Wednesday, February 19, 2014



Menindak lanjuti pada pembahasan sebelumnya ihwal academic writing, pada sekmen kali ini Mr. Lala membahas ihwal ihwal scientific writing. Beliau menanyakan beberapa pertanyaan penting di awal pertemuan, antara lain:
1.      Hanya mahasiswa yang mendaftar di kelas writing tanpa tujuan?
2.      Hanya mahasiswa yang mencoba menyelesaikan setiap tugas tanpa keikhlasan?
3.      Hanya mahasiswa yang menulis hanya untuk mendapat nilai yang pantas?
4.      Hanya mahasiswwa yang menulis tanpa rasa?
5.      Hanya mahasiswa yang mencoba untuk memenuhi seluruh kontrak belajar?

Menurut perspektifnya, mahasiswa adalah multilingual writer yangmana menulis dengan efektif dan mengunakan lebih dari satu bahasa. Selai itu, kita juga disebut sebagai critical reader, yaitu pembaca yang mengkritisi suatu tulisan dimaana mencari poin-poin penting di dalamnya tanpa menelan mentah-mentah isinya apalagi melakukan plagiat. Pembaca yang kritis mentransformasikan dirinya dari student of language menjadi student of writing. Student of language yaitu pelajar yang mamu menguasai berbagai macam bahasa sedangkan student of writing adalah pelajar yang mempunyai kemampuan dalam menulis karya sastra. Kedua komponen itu sangat krusial dalam dunia pendidikan, namun berbahasa saja tidak cukup tapi harus ditunjang dengan kemampuan menulis yang baik karena seperti kata bijak mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa penulis. Mengingat dengan menulis kita dapat mengeluarkan gagasan dan ide-ide baru yang dapat merubah dunia (writing change the world)  maksud dari ungkapan tersebut adalah dengan menulis seseorang akan mamu mempengaruhi pembacanya dalam segala aspek kehidupan, seperti wacana yang ditulia oleh Pak Chaedar yanmana dapat mempengaruhi pola pikir (paradigm) dan menginspirasi seorang Mr. Lala sehingga Mr. Lala menularkannya kepada mahasiswanya. Hal ini mengartikan bahwa dengan menulis seseorang takkan pernah mati karena tulisannya adalah cerminan dari dirinya. Pola piker yang dirangkai ke dalam barisan kata, dikonstruksi ke dalam susunan kalimat yang rapih sehingga terangkai membentuk suatu gagasan. Kerangka berpikir inilah yang membuatnya tetap hidup walaupun jasadnya telah mati. Dikatakan pula bahwa: “Ilmu itu seperti hewan buruan, dan tulisan merupakan pengikatnya. Maka ikatlah hewan buruanmnu dengan tali yang kuat”. Esensi dari kalimat terebut menafsirkan bahwa ilmu yang kita syogyanya harus dituangkan kedalam bentuk ril yaitu sebuah tulisan agar tetap lestari, tidak akan hilang meski ditelan zaman.
Menulis dapat diartikan dengan mengikat. Mengikat disini menginterpretasikan 3 cara yang satu sama lain saling berkaitan.  Ketiga cara tersebut merupakan prinsip dasar dari seorang penulis dan pembaca antara lain:
Ways of knowing something. Menulis menginterpretasikan cara atau pendekatan yang kita gunakan. Ketika menulis kita dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu latar belakang (background) masalah yang sedang terjai karena dengan begitu kita akan bijak dalam merespon masalah sehingga apa yang kita tulis tersebut sesuai dengan keadaan dan selaras dengan ekspektasi situasi yang terjadi. Jadi, dengan adanya perbedaan tersebut melahirkan fatwa atau opini baru yang dapat meningkatkan khazanah keilmuan kita tentang menulis.
Ways of representing something. Menulis merupakan salah saut cara untuk mewakilkan atau menyatakan apa yang penulis rasakan. Hal yang dinyatakan berupa interpretasi terhadap sesuatu hal yang dihasilkan dari subjektifitas sorang penulis yaitu dengan cara mencari, menebak dan membangun makna atas berbagai jenis teks baik tekstual , visual maupun  digital (virtual).
Ways of reproducing something. Pada  dasarnya menulis itu mereproduksi pengetahuan. Namun disini sebenarnya yang direproduksi adalah pengalaman yang kita peroleh dalam proses mencari pengetahuan tersebut. Membaca merupakan upaya untuk mendapatkan pengetahuan atau informasi dan menulis merupakan cara untuk mengikat pengetahuan atau informasi itu.
Dari ketiga cara tesebut mengartikan bahwa yang diikat (direkam) adalah pengalaman (experience) selanjutnya dituangkan ke dalam suatu tulisan sebagai dokumentasi agar bertahan lama (longlasting).
Selain itu, menulis berasal dari ekspektasi pembaca maksudnya ketika pembaca membaca sebuah tulisan dia otomatis akan mengkritisi kelebihan dan kekurangan teks bacaan tersebut. Penulis harus dapat mengantisipasi sejauh apa pembaca memahaminya dan pembaca berkempatan untuk menginterpretasikan maksud seorang penulis. Maka akan tercetus kritikan dan gagasan baru yang dapat memabangun seorang penulis dalam mengekspresikan tulisannya agar lebih baik. Maka dari itu, antara penulis dan pembaca terdapat koneksi yang disebut seni (Art).
Menurut Lehtonen (2000;74), pembaca naik ke inti pebentukan atau penyusuna suatu makna dan membaca menjadi tempat dimana makna itu dimiliki. Teks dan pembaca tidak pernah berada secara bebas, tetapi sesungguhnya mereka (teks pembaca) satu sama lain saling menghasilkan makna  (meaning). Membaca termasuk memilih apa yang harus dibaca, menggabungkan dan menautkan mereka bersama supaya membentuk makna juga membawa pengetahuan pembaca tersebut ke dalam teks.
Jika pembaca (reader) sedang mengkaji tulisan atau teks bacaan, pada saat itu juga dia sedang bernegosiasi dengan maksna  teks tsrsebut karena pembaca yang menginterpretasikan maksud si penulis maka pembacalah yang berhak dengan makna tersebut. Akan tetapi pembaca dituntut untuk mengetahui latar belakang (background) si penulis itu seperti apa, siapa orang yang akan mbaca tulisan kita dan buku apa sajakah yang sudah dibaca pembaca tersebut. Antara penulis dan pembaca berkolaborasi untuk membangun makna (meaning). Mereka diibaratkan sepeti penari (dancer) yang harus mampu menyelaraskan setiap gerakan sesuai iramanya. Pembaca dan penulis harus saling melengkapi satu sama lain dan saling membantu karena disitulah makna terbentuk. Lebih jelasnya bisa digambarkan seperti  berikut:
Teks – Konteks – Writer – Reader
Koneksi antara keempat elemen tersebut antara lain: teks sebagai bentuk tersurat yang dimiliki oleh penulis (writer) sedangkan konteks bentuk tersirat yang dimmiliki oleh pembaca (reader). Keempat aspek tersebut akan menghasilkan makna (meaning). Ketika meaning terletak diantara writer dan reader maka meaning seharusnya searah dengan pengalama 9experience) masing-masing. Yang menyesuaikan itu adalah pembaca dan yang mengartikan tulisan itu bagus atau tidak tergantung dari pembacanya. Jadi, kita menulis dengan sasaran yang sama maka kita harus menulis sesuai dengan pengetahuan yang sama pula serta menulis harus ada keindahan bahasa dan lain sebagainya.
Menurut Lehtonen, ketika bahasa mempunyai system sendiri yang mendefinisikan atau yang mengarikan dirinya sendiri maka diantara writer dan reader akan kehilangan meaning karena tidak ada yang membaca. Hal itu menyebabkan tulisan kita tidak berate apa-apa. Selain itu, beliau mengungkapkan bahwa bernegosiasi dengan mencari makna yang terkandung dalam tulisan saja tidak cukup dalam mempelajari pembaca untuk memaksa atau menekankan bahwa mereka jadi partisipan aktif dalam formasi meaning.
Di dalam buku Lehtonen hal. 111). Menurut Loke, ahli bahasa mengkarakteristikkan situasi bahasa dalam konteks. Kamu sebagai pembaca tidak melihat aku sebagai penulis apa yang aku lakukan ketika menulis., kamu sebagai pembaca hanya bisa menikmati hasil dan informasi-informasi yang saya tulis. Kamu pembaca hanya tahu apa yang diinformasikan dan apa yang dikoneksi, sebagai individu yang mempresentasikan sendiri hasil tulisan dari penulis konteksnya itu sebagai benda mati. Jika hasil tulisan sudah jadi maka secara otomatis itu sudah menjadi hak pembaca dalam mengartikannya.
Jadi, dari uraian tersebut kita dapat meniympulkan bahwa menulis adalah bagian dari aktifitas pikiran yang dituangkan ke dalam suatu tulisan yang dapat menghasilkan makna. Yang dihasilkan oleh kolaborasi antara writer dan reader  tulisan tidak akan pernah mati apabila ada pembacanya. Cara untuk melestarikannya adalah dengan mengikat pengalaman dengan proses mereproduksi pengalam ke dalam sebuuah tulisan.


0 comments:

Post a Comment