Sunday, February 23, 2014

11:59 PM





“School made us 'literate' but did not teach us to read for pleasure.”
Ambeth R. Ocampo

Pendidikan. Bukan bertugas untuk mengisi, tetapi untuk membentuk. Apa yang perlu dibentuk? Bisa jadi adalah cara pikir. Literasi yang digadang-gadang sebagai modal kehidupan, akan bekerja dalam jangkauan yang luas. Tidak hanya dalam dunia pendidikan, tetapi merambah ke dalam dunia politik, sosial, ekonomi, psikologi. Yang nantinya lama-kelamaan akan membentuk sebuah budaya yang menuju pada peradaban.  Oleh karenanya, berbicara soal pendidikan akan juga berbicara soal literasi. Inilah modal yang harus kita miliki, apalagi sebagai kaum akademisi. Literasi juga memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan manusia, tidak heran jika literasi sampai-sampai dijadikan suatu barometer yang mengukur maju atau tidaknya suatu bangsa. Kekuatan yang ada dalam literasi ini lebih dari sekedar kekuatan mendidik dan dididik. Pendidikan yang mencekoki pelajar ke dalam sebuah ruang untuk diisi segudang ilmu pengetahuan. Namun, literasi mempunyai suatu hal yang lebih, karena literasi membentuk pola pikir, keterampilan. Bukan untuk memenuhi otak kita dengan segudang ilmu, yang bisa saja dengan mudah dilupakan tanpa pengimplementasian.
Banyak pelajaran yang bisa kita unduh dari pengalaman menulis appetizer essay kemarin. Seperti elemen-elemen yang harus ada dalam sebuah Academic Writing; yaitu Cohesion, bagaimana teks itu mengalir. Kemudian Clarity, kejelasan makna yang disampaikan. Logical Order, bagaimana menyampaikan hal-hal seperti dari hal umum ke khusus. Consistency, tentang keseragaman dalam gaya menulis. Unity, kesatuan tulisan dari topic yang dibahas. Variety, ini dia saat bumbu dalam tulisan kita ditaburkan. Yang terakhir adalah Formality, karena ini Academic Writing jadi tulisan kita juga harus bernada formal. Kita sebagai multilingual writer harus memiliki vitalitas menulis lebih tinggi daripada yang bukan multilingual writer. Dalam ihwal merespon suatu teks pun kita memiliki sesuatu yang mungkin bisa dibilang lebih nyentrik. Seharusnya jugalah kita bisa menjadi seorang multiliterat. Lebih-lebih di era globalisasi seperti ini, seseorang dituntut untuk highly literate,highly numerate. Tantangan zaman menuntut kita untuk menjadi manusia yang penuh power. Oleh karenanya, untuk membentuk sebuah warga Negara yang melek literasi tidak akan mudah, diperlukan kesabaran.

Sejatinya, literasi diajarkan kepada anak sejak dini agar ia mulai akrab dengan ihwal literasi yang akan mentransformasikan dirinya menjadi sosok tangguh yang akan menghadapi khazanah kehidupan global. Anak harus diajarkan written verbal, maupun visual. Literasi bukan hanya soal kemampuan baca-tulis. Tetapi juga melibatkan bagaimana sesorang bisa survive dalam lingkungannya. Seperti hal-hal kecil menulis surat, CV, membaca jadwal penerbangan. Yang seakan itu dilupakan sebagai kegiatan literasi. Tidak heran jika Ken Hyland menyebut bahwa Literacy is something we do. Literasi menjadi semakin global seiring bertumbuhnya zaman, merambah kepada banyak ranah. Satu lagi yang perlu kita ingan bahwa literasi merupakan paparan pembelajaran berkualitas tinggi. Membuka cakrawala, dan tumbuhnya peradaban serta penghidupan.
Rekayasa literasi, kenapa ihwal ini harus ada dan terjadi?Rekayasa literasi didefinisikan sebagai upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. Sering kita dengar kata ini “Barang siapa menguasai bahasa suatu kaum, maka ia akan selamat dari tipu daya mereka.” Inilah salah satu jawaban kenapa kita harus merekayasa literasi. Kemampuan berbahasa membuat kita secara psikologis lebih percaya diri, sebagai kunci dalam mengerti ilmu pengetahuan, dan budaya.
Rekayasa literasi memiliki Empat dimensi: linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Ini sebabnya, literasi kini memiliki lahan yang luas yang tidak hanya soal literatur atau kebahasaan. Sebagai contoh di semester 4 ini saya mengambil mata kuliah Psikologi Pembelajaran Bahasa Inggris dan disinilah saya tahu sedikit banyak tentang pembelajaran bahasa yang seyogianya harus dilakukan dengan tepat. Termasuk melakukan rekayasa literasi. Seperti bahasan psikolinguistik yang merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku dalam berbahasa seseorang. Bagaimana psikis seseorang mempengaruhi apa yang akan ia sampaikan. Juga latar belakang budayanya, sekaligus lingkungan masyarakatnya mempengaruhi sikap linguistiknya.
Guru adalah sutradara dari rekayasa literasi ini, ia yang seyogianya merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut. Ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah 2012). Artinya, guru harus mengenalkan kepada siswanya apa yang harus dilakukan dalam suatu proses literasi. Yang bukan hanya mentok dalam ihwal tugas-tugas sekolah, baca-tulis, dan PR. Namun dalam kehidupan yang memiliki realita bahwa bahasa adalah aspek penting dalam hidup kita.
Dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya rekayasa literasi ini akan menjadikan manusia lebih terdidik dan berbudaya. Manusia yang seimbang moral dan intelektualnya. Juga sekaligus manusia yang dapat menoptimalkan kemampuan bahasanya. Dibalik ini semua terdapat peran seorang GURU sebagai Insinyur Literasi (Literacy Engineer) yang merupakan ujung tombak dari sebuah rekayasa literasi. Ia adalah sistem terpenting dalam rekayasa literasi, membuat pembelajaran bahasa yang berkualitas tinggi.



0 comments:

Post a Comment