Tuesday, February 25, 2014









            Kalimat pembuka yang disuguhkan dalam bentuk power point di Mata Kuliah Writing and Composition 4 adalah “Education is not the filling of pail, but the lighting of a fire”. (William Butler Yeats). Kalimat tersebut yang jika kita artikan ke dalam bahasa Indonesia bermakna “Pendidikan itu bukan sedang mengisi ember, tapi melainkan menyalakan api”. Dalam kalimat inspiratif tersebut kita dianjurkan agar senantiasa datang ke sekolah atau kampus dengan membawa bekal ilmu yang sudah dipelajari di rumah, jadi kita tahu untuk apa tujuan kita datang ke sekolah, bukan hanya sekedar datang tanpa tujuan dan hanya mengandalkan ilmu yang guru berikan.
            Kemudian kali ini masih gencar seputar literasi, yang mana ini merupakan pertemuan ketiga. Literasi nampaknya tidak lagi menjadi suatu hal yang asing di telinga kita. Seolah-olah ini adalah suatu pembiasaan. Semua yang kita lakukan pasti berhubungan dengan literasi. Seiring dengan zamannya, literasi seakan memliki perubahan makna dan perluasan makna. Literasi bukan lagi sekedar membaca dan menulis. Literacy is something we do, menurut Ken Hyland, (2006) on literacy.
            Literasi adalah suatu hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, karena literasi berkaitan dengan sosial, politik, pendidikan, ekonomi, dan psikologi. Dari semua aspek tersebut maka akan menghasilkan suatu peradaban literasi, karena dalam aspek-aspek tersebut ujung-ujungnya akan menuju kepada kebudayaan kita, yaitu peradaban. Jadi coba kita bayangkan seandainya tidak ada literasi, pasti tidak akan ada sebuah peradaban.
            Berliterasi itu sangatlah menyenangkan, karena akan nampak pada prakteknya yaitu dalam hal keamanan (security), kesejahteraan (safety), kenyamanan (comfort), dan lain sebagainya. Maka masyarakat Indonesia khususnya dituntut untuk dapat mempertahankan keliteratannya dan mampu membudayakan literasi.
            Memang di Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam memberdayakan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan untuk memasuki tradisi baca tulis (Suroso, 2007 : 11). Padahal era teknologi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh kembangnya media baca tulis. Data dari Association for the Education Achievement (IAEA) misalnya, mencatat bahwa pada tahun 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Masih dalam membaca, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia atau 8 peringkat terakhir. (Kompasiana.com, 16/03/2012).
            Pada masa Socrates misalnya, para siswa di Yunani (kota para lahirnya filsuf), diperkenalkan dengan budaya membaca, bukan budaya mendengar, sehingga berkembanglah beragam ilmu pengetahuan disana. Ini membuktikan bahwa budaya literasi bagi segenap elemen bangsa merupakan faktor kemajuan yang paling signifikan. Menurut Michael Barber, pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut setiap orang berliterasi tinggi, ahli dalam bidang matematika, informasinya baik, mampu belajar secara terus-menerus, percaya diri, dan mampu memainkan peran di dalam negaranya.
            Sedikit mengulas mengenai tulisan Prof. A. Chaedar Alwasilah, dalam sebuah buku karangannya yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi. Menurut beliau literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik. Namun karena adanya definisi baru, literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan”, sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari, dan juga dengan adanya perubahan-perubahan pada kurikulum pendidikan.
            Beliau juga mengatakan bahwa rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan. Bahkan studi literasi pun terkadang tumpang tindih (over lapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) yang dimensinya begitu luas. Untuk itu dapat dikata bahwa pendidikan yang berkualitas tinggi PASTI menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula, dan juga sebaliknya. Maka dalam hal ini kita harus meningkatkan mutu pendidikan kita agar lebih berkualitas lagi. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, kita harus menguasai reading, writing, arithmatic, and reasoning, karena semua itu merupakan seatu modal bagi kehidupan kita.
            Ujung tombak pendidikan adalah GURU, dengan fitur komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis, dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi serta numerasi (Cole and Chan 1994 dikutip dari Alwasilah 2012). Maka dalam hal ini diharapkan adanya guru yang profesional dalam memantau siswanya untuk menguasai keempat elemen tersebut, yaitu reading, writing, arithmatic, and reasoning. Dikatakan pula bahwa orang yang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi, namun masyarakat yang tidak literasi tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media massa.
            Setelah berbagai macam definisi mengenai literasi dipaparkan, lalu muncul sebuah kata Rekayasa Literasi. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan rekayasa literasi itu? Dan apa yang harus direkayasa? Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal, karena penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. Empat dimensi rekayasa literasi yaitu linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Rekayasa tersebut sama halnya dengan merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut. Lalu mengenai apa yang harus direkayasa? Jawabannya yaitu sebuah strategi membacanya atau strategi dalam mendekati teksnya.
            Contohnya, ketika kita disuguhkan sebuah teks, maka yang harus kita lakukan adalah membaca, merespon, menulis, mengomentari, merevisi, dan mempublikasikannya ke media massa. Semua itu tergantung pada strategi kita bagaimana merekayasa teks tersebut, karena dikatakan bahwa orang yang literat tidak hanya sekedar mampu berbaca tulis. Kemudian dalam pengajaran bahasa pun kita diharuskan mengajarkan keterampilan berfikir kritis, sedangkan literasi ini berhubungan dengan bahasa, dan dikatakan bahwa jika bahasa semakin banyak atau semakin sering digunakan, maka tingkat vitalitasnya juga semakin tinggi (vitalitas bahasa).
            Jadi dari semua penjabaran di atas, kit dapat menarik kesimpulan bahwa di era yang modern ini dengan ditambah arus teknologi yang semakin maju dan canggih, maka mengharuskan kita untuk menjadi bangsa yang berliterat. Kita harus memberikan sosialisasi terhadap bangsa kita akan pentingnya literasi. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki dan mulailah dari diri sendiri sebagai pencetak peradaban.

0 comments:

Post a Comment