ppara pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya. Kini ada ungkapan literasi computer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA, dan sebagainya. Atas tantangan yang digambarkan di ata, Freebody dan Loke menawarkan model literasi sebagai berikut: (1) memahami kode dalam teks (breaking the codes of texts). (2) terlibat dalam memaknai teks (participating in the meanings of texts), (3) menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally), dan (4) melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming texts). Keempat peran iterasi ini dapat diringkas ke dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Makna dan rujukan literasi terus berevolusi, dan kini maknsanya semakin meluas dan kompleks. Sementara itu, rujukan linguistic dan sastra relative konstan. Dalam banyak hal studi literasi bertumpang tindih dengan objek studi budaya lebih tepatnya bagaimana divisi-divisi social dibermaknakan (O’Sulivan, 1994:71). Literasai tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.
Dimensi georafis (local, nasional, regional, dan internasional). Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi seperti itu tergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring social dan vokasionalnya.
Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hoburan, militer dan sebagainya). Literasi bangsa tampak di bidang tersebut. Tingkat dan efisiensi layanan publik dan militer. Misalnya, bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan persenjataan yang digunakan. Demikian pula halnya dengan pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.
Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara). Literasi seseorang tampak dalam kegiatan seperti itu,. Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi tidak semua sarjana mampu menulis. Kualitas menulis bergantung pada “gizi” bacaan yang disantapnya. Untuk menjadi sarjana yang baik, orang tidak cukup dengan mengandalkan literasi. Diapun mesti memiliki numerasi (keterampilan menghitung). Dalam tradisi Barat, ketiga keterampilan ini azim disebut 3 R, yaitu reading, writing, dan arithmetic.
Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri).
Dimensi media (teks, cetak, virtual, digital). Untuk menjadi literat pada zaman sekarang tidak cukup membaca dan menulis teks alfabetis tapi juga menulis teks, cetak, virtual, dan digital.
Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa). Jumah dapat merujuk pada banyak hal. Misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa  tutur, bidang ilmu, media dan sebagainya. Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
Dimensi bahasa (etnis, local, nasional, regional, internasional). Ada literacy yang singular, ada literasi yang plural. Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual. Anda adalah orang multilingual dalam bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris. Artinya Anda multiliterat. Jika kita literat dengan bahasa Inggris tetapi literasi Anda dianggap payah.
Dalam lima definisi di atas ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan paradigm literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini. Ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan relative, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat demokratis, keragaman local, hubungan global, kewarganegaraan yang efektif, bahasa Inggris ragam dunia, kemampuan berpikir kritis, masyarakat semiotic (system tanda).
Dimensi literasi membaca dan menulis yangmana merekayasa literasi, sebagai berikut:

Text Box: Linguistik dan teksText Box: Perkembangan
(growth)
Flowchart: Connector: Membaca dan MenulisText Box: Kognitif
(mind)
Text Box: Sosiokultural
(group)
 



















Kterangan:
Membaca dan menulis adalah dasar (basic) dari sebuah literasi.yangmana kedua aspek tersebut dapat merubah pemikiran seseorang secara kognitif. Misalnya penulis menulis sebuah serpen, novel ataupun puisi maka setiap pembaca akan berbeda dalam merekayasanya karena jenis teks tersebut bersifat linear sehingga pemahaman yang dihasilkan dari proses membaca teks bacaan tersebut akan berbeda pula. Dengan membaca dan menulis seseorang akan mampu mengembangkan kemampuannya karena pengetahuannya akan terus terasah oleh kebiasaanya dalam membaca dan menulis. Lebih lanjutnya seseorang yang gemar membaca dan menulis akan mampu meningkatkan sosiokultural dengan melewati proses seleksi yang ketat, misalnya seeorang yang ingin mendapat beasiswa ataupun gelar maka seseorang itu dituntut untuk dapat membaca dan menulis. Jika tingkat pendidikannya sudah mumpuni otomatis financialnyapun akan meningkat pula.
Jadi, kesimpulannya adalah literasi yaitu membaca-menulis sudah berevolusi dari dunia pra-digital (konvensional) menuju dunia digital (virtual dimana kemampuan membaca dan menulis harus didukung oleh berbagai macam dimensi. Semakin  canggihnya media semakin membuat manusia tidak sabar dengan perannya sendiri.


0 comments:

Post a Comment