Saturday, February 22, 2014

11:11 PM
1


Indonesia merupakan negara berkembang yang kaya akan suku bangsa. Keanekaragaman bangsa ini tercermin dalam visi misi Negara Indonesia, yaitu Bhineka tunggal ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Jika melihat sebelum zaman kemerdekaan, konflik akibat keanekaragaman di Indonesia mengakibatkan sulitnya bersatu yang kemudian diikrarkan dalam sumpah pemuda sebagai wujud pemersatu bangsa hingga akhirnya bangsa Indonesia merdeka. sumpah pemuda dan kemerdekaan Indonesia yang kita capai pada tanggal 17 Agustus 1945 ini ternyata bukanlah akhir dari segalanya. Namun justru adalah awal kembali perjuangan bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Keragaman budaya bangsa Indonesia adalah sebuah kenyataan yang harus diterima, tanpa ruang tawar-menawar. Hal ini karena kenyataan tak tertolak, maka harus diterima, dijaga, dipelihara, dan dikelola agar mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan pendidikan harus dirancang untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis, saling menghormati, dan menghargai perbedaan.
Berdasarkan artikel yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah, terdapat beberapa hal yang harus di garis bawahi. Pertama, menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Kedua, pendidikan berbasis asrama/pesantren. Ketiga, konflik akibat multicultural.
Menurut pak Chaedar, setiap sekolah harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Saya kurang sependapat dengan beliau, karena apabila setiap sekolah harus membangun tempat ibadah bagi siswa dari semua agama membutuhkan biaya yang sangat besar. Faktanya, ekonomi di Indonesia ini rendah. Jadi jangankan untuk membangun tempat ibadah bagi setiap agama, ruang laboratorium untuk praktek siswa saja masih minim sekali. Kemudian, seperti yang kita ketahui di Indonesia ini mayoritas penduduknya merupakan islam. Sehingga, untuk pembangunan sebuah tempat ibadah untuk semua agama tidak akan kondusif.
Perbedaan agama adalah anugrah bagi bangsa ini, karena masing-masing agama adalah ahli waris yang sah di Nusantara ini. Wajar saja bila setiap agama menuntut dilakukan "fair" dalam menjalankan fungsi dan misi keagamaannya. Hal yang sulit adalah bahwa, seringkali justru agama sebagai kekayaan individual yang mendominasi alam pikiran dan emosi kita ketimbang agama sebagai kekayaan masyarakat dan aset bangsa. Mereka yang pandai menjaga keseimbangan antara dua kutub kepentingan inilah yang paling siap untuk bertenggang rasa dan merasa malu untuk memaksakan keyakinan sendiri pada pemeluk agama lain. pada manusia semacam ini tumbuh the third belief perspective, yakni sudut pandang religius yang menghormati agama lain tanpa mengorbankan keyakinan dirinya. Bagaimana keseimbangan ini mungkin tertanam pada setiap individu? Jawabnya hanya satu. Lewat dialog. Sehingga, ragamnya agama harusnya menjadi aset bangsa bukan menjadi komplik, dan di Indonesia ini perlu adanya diskusi agama.
Dialog diberi batasan sebagai forum tukar menukar pemahaman dan pengalaman kognitif, afektif dan motorik. Tuhan pun meladeni para Rasul-Nya untuk berdialog, sehingga terjalinlah saling pengertian antara Tuhan dan Rasul-Nya. Kalaulah metode dialog ini dicontohkan Tuhan, mengapa kita tidak? Tukar menukar gagasan dan pengalaman inilah yang memperkaya khazanah dan repertoar psikologis keagamaan para pemeluk agama. Dialog bukanlah "adu penalti" untuk menentukan kalah atau menang. Pada hakikatnya, dialog antar-pemeluk agama adalah dialog dengan nalar dan emosi sendiri. Ketika berdialog harus ekstra hati-hati dalam menggunakan idiom-idiom agama, terutama dalam hal yang menyangkut agama lain. sebagai ilustrasi, simaklah kasus Salman Rushdi yang sampai sekarang masih sering dibicarakan. Masih hangat dalam memori umat Islam kasus The Satanic Verses (1988) karangan Salman Rushdie. Novel yang ‘melukai’ hati dan perasaan umat Islam itu masih sangat membekas. Bagaimana tidak, seorang Rasul yang agung, Muhammad SAW, dilecehkan. Tentu saja ini tidak dapat diterima.
Dialog antar-pemeluk agama meski dilakukan dalam suasana komunikatif agar dialog itu tidak sia-sia. Bahasa komunikatif dicirikan oleh sedikitnya kesalahpahaman, sederhananya bahasa yang dipakai, dan terpahaminya materi yang dibicarakan. Dialog akan berhasil apabila: (1) Para pelaku dialog memiliki wawasan keagamaan yang relatif setingkat, sehingga tidak satu pun diantara mereka hanya berperan sebagai pendengar daripada pembicara. (2) Para pelaku dialog sosial seyogyanya menggunakan bahasa yang sederhana agar dimengerti oleh pemeluk agama lain, dan sejauh mungkin menghindari idiom-idiom keagamaan yang terlampau teknis. (3) Dialog dilakukan dalam forum dalam suasana yang netral. (4) Dialog dilakukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat keseluruhan dalam menangani isu-isu sosial yang terasa melekat dalam keseharian.
Menurut Chaedar, pendidikan di pesantren itu bagus. Hal ini karena, akan terciptanya system pendidikan yang baik. Seperti halnya di Amerika, yang mana di sana lebih ke asrama, peer interaction terjadi, kohesi social yang bagus dan classroom discourse terjadi. Di Indonesia pun telah diterapkan pesantren seperti di Amerika. Memang benar, dengan dunia asrama lebih terjadi peer interaction, kohesi social, classroom discourse. Akan tetapi, jika kita tengok pesantren di Indonesia hanya terdiri dari satu jenis agama, tidak seperti di Amerika yang terdiri dari berbagai jenis suku dan agama. Sehingga, dalam bertoleran dari segi berbagai agama di Indonesia masih kurang.
Pendidikan di asrama condong pada pendidikan liberal. Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas maha(siswa), tidak sekadar pelatihan teknis dan profesional. Pada 1837 Ralph Waldo Emerson berfatwa: "a man must be a man before he can be a good farmer, trademan, or engineer." Artinya, penguasaan atas ilmu-ilmu liberal sangat penting sebagai fondasi bagi pengembangan keterampilan vokasional.
Karateristik liberal art college yang memiliki beberapa persamaan  dengan pesantren sebagai berikut:
1. Liberal art college merupakan cikal bakal pendidikan tinggi di AS. Dalam konteks Indonesia, jauh-jauh hari sebelum para penjajah datang, sistem pesantren sudah lama berkembang seiring dengan penyebaran agama Islam di Nusantara.
2. Ukuran kampusnya cenderung kecil dengan jumlah mahasiswa sekitar dua ribu orang.
3. Mayoritas milik swasta dan berafiliasi pada lembaga keagamaan, dan ada yang didirikan untuk populasi khusus,  misalnya wanita atau warga kulit hitam. Di Indonesia hampir semua pesantren milik swasta.
4. Biasanya, memberlakukan sistem berasrama (residential) untuk menanamkan konsep "community". Konsep asrama kurang lebih sama dengan konsep pendodikan pesantren yang merupakan bentuk pendidikan tertua di Indonesia dan telah berkembang jauh sebelum sistem pendidikan Eropa datang ke Indonesia.
5. Misinya mendidik mahasiswa sebagai manusia utuh dan menekankan pendidikan sebagai pendidikan, alih-alih sebagai persiapan untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagai bandingan, dapat disebutkan bahwa di pesantren tradisional tidak ada mata pelajaran vokasional, dan lulusannya pun tidak berharap mendapat pekerjaan setelah lulus.
6. Fokus diletakkan pada pengajaran, alih-alih pada penelitian. Mahasiswa dan dosen sering berkolaborasi dan saling belajar. Kolaborasi dan hidup berdampingan antara guru dan siswa, dan antara senior da junior adalah ciri pendidikan pesantren di Indonesia. Di pesantren pun hampir tidak ada tradisi penelitian. Yang dominan adalah pengajaran, yakni kajian-kajian atas teks kitab kuning.
7. Mereka lazimnya mewajibkan para mahasiswa mempelajari apa yang disebut the great books. Buku-buku ini lazim juga disebut dengan buku-buku klasik. Dalam pendidikan pesantren tradisional pun sudah lama dikenal tradisi mempertahankan kitab klasik, yakni apa yang lazim disebut kitab kuning.
Pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis, bahkan mengapresiasi sastra. Bagaimana mungkin orang mampu membebaskan dirinya dari kebodohan jika tidak menguasai keterampilan membaca dan menulis.
Dalam wacana pendidikan istilah pendidikan umum sering dipertukarkan dengan pendidikan liberal karena fungsinya hampir sama, yaitu menyiapkan individu sebagai pribadi utuh, bukannya menyiapkan tenaga vokasional. Beberapa orang melihat sejumlah kelemahan dalam pendidikan liberal, antara lain sebagai berikut:
1.      Orientasi yang berlebihan terhadap teks klasik menutup pintu bagi pengetahuan terkini yang merupakan buah kemajuan ilmu dan teknologi yang sulit dihindari.
2.      Orientasi pada pengembangan intelektual bias mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks.
3.      Spesialisasi yang berlebihan, seperti yang tampak pada mata-mata pelajaran, bias berarti reduksi terhadap kemanusiaan. Spesialisasi mempersempit diri, sementara tantangan hidup semakin mengglobal, kompleks, dan lintas disiplin.

System pendidikan adalah suatu strategi atau cara yang akan dipakai untuk melakukan  proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara aktif mengembangkan potensi di dalam dirinya yang diperlukan untuk dirinya sendiri dan masyarakat. System pendidikan itu penting, karena apabila system pendidikan terbentuk dengan baik maka akan menciptakan bangsa yang berkualitas pula.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Seorang guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari yang berbeda agama, etnis, dan dari kelompok-kelompok social yang berbeda. Sehingga, perlunya pendidikan multicultural. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan di mana menghormati rekan, bantuan, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan social (Rubin, 2009).
Sebuah data liga global baru (A new global league ), Yang di rilis oleh Economist Intelligence Unit For Pearson, telah menemukan bahwa  Finlandia memilki sistem pendidikan terbaik di dunia. Sampsa Vourio, seorang guru di Torpparinmaki comprehensive school, Finlandia, menjelaskan bahwa system pendidikan di negaranya dijalankan sangat demokratis. Penekanan belajar focus pada proses, bukan pada hasil belajar. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan, tapi untuk perbaikan; sedangkan pekerjaan rumah (PR) dan ujian tak harus dikerjakan dengan sempurna yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Tidak ada system peringkat (ranking) sehingga siswa merasa percaya diri dan nyaman terhadap dirinya. System peringkat dipandang hanya membuat guru terfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan kepada seluruh murid. Finlandia telah sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi, dan komitmen dengan keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Jika dibanding dengan Indonesia, system pendidikannya begitu berbanding terbalik. Di Finlandia pun menjadi guru SD itu lebih susah disbanding dokter. Gajihnya pun paling besar dan minimal S2. Hal ini karena SD merupakan awal penanaman dasar untuk siswa.
Pendidikan multicultural diformalisasi menjadi sebuah kebijakan karena fakta bangsa Indonesia yang pluralis karena tersusun dari keanekaragaman suku, agama, ras, adat istiadat, bahasa dan lain-lain. Dengan kata lain, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertical. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama etnis, bahasa daerah, dan budayanya. Dalam perspektif vertical, kemajemukan bangsa dapat dillihat dari perbedaaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan tingkat social.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan (2002), multikulturisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultur. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Secara sederhana pendidikan multikultur dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000) dalam Muhaemin (2004), pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas social dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang mengagungkan prestise social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Wajah multikultural di  negeri  ini  hingga  kini  ibarat  api  dalam  sekam,  yang  suatu  saat  bisa  muncul  akibat suhu  politik,  agama,  sosial  budaya  yang  memanas,  yang  memungkinkan  konflik tersebut  muncul  kembali.  Tentu  penyebab  konflik  banyak  sekali  tetapi  kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang  pernah  terjadi  di  tanah  air  yang  melibatkan  kelompok  masyarakat,  mahasiswa bahkan  pelajar  karena  perbedaan  pandangan  sosial  politik  atau  perbedaan  SARA tersebut.
Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya.Untuk itu diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.
Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya untuk mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai.  Selain itu juga agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.Hal ini dapat diimplementasi baikpadasubstansimaupunmodel pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
James Banks (1993) menjelaskan bahwa pendidikan multikultur memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu: (1) Content interagtion, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. (2) The knowledge instruction process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). (3) An equity paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun social. (4) Prejudice reduction, mengidentifikasi karateristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. (5) Exercise, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultur yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan.Keempat pendidikan dwi-budaya.Kelima, pendidikan multikultur sebagai pengalaman moral manusia.
Pendidikan multikultur mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen (1996):
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.

Indonesia sebagai Negara majemuk baik dari segi agama, suku bangsa, golongan maupun budaya local perlu menyusun konsep pendidikan multicultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat identitas nasional. Mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama yang telah diajarkan di Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan memasukan pendidikan multicultural, agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia yang selanjutnya dapat meningkatkan rasa nasionalisme.
Sejumlah kerusuhan dan konflik social telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Ada kekerasan terhadap etnis China di Jakarta tahun 1998. Konflik horizontal di Maluku tahun 1999-2003 yang sebagian orang menyebutnya sebagai perang Islam-Kristen. Konflik protes politik local di Aceh. Kerusuhan di Tasikmalaya tahun 1996. Komflik dalam penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah. Konflik antar suporter sepak bola. Konflik antar pelajar dan mahasiswa (tawuran). Konflik antar suku di Papua. Komflik tanah bernuansa agama antar warga dan pengusaha di Tanjung Priok Jakarta, dan masih banyak lagi komflik yang terjadi di Indonesia yang tercinta ini.
Menurut Choeerul Mahfud, konflik-konflik tersebut disebabkan oleh kenyataan bangsa Indonesia yang multicultural. Bahkan Asep Jamaludin menuding multicultural sebagai salah satu penyebab timbulnya korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseturuan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain.
Menurut J. Ranjabar hal-hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya konflik pada masyarakat Indoenesia adalah sebagai berikut :
1.      Apabila terjadi dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain, contohnya adalah konflik yang terjadi di Aceh dan Papua.
2.       Terdapat persaingan dalam mendapatkan mata pencaharian hidup antara kelompok yang berlainan suku bangsa. Contohnya konflik yang terjadi di Sambas.
3.        Terjadi pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari warga sebuah suku terhadap warga suku bangsa lain. Contohnya konflik yang terjadi di Sampit.
4.       Terdapat potensi konflik yang terpendam, yang telah bermusuhan secara adat. Contohnya konflik antar suku di pedalaman Papua.
Sehingga, untuk menghadapi multikultur di Indonesia ini kita harus menerapkan pendidikan multikultur. Hal ini karena, pendidikan multikultur mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat. Sehingga akan terciptanya sikap toleransi terhadap masyarakat lain yang berbeda agama, suku maupun budaya. Pendidikan multicultural merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem harmoni sosial yang lebih berkeadilan.



Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Alwasilah, Pokoknya Rekayasa Literasi 2012
(http://pemikiran.blogspot.com/2008/02/dari-salman-rushdie-hingga-tempo.html).
http://berbagiilmuqu.blogspot.com/2013/04/sekilas-tentang-pendidikan-di-finlandia.html

1 comments: